Wednesday, October 3, 2018

Makalah Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai dan Perubahan Sosial



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar belakang
Di zaman modern ini, manusia tak lepas dari unsur pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai pengembangan aspek pengetahuan manusia untuk dikehidupannya sehari-hari. Bukan hanya aspek pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai/norma yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Semakin berkembangnya kecerdasan manusia dari masa ke masa, perubahan social-nya semakin pesat dengan pengaruh perkembangan IPTEK tanpa ada pertimbangan norma-norma yang ada. Maka dari itu perlu adanya pemilahan-pemilahan agar tidak ada kecenderungan salah persepsi.
Lalu, bagai mana pendidikan dapat melestarikan nilai-nilai yang ada? Apasaja yang dapat mempengaruhi perubahan-perubahan social seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia yang semakin hari semakin pesat? Lalu, apa saja pengembangan nilaibaru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan?
Dari subjek-subjek pertanyaan tersebut, saya akan mencoba membahasnya dalam makalah kami yang berjudul “Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai dan Perubahan Sosial”.



















  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan?
2.      Apa makna pendidikan sebagai pelestarian nilai?
3.      Apa pengertian dari perubahan sosial?
4.      Pengembangan nilai pendidikan nasional di masa depan?

  1. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui arti pendidikan
2.      Mengetahui makna pendidikan sebagai pelestarian nilai
3.      Mengetahui arti dari perubahan sosial
4.      Mengetahui paradigma nilai dari pendidikan nasional di masa depan























BAB II
PEMBAHASAN
  1.   Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas adalah seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala pengalaman sepanjang hidupnya memberikan pengaruh pendidikan baginya.
Pendidikan dalam arti sempit yaitu pendidikan hanya mempunyai fungsi terbatas yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam praktiknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dalam situasi dan kondisi serta lingkungan yang serba terkontrol.
Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. Pendidikan berarti usaha yang disengaja dan terencana untuk merealisasikan ide-ide itu untuk menjadi kenyataan dalam tindakan, tingkah laku pembinaan kepribadian. Pendidikan juga berarti suatu aktifitas sosial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang.[1]
Pendidikan adalah sebagai proses rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban,  artinya pendidikan selain berperan besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas mengatasi tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi, tetapi juga cemerlang dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia sebagai spiritual dan sosialisasi. Kehidupan manusia dalam memenuhi kehidupannya, semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar berupaya melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan kesejahteraan hidup oleh karena perubahan lingkungan. Oleh karena itu, ditengah kemelut dunia dan krisis panjang kehidupan,  sebagai anak bangsa yang mempunyai nilai leluhur harus membaca catatan sejarahnya.
  1. Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai
Nilai merupakan prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan atau standar yang dipakai dan diterima individu, kelas, kelompok hingga masyarakat. Menurut Drijarkara nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan manusia. Nilai erat kaitannya dengan kebaikan, meski keduanya memang tak sama, bahwa sesuatu yang baik tak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Nilai mengandung aspek teoritis yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap sesuatu secara hakiki dan praktis. Nilai berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Dan pada hakikatnya nilai itu tetap. Menurut Plato jika manusia tau apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral.
Misalnya suatu kewajiban bagi manusia untuk berlaku jujur, adil, ikhlas, kasih sayang, pemaaf sesama manusia. Oleh karena itu semua merupakan kebaikan universal. Manusia memiliki nilai dan harkat kemanusiaan yang tak terbatas sebagai makhluk manusia. Menurut objektivisme nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pendidikan memiliki nilai objektif, karena tanpa dinilai oleh manusia pun pendidikan secara inhern adalah baik. Pendidikan yang baik sebagai nilai bagi manusia atau sebaliknya.
Apa yang dilestarikan dari nilai oleh pendidikan? Nilai itu perwujudan dari hal-hal yang baik menurut manusia. Hal-hal yang baik itu diantaranya nilai-nilai moral, etika dan budi pekerti, hati nurani, rasa ketaqwaan, dan lain-lain. Hal-hal yang dikatakan nilai itu harus ditanamkan kepada generasi muda dalam proses pendidikan. Tujuannya adalah supaya generasi muda mempertahankan dan menjaga nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai kerukunan dimasyarakat. Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal[2]
  1. Pengertian Perubahan Sosial
Mengapa terjadi perubahan? Perubahan terjadi karena kebosanan (Hirschman, Horton dan Hunt.1980). selain kebosanan, perubahan terjadi karena sifat dasar manusia yang tak pernah pusa dengan apa yang harus dimilikinya dan selalu berinovasi untuk perubahan-perubahan yang menjadi kebutuhannya yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu.
       Perubahan sosial menurut para ahli :
Perubahan sosial dapat mengakibatkan disorganisasi yaitu cara-cara yang lama atau tradisional akan hilang dan tidak digunakan, kemudian cara-cara yang baru akan berkembang tanpa menghilangkan nilai-nilai yang ada. (Perubahan Sosial Pembangunan.76).
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antara kelompok dalam masyarakat (Soemardjan.1981).
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Davis,1960).      
Perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan apa yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial (Laver,1989).
Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial masyarakat (Cohen,1983).
Jadi kesimpulannya adalah perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem sosial, termasuk aspek kebudayaan seperti norma, kebiasaan, kepercayaan, tradisi sikap, dan pola tingkah laku dalam masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada sejak zaman nenek moyang.[3]
  1. Pendidikan Sebagai Agen Perubahan Sosial
George S Counts mengemukakan bahwa pendidikan akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat pembangunan masyarakat yang baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial. Tujuan pendidikan yaitu menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global dan memberi keterampilan kepada mereka untuk memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan.
Teori pendidikan rekonstruksionisme oleh Brameld (Kneller,1971) yaitu bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Maka kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia bukan menghancurkannya.
Perubahan sosial sebagaimana tampak kecenderungannya dari masa ke masa, dapat terjadi seperti gejala liar fenomena alam lainnya, dimana manusia sebagai mahluk alamiah dihadapkan pada berbagai  tuntutan hidup seiring perubahan alam, dan sejarah sosialnya. Faktanya berlangsungnya eksploitasi manusia oleh manusia hingga bangsa atas bangsa lain dan kecenderungan umum manusia memanfaatkan sumber daya alam secara semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak dapat dibantah dan karenanya terus berlangsung sampai entah kapan.
Perubahan sosial yang terjadi didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan  perubahan spektakuler dalam cara hidup. Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara  masal dapat diterima sebagai bagian dari kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas  menjadi jauh ketinggalan  oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia korporasi. Pendidikan, setidaknya punya peran dalam menstransformasikan  dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan manusia secara lebih masal. Tetapi, pendidikan menjadi instrumentasi tak berjiwa ketika dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia  dalam mengusasi hajat hidup sebagaimana pantasnya  dilakukan oleh kanak-kanak. Akibatnya perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan menjauhkan dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah panjang kita mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini. Pendidikan adalah investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan pendidikan, sama artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana menghadapi hari depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap kemanusiaan dan anak bangsanya sendiri.[4]
Berikut ini, dapat dipetikan deskripsi nilai dalam format pencarian kembali nilai pendidikan nasional untuk Indonesia masa depan  Nilai-nilai yang dimaksud adalah :
1)      Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
a)      Nilai dalam Sumber Legal
Sejak bangsa Indonesia memploklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber legal. Nilai-nilai yang ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal : Pancasila, dan juga nilai-nilai praktis (practical values) seperti pengakuan hak warganegara untuk memperoleh suatu pendidikan, hak mendapatkan perlindungan bagi yang terlantar dan jompo , serta dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika para pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului zamannya.
b)   Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti bagi bangsa kita saat ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi dengan keyakinan untuk menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala ketergantungan. Ini adalah sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir hingga dewasa ada dalam hubungan saling bergantung, antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia dengan lingkungannya. Kelebihan dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat berkembang utuk mengurangi sifat ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia. jika setiap individu memiliki potensi untuk menyelesaikan sebuah permasalahan berarti individu tersebut mengurangi ketergantungan, dan jika kemampuan tersebut dikembangkan maka pendidikan berhasil mencapai satu kemenangan.
c)    Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core Values)
Meskipun kemandirian memiliki nilai positif karena bermakna membebaskan siapa saja dari ketergantungan kepada hal-hal yang seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam dirinya ada. Tetapi itu baru bernilai plus satu, nilai inti ideal tentu saja mensyaratkan nilai plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan, melainkan harus mampu menang dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan diri untuk membebaskan dari ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan dalam mengatasi persaingan yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan. Sehingga, merujuk pada tuntutan kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam menghadapi persaingan, bukan lagi nilai potensial sekedar bertahan, melainkan nilai aktual yang dapat mengatasi dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka itu, maka nilai inti ideal yang harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain dari nilai keunggulan (excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan di bawah ini :
“Kemandirian bukan merupakan nilai inti yang ideal untuk masa depan, melainkan merupakan nilai inti yang bersifat antara (intermediate core value). Yang merupakan nilai inti ideal untuk masa depan adalah keunggulan (excellence). Dalam proses pendidikan, Noeng Muhadjir menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum learning” menurut Bobbi De Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar tetap sukses, motivasi untuk terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh dijadikan energi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat mencapai keunggulan.”
d)     Nilai-nilai instrumental (instrumental values)
Selain nilai inti dan nilai inti ideal, penting juga memahami kedudukan nilai instrumental. Nilai instrumental memenuhi maknanya ketika nilai-nilai tersebut menjalani fungsi sebagai antara. Sebagai contoh, pokja yang menggambarkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam tataran yang beragam, seperti : “ada yang dapat diterapkan sebagai nilai nilai kehidupan (living values), nilai-nilai praktik (practical values), kepribadian terpuji atau kebajikan (virtues), dan perilaku terpuji (conduct), tetapi dapat pula diterapkan pada tataran etiket.” Untuk kepentingan pendidikan kedudukan nilai instrumental ini dapat berguna dalam membina kepribadian individu dan satuan sosial untuk mendukung nilai inti (kemandirian) dan lebih lanjut menunjang nilai inti ideal (keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang disebutkan pokja antara lain, seperti nilai-nilai :
·         otonomi (autonomy)
·         kemampuan atau kecakapan (ability)
·         kesadaran demokrasi
·         kreativitas
·         kesadaran kebersamaan kompetitif
·         estetis
·         bijak (wisdom)
·         bermoral
Kedelapan nilai-nilai tersebut dalam aktualisasinya satu sama lain diisyaratkan harus saling berkaitan sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk itu pertautan nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan dengan meringkas beberapa bagian di dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
“Terhadap nilai instrumental ke delapan, seiring rasio reformasi atas ketidak berhasilan bangsa ini membangun moralitas di masa orde lalu (orde baru) pada tempatnya timbul pertanyaan, dan jawabnya tentu saja bagi kita adalah: bahwa sepanjang masih memilih kebersamaan dan keberbedaan dan kebersatuan dalam wadah NKRI, Pancasila bukan saja tetap menempati kedudukannya sebagai Dasar Negara, tetapi juga masih menjadi acuan moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa jauh pada identitas masing-masing diri kita harus memilih keteguhan sistem kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi penyatuan bentuk moralitas nasional Indonesia.”
Selanjutnya, berdasarkan delapan watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity), martabat (pride), dan keunggulan (excellence). Dengan demikian, nilai inti (kemandirian) dikembangkan yang isinya mencakup sebelas nilai instrumental dengan substansi lima living values Pancasila untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya mengimplisitkan makna ‘mampu bersaing’
2)      Nilai-nilai aktual dalam perilaku
Ke delapan hingga sebelas nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan untuk menjadi acuan konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik secara makro hingga tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga pendidikan. Selanjutnya konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus diproyeksikan pada dimensi aktual dalam wujud perilaku hingga menjadi kepribadian setiap manusia Indonesia sebagai individu warga negara atau warga masyarakat baik pada tataran lokal, nasional hingga global.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian yang diharapkan terbentuk melalui proses pendidikan multy system di dalam dinamika pembangunan nasional kita ke depan, diharapkan mengkristal pada standar tata-laku ideal, yang oleh Pokja disebut sebagai ‘perilaku terpuji’ (Conduct) dan kepribadian terpuji (Virtues).



a)    Perilaku Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa yang terbingkai dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah hingga kini, setiap diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki, mewarisi perilaku dan kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan, dimodifikasi, dikompilasi, dipadukan selain harus diakui ada sebagian di dalamnya jenis dan sifat perilaku dan kepribadian yang seharusnya sudah ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku dan kepribadian terpuji masing-masing suku, budaya daerah, dan agama dapat dikompilasi menjadi perilaku dan kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan sejumlah modifikasi, baik dalam makna antar budaya maupun dalam makna antar era atau zaman, dapat dibangun keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja mengangkat sebuah contoh, misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut memberi sumbangan yang efektif dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai contoh, Pokja mengilustrasikan sebuah gambaran sebagai berikut:
Perilaku kerja keras merupakan perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu dimodifikasi menjadi kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia. Hasrat belajar tidak cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan visi tentang belajar yang lebih strategis bagi masa depan. Kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih masa depan perlu dilandaskan pada pengakuan kebebasan dan otoritas orang lain untuk berbuat sama, dan kesemuanya dalam konteks berperilaku yang jujur dan adil. Dalam konteks reformasi sekarang ini, pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan adalah pengakuan otoritas yang dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.
 (b)   Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula dalam ujud kepriadian terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri individu atau satuan etnik tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah saling mengenal karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis kepribadian terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh, keberanian dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela, mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam mempertahankan tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional terpuji, kita dapat mengembangkannya agar menjadi kecenderungan perilaku yang telah menjadi cirri dan sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini selengkapnya dapat petikan ilustrasi pokja sebagai berikut:
“bahwa sejumlah etnik memiliki kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian tertutup dan dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan, tanpa  dendam. Budaya nasional kita hendaknya mampu mengompilasikan kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam , yang dimiliki sejumlah etnik, dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan pendendam yang dimiliki oleh sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur memiliki sifat berani mengambil risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan kepastian yang aman. Kepribadian dalam dinamika masa depan memerlukan kepribadian subkultur yang memiliki sifat berani mengambil risiko. Kepribadian kompetitif dan sportif yang materialistik perlu ditingkatkan menjadi kompetisi yang lebih meningkatkan harkat martabat manusia termasuk kompetisi dalam berbuat kebajikan.”
Salah satu upaya kebajikan dalam kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai standar minimal untuk ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak semakin memperlemah yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna  ekonomi, politik, social dan budaya atau lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi. Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan menjadi  sukses material yang menjaga harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan, meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh harmoni.






BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Pendidilan sebagai alat oerjuangan peningkatan mutu, kesiapan dan kesanggupan bersaing termasuk tantangan maju bersama dunia tanpa saling dikalahkan dan mengalahkan. Untuk itu pendidikan sebagai kata kuncinya harus dapat ditempatkan dan dimaknai sesuai dengan cita-cita luhur kemanusiaan, yakni pendidikan yang berorientasi maju pada penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan tujuan hidup mulia sebagai umat manusia dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya meng-Indonesiakan segenap anak bangsa Indonesia, selain tetap melestarikan nilai-nilai etniknya sendiri

  1. Saran
Nilai harus dilestarikan kepada generasi penerus melalui media pendidikan, dan diharapkan perubahan social generasi penerus tidak meninggalkan nilai/norma-norma yang berlaku di masyarakat.


















DAFTAR PUSTAKA


Sidharta, Arief. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?. Bandung: Pustaka Sutera
Fitri, Zaenal Agus. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Wahyu. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT Hecca Mitra Utama
Wiryohandoyo, Sudarno. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana


[1] Sidharta, Arief. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?. Bandung: Pustaka

[2] Fitri, Zaenal Agus. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di

[3] Wiryohandoyo, Sudarno. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

[4] Wahyu. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT Hecca Mitra
Utama

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .