Tuesday, January 16, 2018

Makalah nasikh mansukh dan munasabah



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Nasikh Mansukh dan Munasabah Al-Qur’an” yang telah kami susun semaksimal mungkin agar pembaca dapat mendapatkan pelajaran dan informasi tentang Pengertian, Jenis-jenis dan Fungsi dari “Nasikh Mansukh dan Munasabah Al-Qur’an” yang telah kami susun berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber agar dapat mempermudah pembaca untuk memahami isi makalah ini.
Dalam menyelesaikan Makalah ini tentunya kami mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah yang telah kami susun ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembacanya, untuk kedepannya dapat memperbaiki maupun menambah isi makalah menjadi lebih baik. Karena Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik segi susunan kalimat, tata bahasa maupun pengetahuan kami dalam makalah ini.



Cirebon, November 2017
Penyusun



DAFTAR ISI


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

Secara umum Maqasid Al- Tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik, kita harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al- Qur’an.

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian dari nasikh mansukh dan munasabah?
2.      Apa syarat nasikh mansukh?
3.      Apa saja macam-macam nasikh mansukh dan munasabah?
4.      Apa manfaat mempelajari nasikh mansukh dan munasabah?

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
Untuk menambah wawasan tentang puasa seperti pengertian nasikh mansukh dan munasabah, syarat nasikh mansukh, macam-macam nasikh mansukh dan munasabah dan manfaat mempelajari nasikh mansukh dan munasabah.



BAB II

PEMBAHASAN

 

Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di dalam al-Qurandalam berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : Q.S. al-Baqarah: 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52, dan al-Jatsiyah: 29.
Pengertian naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu : penghapusan/pembatalan (al-Izalahataual-ibthal), pemindahan (al-naql), pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-Tahwilataual-intiqal).Berkaitan dengan pengertian tersebut, makanasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan memalingkan.[1]
Adapun pengertian Nasikh menurut istilah ialah :
-          Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
-          Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[2]

Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.[3]
Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan.
Secara terminologi, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.      Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya.
2.      Menurut Ibn Al-Arabi :
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3.      Menurut Manna’ Khalil Qattan :
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an.[4]
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2.      Dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum yang mansukh.
3.      Khitab yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang demikian tidak dinamakn nasikh.

1.      Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ (المجادلة: 12)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)

Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة : 13)
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:13)

2.      Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة : 187)
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )

3.      Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : 144)
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4.      Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
َمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ (14) وَالاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً (15)
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (2)
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
"orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti.” [5]
1.      Munasabah antara surat dengan surat.
2.      Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.      Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.      Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.      Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.      Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.      Munasabah antara ayat tentang satu tema.[6]
1.      Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagian alasan adanya naskh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa ummat ke derajat yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah lama seperti kasus meminum khamar. Pada mulanya masih dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar diharamkan sama sekali.
2.      Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberi keringanan kepada hamba Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT. dan Rahmat Nya. Dengan demikian hamba Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai agama Nya.
3.      Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan dan berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka yang betul-betul beriman. siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang menjadi munafik. pemisahan antara yang betu-betul beriman menjadi faktor utama.[7]

Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, manfaat mempelajari munasabah, antara lain sebagai berikut:
1.      Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena tidak mengetahui munasabah.
2.      Intensifikasi pengertian Al-Qur’an.[8]
3.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
4.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998: 165).
5.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.
6.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[9]









BAB III

PENUTUP


Kesimpulan


                        Nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian. Hukum syar’i yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan istilah nasikh; sementara hukum syar’i yang dihapus atau dibatalkan disebut mansukh. Hukum nasikh lebih berat dari mansukh, Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh, dan Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh.
Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Kedua ilmu terseut sangat penting kita pelajari karena dapat membantu kita untuk lebih memahami isi Al-Qur’an dan kedua ilmu ini tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan satu sama lain.






DAFTAR PUSTAKA


M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176

Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 101

Rahmat Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm 36





[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
[2] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[7]Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 101
[8] Rahmat Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm 36

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .