Tuesday, January 16, 2018

Makalah Mukjizat Al-Qur'an



PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Salah satu objek penting lainnya dalam kajian ‘Ulum Al-Qur’an adalah perbincangan mengenai mukjizat.Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-Qur’an, sempat menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang berkepanjangan.Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul adalah utusannya yang mendapat dukungan dan bantuan dari langit. Mukjizat yang telah diberikan kepada para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk memainkan peranannya dalam mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu diatas segala-galanya.
Suatu umat yang tinggi pengetahuannya dalam ilmu kedokteran, misalnya, tidak wajar dituntun dan diarahkan dengan  mukjizat dalam ilmu tata bahasa. Begitu pula sebaliknya.Tuntunan dan pengarahan yang ditujukan kepada suatu umat harus berkaitan dengan yang mereka ketahui.Tujuannya adalah tuntunan dan pengarahan Allah itu bermakna. Disitulah, letak nilai mukjizat yang telah diberikan kepada nabi.[[1]]
Setiap nabi yang diutus Allah selalu dibekali mukjizat. Diantara fungsi mukjizat adalah meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap apa yang dibawa oleh nabi tersebut. Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap nabi.[[2]]
Pada hakikatnya, setiap mukjizat bersifat menantang, baik secara tegas atau tidak.Oleh karena itu, tantangan tersebut harus dipahami dan dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya. Oleh karena itu pula, jenis mukjizat yang diberikan kepada nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.[[3]]
Kaum Muslim dewasa ini, menurut Muhammad al-Ghazâli, telah melakukan kesalahan (menzalimi) terhadap agamanya dua kali. Pertama, ketika mereka tidak mampu mengaplikasikan ajaran agamanya dengan baik dan benar, dan kedua, ketika mereka tidak sanggup menyampaikan ajaran agamanya kepada orang “di luar” mereka.[[4]] Ketika kaum Muslim melakukan kesalahan yang pertama, ketika itulah mereka mereduksi ajaran serta menampilkannya dalam bentuk yang dapat mengundang tuduhan “mereka” bahwa Islam berjalan berseberangan dengan fitrah, kebebasan dan akal. Dan ketika mereka melakukan kesalahan yang kedua, ketika itu mereka sedang membiarkan penduduk bumi di belahan barat dan timur tidak mengenal Islam.
Adalah kenyataan, masih banyak di kalangan kaum Muslim yang menyikapi dan memperlakukan Al-Qur’an sebatas kitab keramat penangkal bala. Adapun Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Saw., pilar pokok ajaran Islam, pegangan utama setiap Muslim dalam segala aspek kehidupannya, masih luput dari pemahaman sebagian kaum Muslim. Intrekasi sebagian besar kaum Muslim dengan Al-Qur’an tidak melampaui pembacaan lahiriah untuk mendatangkan keberkahan, pengulangan kata tanpa merasakan makna yang dimuatnya, dan masih jarang sampai kepada tahap tadabbur.
Ini berarti bahwa sebagian umat Islam belum mampu memahami kedudukan al-Qur’an sebagai risâlah samâwiyah nan kekal abadi yang Allah peruntukkan bagi manusia dan kemanusiaannya. Risalah al-Qur’an yang mencakup semua aspek kehidupan itu terjamin keabadian, keutuhan, orisinalitas serta kesinambungannya. Menurut penulis, itulah arti sebenarnya dari i’jâz (kemukjizatan) al-Qur’an, dan pengertian ideal dari statemen “Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw.,”  yang setiap orang Islam pintar melafalkannya.

B. Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian mukjizat al-Quran ?
2.    Apa saja unsur-unsur mukjizat?
3.   Apa saja macam-macam mukjizat ?
4.   Apa saja segi-segi kemu’jizatan al-Qur’an ?

C.  Tujuan Penulisan

1.   Mengetahui pengertian kemukjizatan al-Quran.
2.   Mengetahui unsur-unsur mukjizat.
3.   Mengetahui macam-macam mukjizat.
4.   Mengetahui segi-segi kemukjizatan al-Quran.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Mukjizat
Mukjizat (Arab معجزة, Baca Mu'jizah) adalah perkara di luar kebiasaan yang dilakukan oleh Allah melalui para nabi dan rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian dan keabsahan risalahnya.[[5]]
Secara Etimologi kata mukjizat berasal dari kata bahasa Arab yang berarti melemahkan, dari kata ‘ajaza (lemah) yu’jizu i’jazan (kata kerja transitif) yang artinya melemahkan, memperlemah, atau menetapkan kelemahan,[[6]] atau kata ‘ajaza yu’jizu i’jazan yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu.[[7]] Dalam aqidah Islam mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung kebenaran kenabian seorang nabi dan/atau kerasulan seorang rasul, sekaligus melemahkan lawan-lawan/musuh-musuh yang meragukan kebenarannya. Pengertian ini terkait dengan kehadiran seorang nabi atau rasul.Rasul di dalam menyampaikan ajarannya seringkali mendapatkan pertentangan dari masyarakatnya. Misalnya, ajarannya dianggap obrolan bohong (dusta), bahkan seringkali dianggap sebagai tipu daya (sihir).[[8]][[9]][[10]] Oleh karenanya, untuk membuktikan kebenaran kenabian dan kerasulan tersebut sekaligus untuk melemahkan tuduhan para penentangnya maka para nabi dan rasul diberi kelebihan berupa peristiwa besar yang luar biasa yang disebut dengan mukjizat.
B.   Mukjizat Dalam Islam
Mukjizat merupakan kejadian luar biasa atau kelebihan di luar akal manusia yang tidak dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya diberikan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya.Sedangkan apabila ada seseorang selain para nabi dan rasul diberikan kejadian yang luar biasa oleh Allah maka itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat melainkan itu adalah karomah.
Mukjizat biasanya berisi tentang penunjukan hal-hal yang sedang menjadi trend pada zaman diturunkannya mukjizat tersebut. Misalnya pada zaman Musa, trend yang sedang terjadi adalah ilmu sihir maka dengan mukjizat tongkat Musa bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir orang lain yang ada di sekitarnya. Juga pada zaman Isa, trend yang sedang berkembang adalah ilmu kedokteran dan pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Isa adalah bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal yang merupakan puncak dari ilmu pengobatan.
Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad, trend yang sedang berkembang adalah ilmu sastra.Maka disaat itulah diturunkan Al-Qur'an sebagai mukjizat Muhammad. Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis tetapi bisa menunjukkan Al-Qur’an yang diyakini oleh umat Muslim, memiliki nilai sastra tinggi, tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tetapi juga kedalaman makna yang terkandung di dalamnya sehingga Al-Qur’an dapat terus digunakan sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak zaman masa hidup nabi sampai nanti di akhir zaman.
Para nabi memiliki mukjizat yang berbeda sesuai dengan kondisi masyaraktnya.Musa, karena masyarakatnya sangat ahli dalam ilmu sihir, maka mukjizatnya ialah kemampuan mengubah tongkat menjadi ular besar, yang mampu menelan semua ular yang dimunculkan para penyihir Fir’aun.Isa, karena masyarakatnya ahli di bidang pengobatan, mukjizatnya ialah kemampuan menyembuhkan orang buta sehingga mampu melihat kembali. Sedangkan Muhammad, karena masyarakatnya ahli dalam bidang sastra, maka mukjizatnya ialah Al-Qur’an, yang melebihi sastra Arab gubahan para sastrawan yang dianggap tidak ada yang mampu menyaingi Al-Qur’an ketika itu. Bagaimana canggihnya kemampuan sastrawan Arab, namun mereka tidak mampu (tidak berdaya) menyamai Al-Qur’an.[[11]]
Menurut bahasa kata  Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[[12]]
Menurut istilah Mukjizat adalah  peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT.melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي
Artinya:“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kemukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan Rasul yang membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan.
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain, sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu.[[13]]Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu luar biasa yang dipelihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[[14]]

C. Unsur-Unsur Mukjizat
          M. Quraish Shihab dalam tulisan Rosihan menjelaskan empat unsur mukjizat yaitu:[[15]]
1.       Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat.Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum.Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2.       Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun.Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat.Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash.Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatan.Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad Saw.adalah nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
3.      Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
          Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
4.      Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
          Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang.Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Ada beberapa orang yang meragukan kemungkinan terjadinya “keluarbiasaan”. Bukankah aneka keluarbiasaan tersebut bertentangan dengan akal sehingga mustahil terjadi ?
Sesungguhnya keluarbiasaan itu tidak mustahil menurut pandangan akal yang sehat dan tidak pula bertentangan dengannya, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa keluarbiasaan itu hanya sukar, tidak atau belum dapat dijangkau hakikat atau cara kejadiannya oleh akal.

D.    Macam-macam Mukjizat
         Menurut syahrur mukjizat dapat diklarifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:[[16]]
1.      Mu’jizat Material Indrawi
Mukjizat yang tidak kekal, maksudnya mukjizat jenis ini hanya berlaku pada Nabi selain Nabi Muhammad Saw.dan juga mukjizat ini juga berlaku untuk jaman tertentu, kapan mukjizat itu di turunkan. Oleh karena itu wajar kalau sifat mukjizat tersebut tidak kekal. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat Nabi Musa As. dapat membelah lautan, mukjizat Nabi Daud As. dapat melunakkan besi, mukjizat Nabi Isa As. dapat menghidupkan orang mati, mukjizat Nabi Ibrahim As. tidak hangus oleh api saat di bakar dan mukjizat-mukjizat nabi lainnya.
2.      Mukjizat Immaterial
Mukjizat ini bersifat kekal dan berlaku sepanjang jaman.Mukjizat tersebut adalah al-Quran al-Karim.Hal ini, menurut Syahrur karena Muhammad (sebagai penerima mukjizat ini) nabi terkhir sehingga mukjizatnya harus memiliki sifat abadi dan berlaku sampai dunia ini hancur, secara lebih gampang Syahrur membedakan mukjizat Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya.Pertama, aspek rasionalitas kenabian Muhammad yang berupa Al-Quran dan Al-sab’ul Al-matsani mendahului pengetahuan inderawi, yaitu dalam bentuk mutasyabih. Setiap jaman berubah, konsepsi-konsepsi Al-Quran masuk kedalam wilayah pengetahuan inderawi yang disebut sebagai takwil langsung yaitu kesesuaian antara teks pengetahuan terhadap hal inderawi. Kedua, Al-Quran memuat hakikat  wujud mutlak yang dapat di fahami secara relatif sesuai dengan latar belakang pengetahuan. Pada masa yang di dalamya usaha pemahaman Al-Quran dilakukan.Ketiga, kemukjizatan Al-Quran bukan hanya bentuk redaksinya saja, tetapi juga kandungannya.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat materialdan indrawi dalam artian keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung melalui indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.[[17]]
Perahu Nabi Nuh As. yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya Nabi Ibrahim As. dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa As. yang beralih wujud menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa As. atas seizin Allah, dan lain-lain, kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat nabi berada, dan berakhir dengan wafatnya tiap-tiap nabi. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw.yang sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orangyang menggunakan akalnya dimana dan kapanpun.[[18]]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:[[19]]
1.      Para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Oleh karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya selalu ada, dimana dan kapanpun berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat material, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya.
2.      Manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi khususnya sebelum Nabi Muhammad Saw. membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad Saw. ketika diminta bukti-bukti yang sifatnya demikian oleh mereka yang tidak percaya, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:
قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا
Artinya:“Katakanlah, ‘Maha Suci Tuhanku, bukanlah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?(Q.S. Al-Isra’[17]:93).

E.     Segi-Segi Kemukjizatan Al-Quran
1.         Gaya Bahasa
            Gaya bahasa al-Qur’an banyak membuat orang Arab saat itu kagum dan terpesona.Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak manusia masuk Islam. Bahkan, Umar bin Khattab pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad Saw., dan  bahkan berusaha untuk membunuhnya, ternyata masuk Islam dan beriman kepada kerasulan Muhammad hanya Karena mendengar petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamai oleh karya sebaik apapun.[[20]]
            Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya, sehingga membuat kagum bukan saja orang-orang mukmin, tetapi juga orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik sering secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslim. Kaum muslimin disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Qur’an, juga mengagumi kandungannya serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.[[21]]
2.         Susunan Kalimat
Kendatipun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut Nabi, uslub (style) atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan dua yang lainnya.Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah. Di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa dan tidak akan pernah ada pada ucapan manusia.[[22]], misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalam bentuk yang sangat indah lagi memesona, jauh lebih indah daripada apa yang dibuat oleh penyair dan sastrawan.
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
Artinya:“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”(Q.S. Al-Qari’ah[101]: 5).
            Bulu-bulu yang dihambur-hamburkan sebagai gambaran dari gunung-gunung yang telah hancur lebur berserakan bagian-bagiannya. Kadangkala Al-Qur’an mengarah unutk menyatakan bahwa kedua unsur tasybih, yakni musyabbah (yang diserupakan) dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya) itu mempunyai sifat indrawi yang sama.
Dalam tasybih paling tidak harus ada musyabbah dan musyabbah bih. Kalau salah satu dan kedua unsur tersebut tidak ada atau dibuang, ia bukan lagi tasybih, tetapi isti’arah. Dalam Al-Qur’an banyak didapati gaya bahasa berbentuk isti’arah. Salah satu contohnya ialah:
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
Artinya:Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.(Q.S. Maryam[19]: 4).
      Menurut pakar ilmu Balaghah, Al-Qur’an selain menggunakan tasybih dan isti’arah, juga menggunakan majaz (metafora) dan matsal (perumpamaan).
     
      Menurut Syaikh Muhammad Ali al-Shabuniy dalam tulisan Usman menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu:
1.      Keindahan sastranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra yang dimiliki oleh orang-orang Arab.
2.      Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya bahasa yang dimiliki oleh bangsa Arab.
3.      Kefasihan bahasanyayang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan oleh semua makhluk termasuk jenis manusia.
4.      Kesempurnaan syari’at yang dibawanya yang mengungguli semua syari’at dan aturan-aturan lainnya.
5.      Menampilkan berita-berita yang bersifat eskatologis yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh otak manusia kecuali melalui pemberitaan wahyu Al-Qur’an itu sendiri.
6.      Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya dengan kenyataan kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu.
7.      Terpenuhinya semua janji dan ancaman yang dibacakan Al-Qur’an.
8.      Ilmu pengetahuan yang dibawanya mencakup ilmu pengetahuan syari’at dan ilmu pengetahuan alam (tentang jagat raya).
9.      Dapat memenuhi kebutuhan manusia.
10.  Dapat memberikan pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para pengikut dan musuh-musuhnya.
11.      Susunan kalimat dan gaya bahasanya terpelihara dari paradoksi dan kerancuan.[[23]]

Sedangkan menurut Al-Mawardi dalam tulisan Hasbi ash-Shiddiqie menerangkanhal yang menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu: [[24]]
1.      Kefashahan Al-Qur’andan cara penjelasannya.
2.      Keringkasan lafadz Al-Qur’an, tapi sempurna maknanya.
3.      Nazhamuslub-nya yang unik. Ia tidak termasuk ke dalam kalam yang ber-nadzam, tidak termasuk ke dalam syi’ar atau rajaz, tidak bersajak dan   bukan pula bersifat khatbah.
4.      Banyak makna-maknanya yang tidak dapat dikumpulkan oleh pembicaraan manusia.
5.      Al-Qur’an mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak diliputi oleh manusia dan tidak dapat berkumpul pada seseorang.
6.      Al-Qur’an mengandung berbagai hujjahdan keterangan untuk menetapkan ketauhidan dan menolak i’tiqad-i’tiqad yang salah.
7.      Al-Qur’an mengandung khabar-khabar orang yang telah lalu dan umat-umat purbakala.
8.      Al-Qur’an mengandung khabar-khabar yang belum terjadi, kemudian terjadi persis sebagaimana yang dikhabarkan.
9.      Al-Qur’an menerangkan isi-isi hati yang tidak dapat diketahui melainkan oleh Allah sendiri.
10.  Lafadz-lafadz Al-Qur’an melengkapi jazal mustarghab dan sahl al-mustaqrab. Dalam pada itu, tidak dipandang sukar jazal-nya dan tidak dipandang mudah sahl-nya.
11.  Pembacaan Al-Qur’an mempunyai khushusiyah dengan kelima penggerak yang tidak didapatkan pada selainnya. Pertama, kelembutan tempat keluarnya. Kedua, keindahan dan kecantikannya. Ketiga, mudah dibaca nadzam-nya dan saling berkaitan satu sama lain. Keempat, enak didengar, dan kelima, pembacanya tidak jemu membacanya dan pendengarnyapun tidak bosan mendengarnya.
12.  Al-Qur’an dinukilkan dengan lafadz-lafadz yang diturunkan. Jibril menyampaikan dengan lafadz dan nadzam-nya. Rasul pun meneruskan kepada umat persis sebagaimana yang diterima dari Malaikat Jibril.
13.  Terdapat makna-makna ynag berlainan di dalam sesuatu. Yakni di dalam sesuatu surat itu kita mendapatkan berbagai rupa masalah. Kemudian masalah-masalah itu kita temukan di dalam surat-surat lain.
14.  Perbedaan ayat-ayatnya, ada yang panjang ada yang pendek, tidak mengeluarkan Al-Qur’an dari uslub-nya.
15.  Walaupun kita sering sekali membacanya, namun kita tidak dapat mencapai kefashahannya, karena Al-Qur’an itu diluar tabi’at manusia.
16.  Al-Qur’an mudah di hapal oleh segala lidah.
17.  Al-Qur’an itu lebih tinggi dari segala martabat pembicaraan.

F.      Macam-Macam Gaya Bahasa Al-qur’an
      Terdapat banyak gaya bahasa yang digunakan Al-qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya. Ada yang menggunakan bentuk perintah  (al-amru), larangan  (an-nahyu), atau dengan cara memberikan pilihan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan (al-ikhtiyaru). Menurut Ash-Shidieqy(1954:165), gaya bahasa Al-qur’an dalam bentuk perintah menggunakan sepuluh macam uslub.
1.      Menyuruh dengan tegas memakai kata suruhan (perintah) seperti yang terdapat pada surat An-Nahl ayat 90 dan surat An-Nisa’ ayat 58.
2.      Menerangkan bahwa perbuatan itu difardlukan atas orang-orang yang titah, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 78.
3.      Mengabarkan perbuatan itu ditugaskan atas umum manusia atau atas golongan tertentu, seperti dalam surat Ali-‘Imran ayat  97.
4.      Menyangkut sesuatu perbuatan yang dituntut kepada orang yang dituntut pekerjaan itu daripadanya, seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 228.
5.      Menuntun dengan memakai fi’il amar, atau fi’il mudhori’ yang disertai dengan lam amar, seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 283.
6.      Menggunakan kalimat fardlu, seperti terdapat dalam surah Al-Ahzab ayat 50.
7.      Menyebut perbuatan sebagai pembalasan atau jawaban bagi suatu syarat, seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 280.
8.      Menyebut perbutan disertai dengan lafadz khair (kebaiakan) atau lebih baik misalnya terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 220.
9.      Menyebut perbuatan dengan disertai janji yang baik (pahala), misalnya terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 245.
10.  Mensifati perbuatan dengan kebajikan, atau menerangkan bahwa perbuatan menyampaikan kepada kebaikan, misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 177 dan surah Ali-‘Imran ayat 92.
Kemudian, ushlub (gaya bahasa) Al-Qur’an yang disampaikan dalam bentuk larangan atau mencegah, menurut Habsy Ash-Shiedieq (1985:167) menggunakan sembilan macam gaya bahasa.
1.      Menggunakan kalimat mencegah dengan jelas, seperti terdapat dalam surah An-Nahl ayat 90.
2.      Menggunakan kalimat mengharamkan, seperti yang terdapat dalam surah An-Nur ayat 3.
3.      Dengan menerangkan tidak halal, seperti terdapat dalam surah An-Nisa’ ayat 19.
4.      Memakai fi’il mudhori’, yang didahului oleh larangan, atau menggunakan fi’il amar yang menunjukan larangan, seperti yang terdapat dalam surah Al-An’am ayat 152 dan ayat 120 dan surah Al-Ahzab ayat 48.
5.      Meniadakan pekerjaan, seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 193.
6.      Meniadakan suatu kebajikan dari sesuatu perbuatan, seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 192.
7.      Menyebutkan perbuatan dengan disertakan penjelasan bahwa yang melakukanya akan berdosa, seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 181.
8.      Menyebutkan suatu perbuatan disertai dengan ancaman, seperti yang terdapat dalam surah At-Taubah ayat 34.
9.      Mensifatkan perbuatan jahat, seperti yang  terdapat dalam surah Ali-‘Imran ayat 180.
Adapun gaya bahasa Al-Qur’an yang disampaikan dalam memberikan pilihan untuk mengerjakan atau tidak mengerjekan, menurut Hasby Ash-Shidieq (1985-178) menggunakan tiga macam uslub (gaya bahasa).
1.      Menyandarkan kata halal yang disandarkan pada pekerjaan, seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 1.
2.      Meniadakan dosa, seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 173.
3.      Meniadakan keberatan, seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 158.


G.    Kemukjizatan Al-Qur’an dari Aspek Bahasa dan Sastra[[25]]
Dari segi kebahasaan dan kesastraannya Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin Jinni (932-1002) seorang pakar bahasa Arab sebagaimana dituturkan Quraish Shihab mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi. 
Kemukjizatan Al-Quran dari Aspek Bahasa dan Sastra - Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balaghoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor(Allah) dan penikmat (umat).
Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut dengan mengutip Az-Zarqoni keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah (nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. 
Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi (18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang bervariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. 
Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis dengan gayanya tukang tenung, penyair dan orang gila. 
Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.
Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf Al-Qur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz ‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari’ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari kiyamat.
Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat beragam. Contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta.علق diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ميل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة , terus الهوى , dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق , bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليهyang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing.
Meminjam bahasanya Syihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing.Misalnya, dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal ‘Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba (uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu ada di kepala).
Masih dalam konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula deviasi(penyimpangan untuk memperoleh efek lain) misalnya dalam QS. Asy-Su’ara’, ayat 78-82. Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal alladzi, pada ayat 80 dimulai waidza, namun pada ayat 81, 82 kembali dengan alladzi, dan fail pada ayat 78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama (saya) tentu kalau di’atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi pemanfaatan pronomina hua (هو). 
Lafal yahdiin, yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa didahului promnomina tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut terasa baru dan tidak menjemukan.
Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya الحياة dan الموتmasing-masing sebanyak 145 kali,النفع dan الفساد sebanyak 50 kali dan seterusnya. 
Kata dan sinonimnya misalnya, الحرث dan الزراعة sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya misalnya, الاسرى (tawanan) dan الحرب sebanyak 6 kali, السلام dan الطيبات sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya contohnya, الزكاة dan البركات sebanyak 32 kali,الانفاق dan الرضا sebanyak 73 kali.
Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut:
1.             Kelembutan Al-Qur`an secara lafdziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
2.             Keserasian Al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan. 
3.             Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus.
4.             Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
5.             Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
6.             Mencakup dan memenuhi persyaratan global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
7.             Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat.


H.    Kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi kesusasteraan dan music

Al-Qur’an, dari sisi sasteranya, membuat tokoh-tokoh sastrawan arab terpana, bahkan musuh paling bebuyutan Rasulullah Muhammad saw. seperti Walid mengakui metode Al-Qur’an yang indah, susunan yang menawan, dan irama yang tak tertandingi, dan mereka menyebut tutur kata Al-Qur’an sebagai penyihir.
            Profesor Dorman, dari Amerika menuliskan, “Al-Qur’an, kata perkatanya diwahyukan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw., tiap-tiap kata Al-Qur’an adalah lengkap dan sempurna. Al-Qur’an adalah mukjizat yang kekal dan merupakan bukti atas kejujuran sekaligus kebenaran klaim Rasulullah Muhammad saw. Sebagian dari sisi kemukjizatan Al-Qur’an terkait dengan gaya bahasa esai dan sasteranya yang betul-betul sempurna, agung dan mulia, sehingga baik manusia maupun dewa tidak sanggup membuat tandingan bahkan untuk satu surat saja darinya.” 
Profesor A. Guallavome mengatakan, “Al-Qur’an dengan irama spesialnya memiliki musik yang merdu dan menyenangkan bagi setiap telinga yang mendengarnya. Betapa banyak orang kristen arab yang memuji gaya bahasa sastera Al-Qur’an. Para orientalis yang menguasai bahasa dan sastera arab pun memuji kefasihan, kelembutan dan kehalusan gaya Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an dibacakan, daya tariknya yang khas mau tidak mau menarik hati setiap pendengar kepada dirinya, manis serta musik merdu inilah yang meredam suara-suara sumbang yang mencelanya dan meniupkan ruh kepada bingkai syariat Nabi Muhammad saw. serta membuatnya tidak bisa dijiplak. Pada kancah esai, prosa dan sastera arab yang luas, kita tidak menemukan kitab yang menyetarai kefasihan, keelokan dan bobot Al-Qur’an, bahkan tidak ada satu karya pun yang layak untuk dibandingkan dengannya. Pengaruh kuat ayat-ayat Al-Qur’an, baik terhadap orang arab maupun non-arab membuat mereka kehilangan kendali.” 
Theodor Noldeke, orientalis jerman, di dalam kitabnya Geschichte Des Quran (Sejarah Al-Qur’an) menuliskan, “Begitu indah dan tertatanya tutur kata Al-Qur’an sehingga siapa saja yang mendengarkannya dengan segenap kesesuaian dan kelancaran yang terdapat di dalamnya seolah-olah dia sedang mendengarkan nyanyian para dewa; dia membuat orang-orang mukmin jadi menyala-nyala dan memenuhi hati mereka dengan semangat serta kegemberiaan.” 
            B. Saint Hilaire, orientalis prancis juga di dalam kitab Mohomet et Le Quran menuliskan, “Al-Qur’an adalah kitab yang tidak tertandingi, keindahan literalnya sebanding dengan keagungan maknanya. Kekuatan kata-kata, keserasian kalimat, dan kesegaran ide tampak jelas di dalam gaya yang baru muncul ini, yaitu gaya baru yang sebelum akal takluk di hadapan maknanya hati terlebih dulu pasrah padanya. Di antara para nabi, tidak ada satu pun yang seperti beliau, mempunyai tutur kata yang betul-betul berpengaruh seperti ini.
            Dengan gayanya yang khas, Al-Qur’an di samping nyanyian religius dia juga merupakan panjatan doa Ilahi; syariat dan undang-undang politik serta hukum sekaligus penyampai berita gembira dan ancaman; penasihat sekaligus penunjuk jalan yang lurus; begitu pula pembawa cerita, hikmah, perumpamaan ... dan pada akhirnya Al-Qur’an adalah karya terindah berbahasa arab yang tidak ada tandingannya di tengah kitab-kitab suci agama-agama yang lain. Menurut pengakuan orang-orang kristen arab sendiri, kitab ini mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam hati dan nyawa siapa saja yang mendengarkannya.” 
            Dimensi lain dari kemukjizatan Al-Qur’an dan keindahannya adalah keteraturan, geometri dan keelokan kalimatnya; dia manyampaikan makna yang paling banyak dengan jumlah kata yang paling sedikit, dia menghindari penggunaan kata yang berlebihan, tapi pada saat yang sama dia mampu menyampaikan maksudnya secara sempurna dan jelas. Keagungan dimensi mukjizat Al-Qur’an ini begitu nyata sehingga apabila anda buang satu kalimat darinya, maka anda tidak akan mampu mencarikan kalimat ganti yang semakna dengannya dan jangan sampai maksud, irama dan bobot ayat tersebut keluar dari puncak kemukjizatannya!!”
            Dimensi lain dari kemukjizatan retorikal Al-Qur’an adalah pelukisan dan penggambarannya. Menurut sebagian ulama, seperti Sayid Qutub, Al-Qur’an telah menyuguhkan gambaran-gambaran yang indah, mempesona dan hidup tentang berbagai wujud di alam semesta, betapa banyak pentas yang dilukiskan oleh Al-Qur’an di hadapan seseorang sehingga dengan cara itu dia berhasil membenamkan maksudnya ke dalam relung hati yang paling dalam. Contohnya, ulama yang kotor dan bejat digambarkannya dengan anjing yang menjulurkan lidah keluar, permulaan pagi dengan pernapasan, orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya dengan keledai yang memikul tumpukan kitab, dan lain-lain sebagainya.

I.       Kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi ilmu pengetahuan
Rahasia-rahasia ilmiah yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah samudera tak bertepi berupa ilmu-ilmu tentang alam, manusia, sejarah, bintang dan lain sebagainya yang semua itu mendorong para ilmuan timur dan barat untuk melakukan penelitian yang luas dan membuat
merekabetul-betul heran.
            Berikut ini kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh ayat dan tema-tema ilmiah yang disinggung olehnya:
1- Komposisi tumbuh-tumbuhan yang khas (QS. Al-Hijr/ 15: 19);
2- Pembuahan atau penghamilan tumbuh-tumbuhan (QS. Al-Hijr/ 15: 22);
3- Hukum pasang-pasangan dan perluasannya sampai ke dunia tumbuh-tumbuhan (QS. Al-Ra’du/ 13: 3);
4- Gerakan di tempat dan berpindah bumi (QS. Taha/ 20: 53);
5- Adanya benua-benua lain selain benua-benua yang dikenal saat itu (QS. Al-Rahman/ 55: 17);
6- Dasar bumi itu bundar (QS. Al-Ma’arij/ 70: 40);
7- Hubungan antara fenomena-fenomena cuaca (QS. Al-Baqarah/ 2: 164; Al-Jatsiyah/ 45: 5).

Namun demikian, mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab pembina manusia dan pemberi hidayah, maka hanya dalam beberapa hal tertentu dia dapat menyinggung persoalan-persoalan ilmiah.Isyarat-isyarat parsial ini sendiri menjadi sumber inspirasi bagi para ilmuan. Di samping itu, Al-Qur’an juga selalu mengajak manusia untuk mengembara di muka bumi sambil mempelajari fenomena-fenomena alam, dan menurut sebagian karya tafsir Al-Qur’an juga telah memberitahukan kita akan kemungkinan manusia pergi ke planet-planet yang lain.
Dalam hal ini, banyak sekali buku dan artikel dari para ilmuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan masing-masing dari itu membicarakan keagungan Al-Qur’an serta kesesuaian ayat-ayatnya dengan hasil-hasil terbaru sains. Mourice Bucaille di dalam karyanya The Bible, The Qur'an and Science mengatakan, “Bagaimana mungkin seseorang tidak heran dan mengaggap Al-Qur’an itu mukjizat ketika dia menyaksikan kesesuainnya dengan hasil-hasil
terbaru ilmu pengetahuan manusia.” 

            Dia, di sela-sela pembandingannya antara ajaran-ajaran ilmiah Al-Qur’an dengan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta ilmu pengetahuan yang populer pada masa turunnya Al-Qur’an, mengatakan, “Mengingat maklumat-maklumat yang ada pada era Muhammad saw., tidak mungkin mayoritas isi Al-Qur’an –yang berdimensi sains- digolongkan sebagai hasil karya manusiawi. Atas dasar itu, sungguh benar bahwa bukan saja Al-Qur’an patut untuk diterima sebagai wahyu, melainkan karena jaminan autentisitas yang dia berikan, maka Al-Qur’an patut sekali untuk didudukkan pada posisi yang istimewa dibanding yang lain.” 
[7]

J.      Kemukjizatan Al-Qur’an dalam meramalkan hal yang akan terjadi.
Al-Qur’an telah memberitahukan kejadian-kejadian yang akan datang. Berita-berita ini ada yang berhubungan dengan Al-Qur’an itu sendiri dan ada pula yang berhubungan dengan kejadian-kejadian di luar.Sebagiannya tentang kejadian-kejadian pada periode tertentu dalam sejarah, adapun sebagiannya lagi bersifat sinambung. Sebagiannya telah terjadi dan secara historis telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an, adapun sebagiannya yang lain masih berhubungan dengan masa depan umat manusia, seperti kepemimpinan orang-orang yang saleh, berdirinya pemerintahan global yang adil dan bertauhid, serta pembentukan madinah islami yang ideal.

K.  Kemukjizatan dari sisi orang yang menyampaikan.

Salah satu sisi kemukjizatan Al-Qur’an adalah orang yang menyampaikannya. Al-Qur’an
sendiri menekankan sisi kemukjizatan ini:
وَمَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ (العنکبوت/ 29: 48)
Artinya: “Dan engkau –Muhammad- tidak pernah membaca kitab sebelumnya dan engkau tidak pernah menulisnya dengan tangan kananmu. Jikalau demikian niscaya makin ragu-ragulah orang-orang yang membatalkan itu.” (QS. Al-Ankabut/ 29: 48.)
Kawasan Arab, jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan sekitarnya seperti Rom, Mesir, Iran maka terhitung kawasan yang berperadaban paling rendah, bahkan budaya asli mereka adalah “ummi”; buta huruf atau buta kitab, dan puncak pengetahuan mereka berdasarkan pada data-data yang sampai melalui hati ke hati yang berikutnya; kepercayaan, tradisi dan sepak terjang mereka pun terbentuk dalam kerangka itu. Oleh karenanya, penyampaian kitab seagung Al-Qur’an –yang menundukkan semua peradaban dan orang-orang berilmu, baik pada waktu itu maupun pada masa yang akan datang- adalah tanda bahwa kitab tersebut bersifat Ilahi dan
bukan manusiawi; yakni dibuat oleh Tuhan dan bukan oleh manusia.Apalagi penyampai Al-Qur’an di tengah masyarakat arab yang terbatas kala itu adalah orang yang tidak terpelajar.

L. Kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi tidak ada perselisihan di dalamnya.
Sisi lain dari kemukjizatan Al-Qur’an adalah kenyataan bahwa tidak ada perselisihan dan kontradiksi antara hal-hal yang diutarakannya. Al-Qur’an sendiri telah menekankan sisi kemukjizatannya ini:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا (النساء/ 4: 82)
Artinya: “Apakah mereka tidak mendalami Al-Qur’an, kalau sekiranya itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. Al-Nisa’/ 4: 82.)
Kita tahu bahwa Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah saw. selama dua puluh tiga tahun, itu pun dalam kondisi beliau menyaksikan kekuatan musuh, kelemahan orang-orang mukmin, hijrah, boikot, perang, takut dan harapan, kemenangan dan kekalahan serta lain-lain sebagainya. Dalam kurun waktu itu, hal-hal yang sekilas tampak kocar-kacir dan tidak berhubungan satu sama yang lain telah disampaikan oleh beliau di berbagai kesempatan yang berbeda-beda. Sudah barang tentu apabila hal-hal yang beliau sampaikan itu (Al-Qur’an) berdimensi manusiawi –yakni, buatan manusia- maka minimal kita akan menyaksikan dua fenomena di
sana:
a. Proses kesempurnaan teks; artinya, gaya bertutur dan bicaranya secara gradual menyempurna
dan berkembang, kata-kata dan istilah serta susunan-susunan kalimatnya menjadi lebih
sempurna dari sebelumnya!
b. Proses kesempurnaan isi; artinya, maklumat, moral, dan hukumnya menjalani proses kesempurnaan. Maklumat-maklumat yang pertama tentu lebih rendah dan tidak mendalam bahkan mungkin salah jika dibandingkan dengan yang setelahnya, dan semakin ke depan maka undang-undang yang sebelumnya jadi lebih sempurna dan tampil dengan wajah yang berbeda dari sebelumnya. Penulisan kitab dengan segenap tema-temanya yang luas dari sisi orang yang hidup di tengah berbagai kejadian dan keributan, pasti secara bertahap kita akan menyaksikan adanya perbedaan-perbedaan secara psikologis, daya analisis, dan ketepatan isinya. Sedangkan di dalam Al-Qur’an sama sekali tidak ada kekurangan atau kejanggalan seperti itu.

M. Lezatnya pengulangan Al-Qur’an.
Sisi berikutnya dari kemukjizatan Al-Qur’an adalah manisnya Al-Qur’an itu sendiri. Yakni, betapa pun dia diulang-ulang, tetap saja manis itu tidak mungkin berkurang. Surat Al-Fatihah setiap hari kita baca berulang-kali –minimal sepuluh kali dalam ritual shalat-. Potongan indah apapun kalau kita ulang sepuluh kali maka akan menjenuhkan bagi kita; namun hanya Al-Qur’anlah yang betapa pun kita ulang-ulang tetap saja manisnya tidak kurang dan tidak akan menjenuhkan. Hal ini menunjukkan ada semacam keharmonisan antara ruh atau fitrah manusia dengan firman Ilahi ini, dan bahwasanya manusia ketika mendengar firman Penciptanya maka dia sedang mendengar seruan gaib dan supranatural.
Atas dasar itu, terbuktilah bahwa Al-Qur’an berada di atas kemampuan manusia, bahkan manusia yang istimewa seperti Rasulullah Muhammad saw.[[26]]














BAB III

PENUTUP


A.     Kesimpulan

Al-Qur’an memuat multidimensi yang kesemuanya diperuntukkan bagi kebaikan umat manusia.Sebanyak dimensi yang dikandung al-Qur’an sebanyak itu pula mukjizat yang dimilikinya. Itu tidak lain karena setiap dimensi yang dimilikinya, pada saat yang sama juga merupakan dimensi-dimensi kemukjizatan al-Qur’an. Dari sini kita dapat dengan tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah seluruhnya mukjizat.Tidak ada pemilahan.Tidak ada di antara muatan al-Qur’an yang bukan mukjizat.
            Unsur mukjizat ada empat, yaitu hal yang atau peristiwa yang luar biasa, terjadi atau dipaparkan oleh seorang nabi, mengandung tantangan terhadap yang meragukan, dan tantangan tersebut tidak mampu di layani.
Menurut Syahrur mukjizat dapat diklarifikasikan menjadi dua jenis, yaitu mukjizat Material Indrawi yang bersifat tidak kekal dan berlaku untuk jaman tertentu, dan mukjizat Immaterial yang bersifat kekal dan abadi, yang dapat dibuktikan sepanjang masa, dan berlaku sampai dunia ini berakhir.













DAFTAR PUSTAKA

Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.
Anwar, Rosihon. 2008. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Al Irsyad ila Shahih al I’tiqad, karya Syeikh Shalih al Fauzan.
Damaskus, 1390.
Harum  Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Hasbi ash-Shiddueqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. (Semarang:

Pustaka Rizki Putra. 2009). Ed. Ke-3.

Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Al-Ghazali, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1992.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997.
Ibid.
Quraish Shihab, “Pengantar”, dalam Daud Al-‘Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994.
Rosihon.‘Ulum.
Said Aqil Husain Al-Munawwwar, I’jaz Al-Qur’an, dan Metedologi Tafsir, Dimas, Semarang, 1994.
Ibid.,Bandingkan dengan Abdul Qadir ‘Atha, Azhamat Al-Qur’an, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Bairut, t.t.
Subhi Shalih. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-‘Ilm li Al-Malaya, Beirut, 1988.
Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, Mukjizat Al-Qur’an,terj., Bungkul Indah, 1995.
Usman.‘Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Teras. 2009).
           



[1]Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, Mukjizat Al-Qur’an, terj., Bungkul Indah, 1995, hlm. 3.
[2]Harum  Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 794-795.
[3]Quraish Shihab, “Pengantar”, dalam Daud Al-‘Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 10
[4]Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.

[5]Al Irsyad ila Shahih al I’tiqad, karya Syeikh Shalih al Fauzan, hal.205.
[6]Usman. ‘Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 285
[7]Anwar, Rosihon. 2008. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, hlm.184
[8] "...dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: 'Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala.'" (Al-Anfal 8:31)
[9]"...dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.'" (Shad 38:4)
[10]"...dan tatkala kebenaran (Al Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata: 'Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya.'" (Al-Zukhruf 43:30)
[11]https://id.wikipedia.org/wiki/Mukjizat di akses pada 25 November 2017 pukul, 05.10.
[12] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, hal.23.
[13] Ibid.
[14]Said Aqil Husain Al-Munawwwar, I’jaz Al-Qur’an, dan Metedologi Tafsir, Dimas, Semarang, 1994, hal.1.
[16]Rosihon.‘Ulum. Hlm. 192

[17]Shihab, Mukjizat….., hlm. 35.
[18]Ibid., hlm.36: Bandingkan dengan Abdul Qadir ‘Atha, Azhamat Al-Qur’an, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Bairut, t.t., hlm. 55.
[19]Shihab, Mukjizat…, hlm.36-37.
[20] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Al-Ghazali, Damaskus, 1390, hlm. 105.
[21] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1992, hlm. 23.
[22] Subhi Shalih. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-‘Ilm li Al-Malaya, Beirut, 1988, hlm. 320.
[23]Usman.Ulumul.Hlm. 297.
[24]Hasbi ash-Shiddueqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. (Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009). Ed. Ke-3. Hlm. 130-133

1 comment:

  1. judul lagunya apa bang ? mantab baru kali ini buka blog ada lagunya, eh btw makasih ya artikrl makalhnya membantu banget dalam mengerjain tugas

    ReplyDelete

Monggo Komentarnya. . .