Tuesday, January 16, 2018

Makalah Teologi Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwardamita arti kata teologi pengetahuan tentang Tuhan, dasardasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab Suci.Selanjutnya dalam kamus filsafat di sebutkan teologi secara sederhana yaitu suatu studi engenai pertayaan tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia realitas. Dalam pengertian yang lebih luas, teologi merupkan salah satu cabang dari filsafat atau bidang khusus inquiri filosofi tentnag Tuhan (Runes,1953:317).Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan(Donder,2006:4). Menurut Maulana dkk,mengemukakan bahwa teologi secara arfiah berarti teori atau study tentang Tuhan. Dalam praktek, istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin (ajaran) dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu.Teologi atau dalam bahasa sansekertanya Brahmawidya atau Brahma Tattwa Jnana adalah ilmu tentang Tuhan (Pudja, 1984:14).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah teologi islam itu?
2.      Bagaimana teologi islam itu muncul?
3.      Apa saja aliran- aliran di dalamnya?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui arti teologi
2.      Mengetahui proses munculnya teologi
3.      Mengetahui aliran- aliran di dalam teologi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teologi Islam
Secara etimologis istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu theologia. Yangberasal dari dua kata theoos yang Berarti tuhan.dan logos yang artinya ilmu. Sehingga arti Theologi islam adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan pengertian theologi Islam menurut terminologi adalah  ilmu yang membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan.[1]
Fergilius Ferm yaitu seorang ahli Ilmu agama mengatakan ”The wich concern god (or the Devintil Reality) and Gods relation to the word” (teologi ialah pemikiran sistematis yang berhubungan dengan alam semesta). Terdiri atas dua kata yaitu “Theos”, yang artinya tuhan dan “logos”, yang berarti Ilmu.[2]Jadi teologi bisa disebut juga dengan Ilmu Tuhan atau ilmu ketuhanan. Istilah teologi Islam telah lama dikenal oleh para penulis Barat, seperti Tritton dengan karyanya yang berjudul “Moslem Theology”.[3]
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, Theology. Willuam L.Reeae mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning god (discursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Resse lebih jauh mengatakan “theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science.” (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta indenpendensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[4]
Teologi dalam islam di sebut juga Ilmu Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, yang dalam pandangan islam sebagai agama yang monotoisme, merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Ditinjau dari sudut bahasa (etimologi) kata tauhid adalah bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau, yaitu wahhada, yuwahhidu, wahda yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan.Kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna keesaan Tuhan. Maka dari pengertian etimologi tersebut dapat di ketahui bahwa tauhid mengandung makna keyakinan atau mengi‟tiqadkan bahawa”Allah adalah satu”.[5]
B.     Sejarah Munculnya Teologi Dalam Islam
Dipertengahan ke dua dari abad ke enam Masehi, jalan dagang Timur – Barat berpindah dari Teluk Persia – Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman – Hijaz – syria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Byzantin dan Persia membuat jalan Utara tidak selamat dan tidak menguntungkan bagi dagang. Mesir, mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Byzantin dan Persia, berada dalam kekacauan yang mengkibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan Neil tidak menguntungkan pula. Makkah yang terletak di tengah- tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Para pedagang pergi ke Selatan membeli barang- barang yang datang dari Timur, kemudian mereka bawa ke Utara untuk di jual di Syria. Dari dagang transit ini Makkah menjadi kaya. Dagang di kota ini dipegang oleh Quraisy dan sebagai orang- orang yang berada dan berpengaruh dalam pemerintahan Makkah. Pemerintahan dijalankan melalui majlis suku- bangsa yang anggota- angotanya tersusun dari kepala- kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Kaum pedagang tinggi mempunyai perasaan solidaritas kuat yang terlihat efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad, sehingga Beliau dan pengikut- pengikut Beliau terpaksa meninggalkan Makkah pergi ke Yasrib di tahun 622-M yang sekarang dikenal dengan kota Madinah. Suasana masyarakat Yasrib berlainan dengan suasana di Makkah. Yasrib adalah kota petani. Beliau bertindak sebagai pengantara antara ke dua suku- bangsa yang bertentangan yaiitu al- Khazraj dan al-‘Aus. Lambat laun Nabi menjadi kepala masyarakat madinah.
                                     
Dari sejarah ringkas ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, selama di Makkah Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada disana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Sedang di Madinah, Nabi Muhammad menjadi kepala agama dan juga kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini.
Pada tahun 632-M Nabi Muhammad wafat, yang kemudian timbullah soal Khalifah yaitu pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan. Telah kita ketahui bahwasannya khalifah yang pertama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, yang ke dua Umar bin Khaththab, yang ke tiga Utsman bin Affan, dan sampailah pada khalifah yang ke empat yaitu Ali bin Abi Thalib. Beliau mendapat tantangan dari pemuka- pemuka yang ingin menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Makkah. Dan tantangan yang kedua adalah dari Mu’awiyah Gubernur Damaskus, ia tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Adapula orang- orang yang meninggalkan barisan dan melawan Ali karena memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al- Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.
Persoalan- persoalan yang terjadi dalam lapangan politik inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan- persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn Al- ‘Ash, Abu Musa Al- ‘Asy’ari dan lain- lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Wa mal lam yahkkum..
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولآءِكَ هُمُ الْكَافِلرُوْنَ
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang- orang kafir.” [ al-maidah: 44]
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan Laa hukma illa lillah. Karena ke empat pemuka di atas telah dipandang kafir, maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat. Menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan telogi selanjutnya dalam Islam. Dan persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1.      Aliran Khawarij, yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam (murtad) dan oleh karena itu wajib dibunuh.
2.      Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah Subhaanahu waTa’aala untuk mengampuni atau tidak mengampuni.
3.      Aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang serupa ini kata mereka mengambil posisi diantara ke dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al- manzilah bain al- manzilitain (posisi diantara dua posisi).
C.    Aliran Aliran Teologi Islam
1.      Kaum Khawarij
Kaum Khawarij terdiri atas  pengikut- pengikut  Ali bin  Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khalifah dengan Mua’awiyah bin Abi Sufyan.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari dari orang- orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka sederhana dalam cara hidup an pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Iman dan paham mereka merupakan iman dan paham  orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengn sifat fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil. Karenanya, kaum Khawarij mudah terpecah belah menjadi golongan- golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus- menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa- penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Adapun golongan- golongan kecil dari Khawarij dintaranya, ialah:
a.     Al- Muhakkimah
b.    Al- Azariqah
c.     Al- Najdat
d.    Al- ‘Ajaridah
e.     Al- Sufriah
f.     Al- Ibadiah
2.      Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan- pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan hukum kafir atau tidak kafirnya orang- orang yang bertentangan itu kepada Tuhan (Allah Subhaanahu waTa’aala). Murji’ah berasal dari kata Arja’a yang mengandung beberapa arti yaitu:
a.       Membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna memandang kurang penting yang akhirnya membawa membawa beberapa golongan kaum Murji’ah, sebagai akan dilihat dilihat kepada paham- paham yang ekstrim.
b.      Memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah dan masuk surga.
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golingan besar, yaitu:
a.       Golongan Moderat, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya.
b.      Golongan Ekstrim, berrpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekukufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bkan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Sungguhpun  ia menyembah behala, menjalankan agama- agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan- ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan- penyimpangan dari norma- norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma- norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang- orang yang menganut paham demikian.
Inilah kelihatannya yang menjadi sebab nama Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi.
Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat dalam golongan Murji’ah moderat tersebut di atas  menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahli sunnah dan jama’ah dalam Islam.
Al- Bagdadi mengatakan bahwa ada tiga macam iman, yaitu:
a.      Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka: yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul- rasul, kadar baik dan buruk, sifat- sifat Tuhan dan segala keyakinan- keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.      Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fisik dari seseorang serta melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.       Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnat dan menjauhi segala dosa.
Ringkasnya ialah bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
3.      Kaum Qadariyah
Kaum Qadariah berpendapat  bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham qodariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan- perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar  atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Tidak diketahui dengan pasti kapan paham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut ahli- ahli teologi Islam, paham qodariah kelihatannya timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al- Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al- Juhani dan temannya Ghailan al- Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut al- Zahabi, Ma’bad adalah seorang Tabi’ yang baik. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al- Rahman Ibn al- Asy’as, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Banu Umayyah. Dalam pertempuran dengan al- Hajjaj Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H.
Daripada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan paham qodariah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari Khalifah ‘Umar Ibn ‘abd al- ‘Aziz. Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al- Malik (724- 743 M). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan berdebatan antara Ghailan dan al- Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
4.      Kaum Jabariah
Kaum Jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan- perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Kaum jabariah kelihatannya timbul pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al- Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al- Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih Ibn al- Haris, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.
5.      Kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan- persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan- persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka lebih banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Untuk mengeahui asal- usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli- ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Nama Mu’tazilah sebagai designatie  bagi aliran teologi rasional dan liberal dalm Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al- Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata- kata i’tazala, al- Mu’tazilah.
Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama- nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al- Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl at- Tauhid wa al- ‘Adl, golongan yang mempertahankan Keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Sebagai dikatakan al- Mas’udi, ia adalah, Syaikh al- Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua, ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al- Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al- Basri.
Ajaran- ajaran yang dibawa Wasil adalah:
1.       Paham al- Manzilah bain al- Manzilataini, posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir (paham Khawarij), dan bukan pula mukmin (paham Murji’ah), tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi Mukmin dan Kafir. Pendapat Wasil, kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan- perbuatan baik. Dan jika meninggal dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.
2.      Paham qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailani. Kata Wasil, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Dia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat dengan hal- hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian, manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya. Iman dan kufurnya , kepatuhan dan tidak kepatuhannya pada Tuhan, atas perbuatan- perbuatannya ini manusia memperoleh balasan. Dan untuk terwujudnya perbuatan- perbuatan itu Tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya.
3.      Mengambil bentuk peniadaan sifat- sifat Tuhan dalam arti bahwa apa- apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar Dzat Tuhan. Tetapi, sifat yang merupakan esensi Tuhan. Ajaran ini dikatakan al- Syahrastani, belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut- pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat Yunani.
Orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima tentang al- Usul al- Khamsah atau lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mu’tazilah, yaitu:
1)      Al- Tawhid, ialah Kemahaesaan Tuhan. Tuhan dalam paham mereka, akan betul- betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan Dzat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk- Nya. Dan menolak beatific vision, yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan oleh zat Tuhan. Dengan kata lain sifat- sifat itu merupakan esensi Tuhan. Kaum M’tazilah membagi sifat- sifat Tuhan ke dalam dua golongan, yaitu: (a) Sifat- sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah dan (b) Sifat- sifat yang merupakan perbuatan- perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah.
2)      Al- ‘Adl, ada hubungannya dengan al- Tawhid. Kalau dengan al- Tawhid kaum Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan makhluk, maka dengan al- ‘Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim sedang pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Tuhan dalam paham Mu’tazilah, tidak berbuat buruk atau tidak bisa berbuat buruk (zulm) karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang bersifat tidak sempurna. Dan Tuhan bersifat Maha Sempurna.
3)      Al- Wa’d wa al- Wa’id, yaitu janji dan ancaman. Tuhan tidak akan dapat disebut adil, jika Tuhan tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
4)      Al- Manzilah bain al- Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Iman menurut paham Mu’tazilah digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan- perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu- satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat dengan kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pula keadilan.
5)      Al- ‘Amr bi al- Ma’ruf wa al- Nahy ‘an al- Munkar, yaitu perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan- golongan itu adalah tentang pelaksanaanya. Kaum Khawarij memandang bahwa untuk itu perlu dipakai kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.
6.      Ahli Sunnah dan Jama’ah
Rakyat biasa, dengan pemikiran mereka yang sederhana, ingin pada ajaran- ajaran yang sederhana pula. Masyarakat biasa tidak dapat menyelami ajaran- ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan berarti mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu pada keoriginalan hadis- hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Kaum Mu’tazilah, disamping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.
Sunnah dalam term ini berarti Hadis. Ahmad Amin menerangkan, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah. Ahli Sunnah dan Jama’ah  percaya pada dan menerima hadis- hadis shahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al- Syari’ah al- Mahbubi yaitu ‘ammah al- Muslimin (umumnya umat Islam) dan al- jama’ah al- kasir wa al- aswad al- a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahlli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
1.    Kaum Asy’ariah
Asy’ariah di ambil dari nama Al- Asy’ari yang memiliki nama lengkap ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat,tabi’in, serta imam ahli hadits.[6]
2.    Kaum Maturidi
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang Bercorak rasional.
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.

Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.[7]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu theologia. Yangberasal dari dua kata theoos yang Berarti tuhan.dan logos yang artinya tuhan. Sehingga arti Theologi islam adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan pengertian theologi Islam menurut terminologi adalah  ilmu yang membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan.
Sejarah Munculnya Teologi –teologi islam, Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebgaimana di ketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar – pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan sejalan dengan pendapat diatas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
  1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash Al-Qur’an
  2. Perbedaan para sahabat di sebabkan perbedaan riwayat
  3. Perbedaan para sahabat di sebabkan karena ra’yu.
Ada beberapa keterkaitan antara Ilmu teologi Islam, filsafat, dan tasawuf  dalam  objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang ketuhanan. Menurut argument filsafat, ilmu kalam dibangun di atas dasar logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak bisa dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Kerelatifan logika menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan. Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berususan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.[8]





[1] https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/
[2] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta:Pusaka al-husna, 1995), 58
[3] Ghazali Munir, Tuhan Manusia, dan Alam, (Semarang:RaSAIL,2008), 22
[4] Anwar Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia, 2007), 14
[5] Mulyono, Studi Ilmu Tauhid, (UIN MALIK PRESS, 2010), 13-14
[6] https://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[7] https://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[8] http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/04/sumber-sumber-serta-metode-pembahasan.html

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .