Thursday, January 18, 2018

Makalah Antropologi Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarga. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Kebudayaan tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Secara faktual, dan sebagaimana tersurat dalam definisi yang dikemukakan Koentjaraningrat, kebudayaan dapat menjadi milik diri manusia sehingga menjadi karakteristiknya yang esensial dibanding dengan hewan hanyalah melalui belajar. Di pihak lain, bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan sedikit banyak merupakan himpunan dari pola-pola budaya yang diperlukan dalam rangka mempertahankan eksistensi suatu masyarakat Wahyudin Dinn ( 2008: 2-28 ).
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistrmatis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga  antropologi menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar  kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapanga oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengekploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun akan membahas secara lengkap tentang landasan antropologi dalam pendidikan di masa yang terdahulu sampai saat ini. Tujuannya agar pendidikan di Indonesia tetap memahami keanekaragaman budaya setempat dan tidak menghilangkan nilai luhur, norma, serta etika dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Antropologi dan Antrologi Pendidikan?
2.      Bagaimana Perkembangan Antropologi Pendidikan?
3.      Bagaimana Hubungan dan pendekatan Antropologi Pendidikan melalui Sosial Budaya?

C.     Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian, macam-macam dan manfaat Antropologi serta perkembangan Antropologi dalam pendekatan Antropologi Pendidikan dalam Sosial Budaya.














BAB II
PEMBAHASAN

1.     Antropologi

A.      Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ”antrophos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbanding atau perbedaan budaya antar manusia.[[1]]
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.[[2]]
Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu Antropologi Fisik atau Biologi dan Antropologi Budaya. Tetapi dalam pecahan Antropologi Budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak sehingga menjadi spesialisasi – spesialisasi, termasuk Antropologi Pendidikan. Seperti hal nya kajian Antropologi pada umumnya Antropologi Pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.[[3]]

B.       Antropologi Pendidikan.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abab ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan sosial di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil  kajian pendidikan di persekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963).
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.[[4]]
C.      Sejarah Perkembangan Antropologi Pendidikan.
Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
1.     Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka yang berlansung kira-kira 4 abad, kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan.
Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa, buah tangan para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama Nasrani, penerjemah kitab Injil dan pegawai pemerintah jajahan.[[5]]
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.     Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.     Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4.     Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Ilmu Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk hidup yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun yang lalu.
Antropologi bukanlah satu satunya ilmu yang  mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi.
Antropologi berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar dalam studi-studi Antropologi.[[6]]
D.      Hubungan Antropologi Pendidikan dengan Budaya.
Budaya dicapai manusia melalui proses yang panjang, melalui pendidikan, melalui sosialisasi sehingga diperoleh internalisasi nilai yang menjadikan nilai itu menjadi satu dengan dirinya, menjadi miliknya yang diaktualisasikan secara spontan dalam kehidupan nyata.
Pendidikan pada dasarnya adalah proses budaya. Pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Transfer nilai-nilai budaya dimiliki paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Keduanya sangat erat sekali hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung satu sama lainnya.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa demi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik, terutama lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungan nya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.
Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang ‘Asing’ dalam lingkungan budayanya. Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya dilingkungan terdekat berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang di anut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan tidak mengenal didinya sebangai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan. Karena salah satu peran kebudayaan dalam pendidikan adalah membentuk kepribadian.[[7]]
Kurikulum yang sudah diterapkan pada masing-masing daerah berdampak pada  perkembangan pengetahuan yang berbeda dan mempengaruhi kemajuan masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Melihat permasalahan tersebut, maka peranan pendidikan sangat penting khususnya penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pendidikan nasional dan tercapainya tujuan pembelajaran.[[8]]
E.       Pendekatan Antropologi Pendidikan Melalui Sosial Budaya.
Dengan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan secara alamiah, dari dulu telah berlangsung upaya pendidikan sebagai proses transmisi dan transformasi kebudayaan. Untuk itu, pendidikan di masing-masing daerah berbeda dan disesuaikan dengan budaya daerah tersebut. Proses pendidikan bangsa telah ada sebelum kedatangan penjajah dan memiliki antropologis yang kuat.
Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu. Piranti ini adalah berbagai institusi social, baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan sekolah dan juga media masa sebagai penyalur informasi:
1.      Lingkungan Pendidikan Keluarga
Lingkungan keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini, secara perlahan akan menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi sebagai nara sumber utama.
Secara tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak). Lingkungan keluarga menjadi salah satu  focus kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan. Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan keluarga terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual; (2) fungsi ekonomi; (3) fungsi edukasi.
Fungsi eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai tempat melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian, keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain kegiatan edukasi dilakukan secara terus-menerus dengan berbagai cara baik.
 Inti dari proses pewarisan budaya dalam keluarga adalah terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian). Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak tubuh anak-anak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture (1951).
2.      Lingkungan Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin (1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar, dan yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama. Masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya suatu masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu tersebut telah lama melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap. System perwarisan budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai pranata social, diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system hokum, system kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang lebih luas, masyarakat memiliki struktur.
Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh anggota masyarakat di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi social itu menunjukan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan, mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya. Pada saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan memberikan nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai tersebut. Demikian selanjutnya seorang anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh anggota masyarakat lainnya.
3.      Lingkungan Pendidikan sekolah
Sekolah adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang pembelajaran semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, sekolah pada dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Pendidikan di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa masih belum dapat dijangkau mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun pendidikan formal ini diupayakan untuk dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia telah merencanakan adanya program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun.
4.      Lingkungan Pendidikan Media Massa
Media massa adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini, pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama. Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Salah satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui media massa terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam proses transformasi budaya bagi seluruh anggota masyarakat.
Selain Konteks Transmisi Budaya, Pendidikan multicultural pun dibutuhkan tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada kelompok etnik dan minoritas tapi untuk memperoleh akses pendidikan secara baik. Tetapi menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar tercipta harmoni kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan pendidikan multicultural akan tercipta :
a.       Saling memahami perbedaan sosiobudaya.
b.      Menciptakan harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural telah muncul sejak tahun 1900.[[9]


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Objek kajian antropologi adalah budaya.
Kebudayaan adalah totalitas kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan dan kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga bisa ikut berubah dan bila pendidikan berubah akan akan dapat mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan adalah sangat besar. Semakin potensi seseorang dikembangkan semakin mampu ia menciptakan atau mengembangkan kebudayaan. Sebab kebudayaan dikembangkan oleh manusia.
Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan pendekatan Antropologi



[[1]] http://sukrigazali.blogspot.co.id/2013/01/makalah-antropologi.html
[[2]] http://dian-mutiarasari.blogspot.co.id/2012/05/makalah-antropologi-pendidikan.html              
[[3]] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2013/09/landasan-antropologi-pendidikan_24.html?m=1
[[4]]https://tepenr06.wordpress.com/2012/09/02/antropologi-pendidikan/
[[5]] Pengantar Ilmu Antropologi: Koentjaningrat, Jakarta, 1989.
[[6]]https://dekabopass2.blogspot.co.id/2015/08/makalah-antropologi-dalam-perkembangan.html
[[7]] Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan: Djohar, Yogyakarta, 2006
[[8]] Antropologi Pendidikan: Nasution, Jakarta, 2004.
[[9]]http://dian-mutiarasari.blogspot.co.id/2012/05/makalah-antropologi-pendidikan.html

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .