BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang
Di zaman modern ini, manusia tak
lepas dari unsur pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai pengembangan aspek
pengetahuan manusia untuk dikehidupannya sehari-hari. Bukan hanya aspek
pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai/norma
yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Semakin berkembangnya kecerdasan
manusia dari masa ke masa, perubahan social-nya semakin pesat dengan pengaruh
perkembangan IPTEK tanpa ada pertimbangan norma-norma yang ada. Maka dari itu
perlu adanya pemilahan-pemilahan agar tidak ada kecenderungan salah persepsi.
Lalu, bagai mana pendidikan dapat
melestarikan nilai-nilai yang ada? Apasaja yang dapat mempengaruhi
perubahan-perubahan social seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia yang
semakin hari semakin pesat? Lalu, apa saja pengembangan nilaibaru dalam
Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan?
Dari subjek-subjek pertanyaan
tersebut, saya
akan mencoba membahasnya dalam makalah kami yang berjudul “Pendidikan Sebagai
Pelestarian Nilai
dan Perubahan Sosial”.
- Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian pendidikan?
2. Apa
makna pendidikan sebagai pelestarian nilai?
3. Apa
pengertian dari perubahan sosial?
4.
Pengembangan nilai pendidikan nasional di masa depan?
- Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui arti pendidikan
2.
Mengetahui makna pendidikan sebagai pelestarian nilai
3.
Mengetahui arti dari perubahan sosial
4.
Mengetahui paradigma nilai dari pendidikan nasional di masa depan
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas adalah
seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala
pengalaman sepanjang hidupnya memberikan pengaruh pendidikan baginya.
Pendidikan dalam arti sempit yaitu
pendidikan hanya mempunyai fungsi terbatas yaitu memberikan dasar-dasar dan
pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam praktiknya
identik dengan pendidikan formal di sekolah dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan yang serba terkontrol.
Pendidikan merupakan usaha dari
manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih,
mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada
generasi muda, agar menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan
tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri
kemanusiaannya. Pendidikan berarti usaha yang disengaja dan terencana untuk
merealisasikan ide-ide itu untuk menjadi kenyataan dalam tindakan, tingkah laku
pembinaan kepribadian. Pendidikan juga berarti suatu aktifitas sosial yang
memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang.[1]
Pendidikan adalah sebagai proses
rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi
budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban,
artinya pendidikan selain berperan besar dalam mendorong perkembangan
kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari
nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas mengatasi
tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi, tetapi juga cemerlang
dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia sebagai
spiritual dan sosialisasi. Kehidupan manusia dalam memenuhi kehidupannya,
semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar berupaya
melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan kesejahteraan
hidup oleh karena perubahan lingkungan. Oleh karena itu, ditengah kemelut dunia
dan krisis panjang kehidupan, sebagai anak
bangsa yang mempunyai nilai leluhur harus membaca catatan sejarahnya.
- Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai
Nilai merupakan prinsip-prinsip
sosial, tujuan-tujuan atau standar yang dipakai dan diterima individu, kelas,
kelompok hingga masyarakat. Menurut Drijarkara nilai merupakan hakikat sesuatu
yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan manusia. Nilai erat kaitannya dengan
kebaikan, meski keduanya memang tak sama, bahwa sesuatu yang baik tak selalu
bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Nilai mengandung aspek teoritis
yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap sesuatu secara hakiki dan praktis.
Nilai berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut pandangan idealisme, nilai
itu absolut. Dan pada hakikatnya nilai itu tetap. Menurut Plato jika manusia
tau apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan moral.
Misalnya suatu kewajiban bagi
manusia untuk berlaku jujur, adil, ikhlas, kasih sayang, pemaaf sesama manusia.
Oleh karena itu semua merupakan kebaikan universal. Manusia memiliki nilai dan
harkat kemanusiaan yang tak terbatas sebagai makhluk manusia. Menurut
objektivisme nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan
pengalaman manusia. Pendidikan memiliki nilai objektif, karena tanpa dinilai
oleh manusia pun pendidikan secara inhern adalah baik. Pendidikan yang baik
sebagai nilai bagi manusia atau sebaliknya.
Apa yang dilestarikan dari nilai
oleh pendidikan? Nilai itu perwujudan dari hal-hal yang baik menurut manusia.
Hal-hal yang baik itu diantaranya nilai-nilai moral, etika dan budi pekerti,
hati nurani, rasa ketaqwaan, dan lain-lain. Hal-hal yang dikatakan nilai itu
harus ditanamkan kepada generasi muda dalam proses pendidikan. Tujuannya adalah
supaya generasi muda mempertahankan dan menjaga nilai-nilai luhur yang
berfungsi sebagai kerukunan dimasyarakat. Pendidikan dalam makna dasarnya
sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal[2]
- Pengertian Perubahan Sosial
Mengapa terjadi perubahan?
Perubahan terjadi karena kebosanan (Hirschman, Horton dan Hunt.1980). selain
kebosanan, perubahan terjadi karena sifat dasar manusia yang tak pernah pusa
dengan apa yang harus dimilikinya dan selalu berinovasi untuk
perubahan-perubahan yang menjadi kebutuhannya yang semakin meningkat seiring
berjalannya waktu.
Perubahan sosial menurut para ahli :
Perubahan sosial dapat
mengakibatkan disorganisasi yaitu cara-cara yang lama atau tradisional akan
hilang dan tidak digunakan, kemudian cara-cara yang baru akan berkembang tanpa
menghilangkan nilai-nilai yang ada. (Perubahan Sosial Pembangunan.76).
Perubahan sosial adalah
perubahan-perubahan pada lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antara kelompok dalam
masyarakat (Soemardjan.1981).
Perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat
(Davis,1960).
Perubahan sosial sebagai perubahan
yang terjadi dalam struktur sosial dan apa yang dimaksud dengan struktur sosial
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial (Laver,1989).
Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang
terjadi dalam struktur masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial
masyarakat (Cohen,1983).
Jadi kesimpulannya adalah perubahan
sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem
sosial, termasuk aspek kebudayaan seperti norma, kebiasaan, kepercayaan,
tradisi sikap, dan pola tingkah laku dalam masyarakat tanpa meninggalkan
nilai-nilai yang ada sejak zaman nenek moyang.[3]
- Pendidikan Sebagai Agen Perubahan Sosial
George S Counts mengemukakan bahwa
pendidikan akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat pembangunan
masyarakat yang baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan
kesukuan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah
sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan
perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial. Tujuan pendidikan
yaitu menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global dan
memberi keterampilan kepada mereka untuk memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat
baru yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan.
Teori pendidikan rekonstruksionisme
oleh Brameld (Kneller,1971) yaitu bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam
rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya
kita dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial
masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri.
Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Maka
kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat
manusia bukan menghancurkannya.
Perubahan sosial sebagaimana tampak
kecenderungannya dari masa ke masa, dapat terjadi seperti gejala liar fenomena
alam lainnya, dimana manusia sebagai mahluk alamiah dihadapkan pada
berbagai tuntutan hidup seiring
perubahan alam, dan sejarah sosialnya. Faktanya berlangsungnya eksploitasi
manusia oleh manusia hingga bangsa atas bangsa lain dan kecenderungan umum manusia
memanfaatkan sumber daya alam secara semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak
dapat dibantah dan karenanya terus berlangsung sampai entah kapan.
Perubahan sosial yang terjadi
didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan perubahan spektakuler dalam cara hidup. Terjadinya
perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara masal dapat diterima sebagai bagian dari
kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil
riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas menjadi jauh ketinggalan oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia
korporasi. Pendidikan, setidaknya punya peran dalam menstransformasikan dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan
manusia secara lebih masal. Tetapi, pendidikan menjadi instrumentasi tak
berjiwa ketika dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia dalam mengusasi hajat hidup sebagaimana
pantasnya dilakukan oleh kanak-kanak.
Akibatnya perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan
menjauhkan dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah
panjang kita mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini.
Pendidikan adalah investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan
pendidikan, sama artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana
menghadapi hari depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap
kemanusiaan dan anak bangsanya sendiri.[4]
Berikut ini, dapat dipetikan deskripsi nilai dalam
format pencarian kembali nilai pendidikan nasional untuk Indonesia masa
depan Nilai-nilai yang dimaksud adalah :
1)
Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
a) Nilai
dalam Sumber Legal
Sejak bangsa Indonesia
memploklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan
nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber
legal. Nilai-nilai yang ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal : Pancasila,
dan juga nilai-nilai praktis (practical values) seperti pengakuan hak
warganegara untuk memperoleh suatu pendidikan, hak mendapatkan perlindungan bagi
yang terlantar dan jompo , serta dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika para
pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului zamannya.
b)
Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti bagi bangsa kita saat
ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi dengan keyakinan untuk
menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala ketergantungan. Ini adalah
sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir hingga dewasa ada dalam hubungan
saling bergantung, antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok
sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia dengan lingkungannya. Kelebihan
dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat berkembang utuk mengurangi sifat
ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia. jika setiap
individu memiliki potensi untuk menyelesaikan sebuah permasalahan berarti
individu tersebut mengurangi ketergantungan, dan jika kemampuan tersebut
dikembangkan maka pendidikan berhasil mencapai satu kemenangan.
c)
Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core Values)
Meskipun kemandirian memiliki nilai
positif karena bermakna membebaskan siapa saja dari ketergantungan kepada
hal-hal yang seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam dirinya ada. Tetapi
itu baru bernilai plus satu, nilai inti ideal tentu saja mensyaratkan nilai
plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan, melainkan harus mampu menang
dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan diri untuk membebaskan dari
ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan dalam mengatasi persaingan
yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan. Sehingga, merujuk pada tuntutan
kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam menghadapi persaingan, bukan lagi
nilai potensial sekedar bertahan, melainkan nilai aktual yang dapat mengatasi
dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka itu, maka nilai inti ideal yang
harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain dari nilai
keunggulan (excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan di bawah ini
:
“Kemandirian bukan merupakan nilai inti yang ideal
untuk masa depan, melainkan merupakan nilai inti yang bersifat antara
(intermediate core value). Yang merupakan nilai inti ideal untuk masa depan
adalah keunggulan (excellence). Dalam proses pendidikan, Noeng Muhadjir
menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum learning” menurut Bobbi De
Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar tetap sukses, motivasi untuk
terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh dijadikan energi untuk meraih
prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat mencapai keunggulan.”
d)
Nilai-nilai instrumental (instrumental values)
Selain nilai inti dan nilai inti
ideal, penting juga memahami kedudukan nilai instrumental. Nilai instrumental
memenuhi maknanya ketika nilai-nilai tersebut menjalani fungsi sebagai antara.
Sebagai contoh, pokja yang menggambarkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam
tataran yang beragam, seperti : “ada yang dapat diterapkan sebagai nilai nilai
kehidupan (living values), nilai-nilai praktik (practical values), kepribadian
terpuji atau kebajikan (virtues), dan perilaku terpuji (conduct), tetapi dapat
pula diterapkan pada tataran etiket.” Untuk kepentingan pendidikan kedudukan
nilai instrumental ini dapat berguna dalam membina kepribadian individu dan
satuan sosial untuk mendukung nilai inti (kemandirian) dan lebih lanjut
menunjang nilai inti ideal (keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang disebutkan pokja
antara lain, seperti nilai-nilai :
·
otonomi (autonomy)
·
kemampuan atau kecakapan (ability)
·
kesadaran demokrasi
·
kreativitas
·
kesadaran kebersamaan kompetitif
·
estetis
·
bijak (wisdom)
·
bermoral
Kedelapan nilai-nilai tersebut
dalam aktualisasinya satu sama lain diisyaratkan harus saling berkaitan
sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk itu pertautan nilai-nilai tersebut
seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan dengan meringkas beberapa bagian di
dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
“Terhadap nilai instrumental ke
delapan, seiring rasio reformasi atas ketidak berhasilan bangsa ini membangun
moralitas di masa orde lalu (orde baru) pada tempatnya timbul pertanyaan, dan
jawabnya tentu saja bagi kita adalah: bahwa sepanjang masih memilih kebersamaan
dan keberbedaan dan kebersatuan dalam wadah NKRI, Pancasila bukan saja tetap
menempati kedudukannya sebagai Dasar Negara, tetapi juga masih menjadi acuan
moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa
jauh pada identitas masing-masing diri kita harus memilih keteguhan sistem
kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi
penyatuan bentuk moralitas nasional Indonesia.”
Selanjutnya, berdasarkan delapan
watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan
bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai
instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity), martabat (pride), dan keunggulan
(excellence). Dengan demikian, nilai inti (kemandirian) dikembangkan yang
isinya mencakup sebelas nilai instrumental dengan substansi lima living values
Pancasila untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya
mengimplisitkan makna ‘mampu bersaing’
2)
Nilai-nilai aktual dalam perilaku
Ke delapan hingga sebelas
nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan untuk menjadi acuan
konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik secara makro hingga
tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga pendidikan. Selanjutnya
konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus diproyeksikan pada dimensi aktual
dalam wujud perilaku hingga menjadi kepribadian setiap manusia Indonesia
sebagai individu warga negara atau warga masyarakat baik pada tataran lokal,
nasional hingga global.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar
yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian yang diharapkan
terbentuk melalui proses pendidikan multy system di dalam dinamika pembangunan
nasional kita ke depan, diharapkan mengkristal pada standar tata-laku ideal,
yang oleh Pokja disebut sebagai ‘perilaku terpuji’ (Conduct) dan kepribadian
terpuji (Virtues).
a) Perilaku
Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa yang terbingkai
dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah hingga kini, setiap
diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki, mewarisi perilaku dan
kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan, dimodifikasi, dikompilasi,
dipadukan selain harus diakui ada sebagian di dalamnya jenis dan sifat perilaku
dan kepribadian yang seharusnya sudah ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan
oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku dan kepribadian terpuji masing-masing
suku, budaya daerah, dan agama dapat dikompilasi menjadi perilaku dan
kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan sejumlah modifikasi, baik dalam
makna antar budaya maupun dalam makna antar era atau zaman, dapat dibangun
keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja mengangkat sebuah contoh,
misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut memberi sumbangan yang efektif
dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai contoh, Pokja mengilustrasikan
sebuah gambaran sebagai berikut:
Perilaku kerja keras merupakan
perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu dimodifikasi menjadi
kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia. Hasrat belajar tidak
cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan visi tentang belajar
yang lebih strategis bagi masa depan. Kebebasan mengemukakan pendapat dan
kebebasan memilih masa depan perlu dilandaskan pada pengakuan kebebasan dan
otoritas orang lain untuk berbuat sama, dan kesemuanya dalam konteks
berperilaku yang jujur dan adil. Dalam konteks reformasi sekarang ini,
pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan adalah pengakuan otoritas yang
dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.
(b) Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula dalam ujud kepriadian
terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri individu atau satuan etnik
tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah saling mengenal
karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis kepribadian
terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh, keberanian
dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela,
mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi
tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam
mempertahankan tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional
terpuji, kita dapat mengembangkannya agar menjadi kecenderungan perilaku yang
telah menjadi cirri dan sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini
selengkapnya dapat petikan ilustrasi pokja sebagai berikut:
“bahwa sejumlah etnik memiliki
kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian tertutup dan
dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan, tanpa dendam. Budaya nasional kita hendaknya mampu mengompilasikan
kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam , yang dimiliki sejumlah etnik,
dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan pendendam yang dimiliki oleh
sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur memiliki sifat berani mengambil
risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan kepastian yang aman. Kepribadian
dalam dinamika masa depan memerlukan kepribadian subkultur yang memiliki sifat
berani mengambil risiko. Kepribadian kompetitif dan sportif yang materialistik
perlu ditingkatkan menjadi kompetisi yang lebih meningkatkan harkat martabat
manusia termasuk kompetisi dalam berbuat kebajikan.”
Salah satu upaya kebajikan dalam
kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai standar minimal untuk
ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak semakin memperlemah
yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna ekonomi, politik, social dan budaya atau
lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam
arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi.
Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara
yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan
kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan
menjadi sukses material yang menjaga
harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu
dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan,
meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan
semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi
dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang
sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh
harmoni.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Pendidilan
sebagai alat oerjuangan peningkatan mutu, kesiapan dan kesanggupan bersaing
termasuk tantangan maju bersama dunia tanpa saling dikalahkan dan mengalahkan.
Untuk itu pendidikan sebagai kata kuncinya harus dapat ditempatkan dan dimaknai
sesuai dengan cita-cita luhur kemanusiaan, yakni pendidikan yang berorientasi
maju pada penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan tujuan
hidup mulia sebagai umat manusia dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pendidikan
dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal
dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya meng-Indonesiakan segenap
anak bangsa Indonesia, selain tetap melestarikan nilai-nilai etniknya sendiri
- Saran
Nilai harus dilestarikan kepada
generasi penerus melalui media pendidikan, dan diharapkan perubahan social
generasi penerus tidak meninggalkan nilai/norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta, Arief. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat
Ilmu itu?. Bandung: Pustaka Sutera
Fitri, Zaenal Agus. 2012. Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Wahyu. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan.
Jakarta: PT Hecca Mitra Utama
Wiryohandoyo, Sudarno. 2002. Perubahan Sosial.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .