BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S.
Poerwardamita arti kata teologi pengetahuan tentang Tuhan, dasardasar
kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab
Suci.Selanjutnya dalam kamus filsafat di sebutkan teologi secara sederhana yaitu
suatu studi engenai pertayaan tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia
realitas. Dalam pengertian yang lebih luas, teologi merupkan salah satu cabang
dari filsafat atau bidang khusus inquiri filosofi tentnag Tuhan (Runes,1953:317).Kata
teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu
atau pengetahuan. Jadi teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan(Donder,2006:4).
Menurut Maulana dkk,mengemukakan bahwa teologi secara arfiah berarti teori atau
study tentang Tuhan. Dalam praktek, istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin
(ajaran) dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu.Teologi atau
dalam bahasa sansekertanya Brahmawidya atau Brahma Tattwa Jnana adalah ilmu
tentang Tuhan (Pudja, 1984:14).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah teologi islam itu?
2.
Bagaimana teologi islam itu muncul?
3.
Apa saja aliran- aliran di dalamnya?
C. Tujuan
1.
Mengetahui arti teologi
2.
Mengetahui proses munculnya teologi
3.
Mengetahui aliran- aliran di dalam teologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teologi Islam
Secara etimologis
istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu theologia. Yangberasal
dari dua kata theoos yang Berarti tuhan.dan logos yang artinya ilmu. Sehingga arti
Theologi islam adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan pengertian theologi
Islam menurut terminologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan
yang mencakup seluruh ketauhidan.[1]
Fergilius Ferm
yaitu seorang ahli Ilmu agama mengatakan ”The wich concern god (or the Devintil
Reality) and Gods relation to the word” (teologi ialah pemikiran sistematis
yang berhubungan dengan alam semesta). Terdiri atas dua kata yaitu “Theos”,
yang artinya tuhan dan “logos”, yang berarti Ilmu.[2]Jadi
teologi bisa disebut juga dengan Ilmu Tuhan atau ilmu ketuhanan. Istilah
teologi Islam telah lama dikenal oleh para penulis Barat, seperti Tritton
dengan karyanya yang berjudul “Moslem Theology”.[3]
Teologi Islam merupakan
istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, Theology.
Willuam L.Reeae mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning god
(discursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata William
Ockham, Resse lebih jauh mengatakan “theology to be a discipline resting on
revealed truth and independent of both philosophy and science.” (teologi
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta
indenpendensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan
bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman
agama secara rasional.[4]
Teologi dalam islam di
sebut juga Ilmu Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, yang dalam
pandangan islam sebagai agama yang monotoisme, merupakan sifat yang terpenting
diantara sifat-sifat Tuhan. Ditinjau dari sudut bahasa (etimologi) kata tauhid
adalah bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau, yaitu wahhada,
yuwahhidu, wahda yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan.Kemudian
ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya muqaddimah bahwa kata tauhid
mengandung makna keesaan Tuhan. Maka dari pengertian etimologi tersebut dapat
di ketahui bahwa tauhid mengandung makna keyakinan atau mengi‟tiqadkan
bahawa”Allah adalah satu”.[5]
B. Sejarah Munculnya Teologi Dalam Islam
Dipertengahan
ke dua dari abad ke enam Masehi, jalan dagang Timur – Barat berpindah dari
Teluk Persia – Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan Neil di Selatan,
ke Yaman – Hijaz – syria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan
Byzantin dan Persia membuat jalan Utara tidak selamat dan tidak menguntungkan
bagi dagang. Mesir, mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Byzantin dan
Persia, berada dalam kekacauan yang mengkibatkan perjalanan dagang melalui
Perlembahan Neil tidak menguntungkan pula. Makkah yang terletak di tengah-
tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Para pedagang pergi ke
Selatan membeli barang- barang yang datang dari Timur, kemudian mereka bawa ke
Utara untuk di jual di Syria. Dari dagang transit ini Makkah menjadi kaya.
Dagang di kota ini dipegang oleh Quraisy dan sebagai orang- orang yang berada
dan berpengaruh dalam pemerintahan Makkah. Pemerintahan dijalankan melalui
majlis suku- bangsa yang anggota- angotanya tersusun dari kepala- kepala suku
yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Kaum pedagang
tinggi mempunyai perasaan solidaritas kuat yang terlihat efeknya dalam
perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad, sehingga Beliau dan pengikut-
pengikut Beliau terpaksa meninggalkan Makkah pergi ke Yasrib di tahun 622-M
yang sekarang dikenal dengan kota Madinah. Suasana masyarakat Yasrib berlainan
dengan suasana di Makkah. Yasrib adalah kota petani. Beliau bertindak sebagai
pengantara antara ke dua suku- bangsa yang bertentangan yaiitu al- Khazraj dan
al-‘Aus. Lambat laun Nabi menjadi kepala masyarakat madinah.
Dari sejarah
ringkas ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, selama di Makkah Nabi Muhammad
hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi kepala
pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada disana belum dapat dijatuhkan
pada waktu itu. Sedang di Madinah, Nabi Muhammad menjadi kepala agama dan juga
kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi
di kota ini.
Pada tahun
632-M Nabi Muhammad wafat, yang kemudian timbullah soal Khalifah yaitu
pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi
tentu tidak dapat digantikan. Telah kita ketahui bahwasannya khalifah yang
pertama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, yang ke dua Umar bin Khaththab, yang ke
tiga Utsman bin Affan, dan sampailah pada khalifah yang ke empat yaitu Ali bin
Abi Thalib. Beliau mendapat tantangan dari pemuka- pemuka yang ingin menjadi
khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Makkah. Dan tantangan yang kedua
adalah dari Mu’awiyah Gubernur Damaskus, ia tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah.
Adapula orang- orang yang meninggalkan barisan dan melawan Ali karena memandang
Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah. Golongan mereka inilah dalam sejarah
islam terkenal dengan nama al- Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan
diri atau seceders.
Persoalan-
persoalan yang terjadi dalam lapangan politik inilah yang akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan- persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan
siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn Al- ‘Ash, Abu Musa Al-
‘Asy’ari dan lain- lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Wa
mal lam yahkkum..
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولآءِكَ هُمُ
الْكَافِلرُوْنَ
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itulah orang- orang kafir.” [ al-maidah: 44]
Dari ayat
inilah mereka mengambil semboyan Laa hukma illa lillah. Karena ke empat
pemuka di atas telah dipandang kafir, maka kaum Khawarij mengambil keputusan
untuk membunuh mereka berempat. Menurut sejarah hanya orang yang dibebani
membunuh Ali bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun
kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami
perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan Al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang
kafir. Persoalan inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar dalam
pertumbuhan telogi selanjutnya dalam Islam. Dan persoalan ini menimbulkan tiga
aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1.
Aliran Khawarij, yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam (murtad) dan oleh karena itu wajib dibunuh.
2.
Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya,
terserah kepada Allah Subhaanahu waTa’aala untuk mengampuni atau tidak
mengampuni.
3.
Aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir
tetapi pula bukan mukmin. Orang serupa ini kata mereka mengambil posisi
diantara ke dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal
dengan istilah al- manzilah bain al- manzilitain (posisi diantara dua
posisi).
C. Aliran Aliran Teologi Islam
1.
Kaum Khawarij
Kaum Khawarij terdiri atas
pengikut- pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya,
karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai
jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khalifah dengan Mua’awiyah bin
Abi Sufyan.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari dari orang- orang Arab
Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka sederhana dalam cara
hidup an pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak
bergantung pada orang lain. Mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Iman dan paham
mereka merupakan iman dan paham orang
yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal,
tetapi sempit, ditambah lagi dengn sifat fanatik ini membuat mereka tidak bisa
mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun
hanya penyimpangan dalam bentuk kecil. Karenanya, kaum Khawarij mudah terpecah
belah menjadi golongan- golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang
sikap mereka yang terus- menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-
penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Adapun golongan- golongan kecil dari Khawarij dintaranya, ialah:
a.
Al- Muhakkimah
b.
Al- Azariqah
c.
Al- Najdat
d.
Al- ‘Ajaridah
e.
Al- Sufriah
f.
Al- Ibadiah
2.
Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertentangan- pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil
sikap menyerahkan hukum kafir atau tidak kafirnya orang- orang yang
bertentangan itu kepada Tuhan (Allah Subhaanahu waTa’aala). Murji’ah berasal
dari kata Arja’a yang mengandung beberapa arti yaitu:
a.
Membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna memandang
kurang penting yang akhirnya membawa membawa beberapa golongan kaum Murji’ah,
sebagai akan dilihat dilihat kepada paham- paham yang ekstrim.
b.
Memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat
rahmat Allah dan masuk surga.
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golingan besar,
yaitu:
a.
Golongan Moderat, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka
sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, ada kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya.
b.
Golongan Ekstrim, berrpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada
Tuhan dan kemudian menyatakan kekukufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir,
karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bkan dalam bagian lain dari
tubuh manusia. Sungguhpun ia menyembah
behala, menjalankan agama- agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah
salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian mati. Orang yang
demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ajaran serupa
ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap
memperlemah ikatan- ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive,
masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan- penyimpangan dari norma- norma
akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma- norma
akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang- orang yang
menganut paham demikian.
Inilah
kelihatannya yang menjadi sebab nama Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti
tidak baik dan tidak disenangi.
Tetapi bagaimanapun
ajaran yang terdapat dalam golongan Murji’ah moderat tersebut di atas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan
ahli sunnah dan jama’ah dalam Islam.
Al- Bagdadi
mengatakan bahwa ada tiga macam iman, yaitu:
a. Iman yang
membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka: yaitu
mengakui Tuhan, Kitab, Rasul- rasul, kadar baik dan buruk, sifat- sifat Tuhan
dan segala keyakinan- keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b. Iman yang
mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fisik dari seseorang serta
melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi
segala dosa besar.
c. Iman yang
membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa
perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnat dan menjauhi
segala dosa.
Ringkasnya
ialah bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal dalam
neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
3.
Kaum Qadariyah
Kaum Qadariah berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Menurut paham qodariah manusia mempunyai kebebasan
dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan- perbuatannya. Dengan demikian
nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya
paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Tidak diketahui dengan pasti kapan paham ini timbul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut ahli- ahli teologi Islam, paham qodariah
kelihatannya timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al- Juhani.
Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al- Juhani dan temannya Ghailan al- Dimasyqi
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut
al- Zahabi, Ma’bad adalah seorang Tabi’ yang baik. Tetapi ia memasuki lapangan
politik dan memihak ‘Abd al- Rahman Ibn al- Asy’as, Gubernur Sajistan, dalam
menentang kekuasaan Banu Umayyah. Dalam pertempuran dengan al- Hajjaj Ma’bad
mati terbunuh pada tahun 80 H.
Daripada
itu Ghailan sendiri terus menyiarkan paham qodariah-nya di Damaskus,
tetapi mendapat tantangan dari Khalifah ‘Umar Ibn ‘abd al- ‘Aziz. Setelah ‘Umar
wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga ia akhirnya mati dihukum
bunuh oleh Hisyam ‘Abd al- Malik (724- 743 M). Sebelum dijatuhi hukuman mati
diadakan berdebatan antara Ghailan dan al- Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam
sendiri.
4.
Kaum Jabariah
Kaum Jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini
terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa. Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris paham
ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan- perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Kaum jabariah kelihatannya timbul pertama kali dalam sejarah
teologi Islam oleh al- Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm
Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariah ini
sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al- Jahmiah dalam kalangan Murji’ah
sebagai sekretaris dari Syuraih Ibn al- Haris, ia turut dalam gerakan melawan
kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan
kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.
5.
Kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan- persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-
persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka
lebih banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
Untuk mengeahui asal- usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya
memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli- ahli, tetapi belum ada kata
sepakat antara mereka. Nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalm
Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al- Basri di Basrah dan bahwa
lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata- kata i’tazala,
al- Mu’tazilah.
Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan
nama- nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-
Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl at-
Tauhid wa al- ‘Adl, golongan yang mempertahankan Keesaan murni dan keadilan
Tuhan.
Orang
yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Sebagai dikatakan
al- Mas’udi, ia adalah, Syaikh al- Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala
dan Mu’tazilah yang tertua, ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun
131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-
Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al- Basri.
Ajaran- ajaran yang dibawa Wasil adalah:
1.
Paham al- Manzilah bain
al- Manzilataini, posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah.
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir (paham Khawarij), dan
bukan pula mukmin (paham Murji’ah), tetapi fasiq yang menduduki posisi
diantara posisi Mukmin dan Kafir. Pendapat Wasil, kata mukmin merupakan sifat
baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasiq, dengan
dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak pula dapat diberikan kepadanya,
karena dibalik dosa besar, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan
perbuatan- perbuatan baik. Dan jika meninggal dunia tanpa taubat, akan kekal
dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan yang
diterima kafir.
2.
Paham qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailani.
Kata Wasil, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Dia tidak dapat berbuat jahat
dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat
dengan hal- hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian, manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya. Iman dan
kufurnya , kepatuhan dan tidak kepatuhannya pada Tuhan, atas perbuatan-
perbuatannya ini manusia memperoleh balasan. Dan untuk terwujudnya perbuatan-
perbuatan itu Tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya.
3.
Mengambil bentuk peniadaan sifat- sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-
apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud
tersendiri di luar Dzat Tuhan. Tetapi, sifat yang merupakan esensi Tuhan.
Ajaran ini dikatakan al- Syahrastani, belum matang dalam pemikiran Wasil,
tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut- pengikutnya setelah mereka
mempelajari filsafat Yunani.
Orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah,
hanyalah orang yang mengakui dan menerima tentang al- Usul al- Khamsah atau
lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mu’tazilah, yaitu:
1)
Al- Tawhid,
ialah Kemahaesaan Tuhan. Tuhan dalam paham mereka, akan betul- betul Maha Esa
hanya kalau Tuhan merupakan Dzat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Oleh karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme, yaitu paham yang
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk- Nya. Dan menolak beatific
vision, yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.
Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha
Melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan oleh zat Tuhan.
Dengan kata lain sifat- sifat itu merupakan esensi Tuhan. Kaum M’tazilah
membagi sifat- sifat Tuhan ke dalam dua golongan, yaitu: (a) Sifat- sifat yang
merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah dan (b) Sifat- sifat
yang merupakan perbuatan- perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah.
2)
Al- ‘Adl,
ada hubungannya dengan al- Tawhid. Kalau dengan al- Tawhid kaum
Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan makhluk, maka dengan al-
‘Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan
perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat
zalim sedang pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Tuhan dalam paham
Mu’tazilah, tidak berbuat buruk atau tidak bisa berbuat buruk (zulm)
karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang bersifat tidak
sempurna. Dan Tuhan bersifat Maha Sempurna.
3)
Al- Wa’d wa al- Wa’id,
yaitu janji dan ancaman. Tuhan tidak akan dapat disebut adil, jika Tuhan tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang
yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
4)
Al- Manzilah bain al- Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat
hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia
masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena
imannya tidak lagi sempurna. Iman menurut paham Mu’tazilah digambarkan, bukan
hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan- perbuatan.
Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak
dapat masuk surga. Tempat satu- satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau
ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat dengan kafir. Oleh karena itu
pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih
ringan. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan
itulah pula keadilan.
5)
Al- ‘Amr bi al- Ma’ruf wa al- Nahy ‘an al- Munkar, yaitu perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap
sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh umat Islam
lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan- golongan itu adalah tentang
pelaksanaanya. Kaum Khawarij memandang bahwa untuk itu perlu dipakai kekerasan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu
dengan kekerasan.
6.
Ahli Sunnah dan Jama’ah
Rakyat biasa,
dengan pemikiran mereka yang sederhana, ingin pada ajaran- ajaran yang
sederhana pula. Masyarakat biasa tidak dapat menyelami ajaran- ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Kaum Mu’tazilah
tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan berarti mereka
tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu
pada keoriginalan hadis- hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena
itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada
sunnah.
Kaum
Mu’tazilah, disamping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang
tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli
Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan
mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan
tidak kuat berpegang pada sunnah.
Sunnah dalam
term ini berarti Hadis. Ahmad Amin menerangkan, Ahli Sunnah dan Jama’ah,
berlainan dengan kaum Mu’tazilah. Ahli Sunnah dan Jama’ah percaya pada dan menerima hadis- hadis shahih
tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan jama’ah berarti mayoritas
sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al- Syari’ah al- Mahbubi yaitu ‘ammah
al- Muslimin (umumnya umat Islam) dan al- jama’ah al- kasir wa al- aswad
al- a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).
Bagaimanapun,
yang dimaksud dengan Ahlli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam
adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
1.
Kaum Asy’ariah
Asy’ariah di
ambil dari nama Al- Asy’ari yang memiliki nama lengkap ialah Abul Hasan Ali bin
Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat
Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan
Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia
berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang
semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang
ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut
jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan
Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain
mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan
beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil
riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali,
yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh
hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan
Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari
menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan
taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari menganut
faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5]
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw.
sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan.
Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham
Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Setelah itu,
Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan
menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang
pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak
pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah.
Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan
dari para shahabat,tabi’in, serta imam ahli hadits.[6]
2.
Kaum Maturidi
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah
diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di
samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]Maturidiyah adalah
aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak
kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah
penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan
hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran
Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang
merupakan ajaran teknologi yang Bercorak rasional.
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia
dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di
wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia
wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang
memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya
adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain
itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu
Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.[7]
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis
istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu theologia. Yangberasal
dari dua kata theoos yang Berarti tuhan.dan logos yang artinya
tuhan. Sehingga arti Theologi islam adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan
pengertian theologi Islam menurut terminologi adalah ilmu yang membahas
tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan.
Sejarah Munculnya
Teologi –teologi islam, Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini
terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan
nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan
mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan
tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebgaimana di ketahui,
bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar – pencar ke negara yang baru
tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan sejalan dengan pendapat diatas,
Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
- Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash Al-Qur’an
- Perbedaan para sahabat di sebabkan perbedaan riwayat
- Perbedaan para sahabat di sebabkan karena ra’yu.
Ada beberapa keterkaitan antara Ilmu
teologi Islam, filsafat, dan tasawuf dalam objek kajian. Objek
kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah
alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan objek kajian tasawuf
adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari
objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang ketuhanan. Menurut argument filsafat,
ilmu kalam dibangun di atas dasar logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya
bersifat spekulatif (dugaan yang tak bisa dibuktikan secara empiris, riset dan
eksperimental). Kerelatifan logika menyebabkan beragamnya kebenaran yang
dihasilkan. Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berususan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran.[8]
[1] https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/
[6] https://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[7] https://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[8] http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/04/sumber-sumber-serta-metode-pembahasan.html
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .