BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, setidaknya
manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja potensi yang
dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam menjalani
hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai
manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya
berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pendidikan dapat diartikan sebagai
suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap
melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan
pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat
diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui
lembaga informal dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam
lingkungan keluarga. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan
berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami
kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Kebudayaan
tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Secara faktual, dan sebagaimana
tersurat dalam definisi yang dikemukakan Koentjaraningrat, kebudayaan dapat
menjadi milik diri manusia sehingga menjadi karakteristiknya yang esensial
dibanding dengan hewan hanyalah melalui belajar. Di pihak lain, bahwa
kebudayaan sebagai keseluruhan sedikit banyak merupakan himpunan dari pola-pola
budaya yang diperlukan dalam rangka mempertahankan eksistensi suatu
masyarakat Wahyudin Dinn ( 2008: 2-28 ).
Antropologi
pendidikan dihasilkan melalui khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian
yang sistrmatis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya,
sehingga antropologi menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah
benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun
ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media
pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapanga oleh
para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengekploitasi nilai
kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek
pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penyusun akan membahas secara lengkap tentang landasan
antropologi dalam pendidikan di masa yang terdahulu sampai saat ini. Tujuannya
agar pendidikan di Indonesia tetap memahami keanekaragaman budaya setempat dan
tidak menghilangkan nilai luhur, norma, serta etika dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Antropologi dan Antrologi Pendidikan?
2. Bagaimana
Perkembangan Antropologi Pendidikan?
3. Bagaimana
Hubungan dan pendekatan Antropologi Pendidikan melalui Sosial Budaya?
C. Tujuan
Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui pengertian, macam-macam dan manfaat Antropologi serta
perkembangan Antropologi dalam pendekatan Antropologi Pendidikan dalam Sosial
Budaya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Antropologi
A.
Pengertian
Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari
kata ”antrophos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu. Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu
dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional
memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan
pada perbanding atau perbedaan budaya antar manusia.[[1]]
Antropologi merupakan salah
satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya
masyarakat suatu etnis
tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa
yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di
daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi
tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan
sosialnya.[[2]]
Antropologi secara
garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu Antropologi Fisik atau
Biologi dan Antropologi Budaya. Tetapi dalam
pecahan Antropologi Budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak
sehingga menjadi spesialisasi – spesialisasi, termasuk Antropologi
Pendidikan. Seperti hal nya kajian Antropologi pada
umumnya Antropologi Pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian
yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam
dunia pendidikan.[[3]]
B.
Antropologi
Pendidikan.
Antropologi
pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan
abab ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan berupaya menemukan pola
budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan
social. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil
kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat
perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan
sosial di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai
digelar. Hasil-hasil kajian pendidikan di persekolahan melalui
antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963).
G.D.
Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang
terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada
dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik,
tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga
tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang
dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Antropologi
Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang
menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di
negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di negara
berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini
menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan
diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya
mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social
budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Antropologi
pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan
kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya,
sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya
yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya
sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat
berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas
para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan
menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu
keseluruhan.[[4]]
C.
Sejarah Perkembangan
Antropologi Pendidikan.
Seperti
halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan
ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
1.
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad
ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia.
Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya
mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku
yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka yang
berlansung kira-kira 4 abad, kemudian mereka catat di buku harian ataupun
jurnal perjalanan.
Mereka
mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai
dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku
tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut
kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa,
buah tangan para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama Nasrani, penerjemah
kitab Injil dan pegawai pemerintah jajahan.[[5]]
Bahan
etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku
luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul
usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase
ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan
berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan
kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama.
Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif
yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase
ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang
tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase
ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain
seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun
koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa
asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa
serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara
Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya.
Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku
bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk
kepentingan pemerintah kolonial.
4.
Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase
ini, Ilmu Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku
bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh
kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa
ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini
membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar
negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan
kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada
saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa
untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut
berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap
bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses
perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan
kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di
daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Dalam
kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia yang pernah hidup
pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka bumi ini. Mahluk manusia ini
hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk hidup yang ada di bumi ini yang
diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun yang lalu.
Antropologi bukanlah satu satunya
ilmu yang mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti ilmu Politik yang
mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi
manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia dan masih banyak
lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak
mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi
disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi.
Antropologi
berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu
dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua manusia?
Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku seperti
itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar dalam studi-studi
Antropologi.[[6]]
D.
Hubungan
Antropologi Pendidikan dengan Budaya.
Budaya
dicapai manusia melalui proses yang panjang, melalui pendidikan, melalui
sosialisasi sehingga diperoleh internalisasi nilai yang menjadikan nilai itu menjadi
satu dengan dirinya, menjadi miliknya yang diaktualisasikan secara spontan
dalam kehidupan nyata.
Pendidikan
pada dasarnya adalah proses budaya. Pendidikan secara praktis tak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Transfer nilai-nilai budaya dimiliki
paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Keduanya sangat erat sekali
hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung satu sama lainnya.
Menurut UU
No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan
juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya
bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa
depan.Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah
dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses
pewarisan budaya dan karakter bangsa demi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Usaha sadar
itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik, terutama lingkungan
budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungan nya dan
bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.
Pendidikan
yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercabut
dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak akan mengenal
budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang ‘Asing’ dalam lingkungan
budayanya. Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai
dari budaya dilingkungan terdekat berkembang ke lingkungan yang lebih luas
yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang di anut oleh umat
manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia
tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan tidak mengenal didinya sebangai
anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian dia sangat rentan terhadap
pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa
proses pertimbangan. Karena salah satu peran kebudayaan dalam pendidikan adalah
membentuk kepribadian.[[7]]
Kurikulum yang sudah diterapkan pada masing-masing daerah berdampak
pada perkembangan pengetahuan yang berbeda dan mempengaruhi kemajuan
masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah
perkotaan dengan daerah pedesaan. Melihat permasalahan tersebut, maka peranan
pendidikan sangat penting khususnya penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan
yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik. Hal ini bertujuan
untuk mewujudkan pendidikan nasional dan tercapainya tujuan pembelajaran.[[8]]
E.
Pendekatan
Antropologi Pendidikan Melalui Sosial Budaya.
Dengan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan secara alamiah, dari dulu
telah berlangsung upaya pendidikan sebagai proses transmisi dan transformasi
kebudayaan. Untuk itu, pendidikan di masing-masing daerah berbeda dan
disesuaikan dengan budaya daerah tersebut. Proses pendidikan bangsa telah ada
sebelum kedatangan penjajah dan memiliki antropologis yang kuat.
Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti
tertentu. Piranti ini adalah berbagai institusi social, baik pada lingkungan
keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan sekolah dan juga media masa sebagai
penyalur informasi:
1.
Lingkungan
Pendidikan Keluarga
Lingkungan
keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam
internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat
mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara
jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui
tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari
memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya
peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini, secara perlahan akan
menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi sebagai nara
sumber utama.
Secara
tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok
memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak).
Lingkungan keluarga menjadi salah satu
focus kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system
kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan.
Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum
mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan
keluarga terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual;
(2) fungsi ekonomi; (3) fungsi edukasi.
Fungsi
eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai tempat
melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam
lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta
belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian,
keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi
berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata
lain kegiatan edukasi dilakukan secara terus-menerus dengan berbagai cara baik.
Inti dari proses pewarisan budaya dalam
keluarga adalah terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses
pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian
antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat
istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian).
Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak
tubuh anak-anak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture (1951).
2.
Lingkungan
Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin
(1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar, dan yang
memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama. Masyarakat
terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya suatu
masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu tersebut telah lama
melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap. System perwarisan
budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai pranata social,
diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system hokum, system
kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang lebih luas,
masyarakat memiliki struktur.
Pewarisan
budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh anggota masyarakat di lingkungannya.
Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi
social itu menunjukan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai
pembelajaran nilai dan norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang
lebih tua, dan sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari
lingkungan, mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada
masyarakatnya. Pada saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat
lainnya akan memberikan nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak
sesuai tersebut. Demikian selanjutnya seorang anak diberi pelajaran
dan bimbingan oleh anggota masyarakat lainnya.
3.
Lingkungan
Pendidikan sekolah
Sekolah
adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk
melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan
saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral
dan menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai
pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang
pembelajaran semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, sekolah pada
dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik untuk kehidupan di masa yang
akan datang.
Pendidikan
di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para pendidik
yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi
moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system
pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata
pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan
jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan cermin dari masyarakat
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses
pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus
menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi
masyarakat yang kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa
masih belum dapat dijangkau mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun
pendidikan formal ini diupayakan untuk dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola
guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia telah merencanakan adanya
program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7 sampai 15
tahun.
4.
Lingkungan
Pendidikan Media Massa
Media massa
adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini,
pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan
pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama.
Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap
segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di
masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu
terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Salah satu
fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya
informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya
secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui
media massa terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar
anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam
proses transformasi budaya bagi seluruh anggota masyarakat.
Selain Konteks Transmisi Budaya, Pendidikan
multicultural pun dibutuhkan tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada
kelompok etnik dan minoritas tapi untuk memperoleh akses pendidikan secara
baik. Tetapi menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar
tercipta harmoni kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan
pendidikan multicultural akan tercipta :
a.
Saling
memahami perbedaan sosiobudaya.
b.
Menciptakan
harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana
mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural
telah muncul sejak tahun 1900.[[9]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Antropologi
adalah studi tentang umat manusia, yang berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian
yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Objek kajian antropologi adalah
budaya.
Kebudayaan
adalah totalitas kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan
dan kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik. Bila kebudayaan berubah maka
pendidikan juga bisa ikut berubah dan bila pendidikan berubah akan akan dapat
mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan
kebudayaan adalah sangat besar. Semakin potensi seseorang dikembangkan semakin
mampu ia menciptakan atau mengembangkan kebudayaan. Sebab kebudayaan
dikembangkan oleh manusia.
Antropologi
pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan memecahkan
masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan
pendekatan Antropologi
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .