KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Nasikh Mansukh
dan Munasabah Al-Qur’an” yang telah kami susun semaksimal mungkin agar pembaca
dapat mendapatkan pelajaran dan informasi tentang Pengertian, Jenis-jenis dan
Fungsi dari “Nasikh Mansukh dan Munasabah Al-Qur’an” yang telah kami susun
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber agar dapat mempermudah pembaca
untuk memahami isi makalah ini.
Dalam
menyelesaikan Makalah ini tentunya kami mendapat banyak bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Semoga
makalah yang telah kami susun ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan
bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembacanya, untuk kedepannya dapat
memperbaiki maupun menambah isi makalah menjadi lebih baik. Karena Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik segi susunan kalimat,
tata bahasa maupun pengetahuan kami dalam makalah ini.
Cirebon,
November 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum Maqasid Al- Tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka
dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh
Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai
dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa
ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik, kita
harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al- Qur’an.
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah pengertian dari nasikh mansukh
dan munasabah?
2. Apa syarat nasikh mansukh?
3. Apa saja macam-macam nasikh mansukh dan
munasabah?
4. Apa manfaat mempelajari nasikh mansukh
dan munasabah?
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah:
Untuk menambah wawasan tentang
puasa seperti pengertian nasikh mansukh dan munasabah, syarat nasikh mansukh,
macam-macam nasikh mansukh dan munasabah dan manfaat mempelajari nasikh mansukh
dan munasabah.
BAB II
PEMBAHASAN
Quraish
Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di dalam al-Qurandalam
berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : Q.S. al-Baqarah: 106, al-A`raf:
154, al-Hajj: 52, dan al-Jatsiyah: 29.
Pengertian
naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu :
penghapusan/pembatalan (al-Izalahataual-ibthal), pemindahan (al-naql),
pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-Tahwilataual-intiqal).Berkaitan
dengan pengertian tersebut, makanasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang
membatalkan, menghapus, memindahkan dan memalingkan.[1]
Adapun pengertian
Nasikh menurut istilah ialah :
-
Menurut
Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
“Mengangkat
atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
-
Menurut
Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
“Mengangkat / menghapus hukum syara’
dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[2]
Secara
etimologi dapat diartikan dengan yang
dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan “hukum yang
diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang
belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’
baru yang datang kemudian.[3]
Kata
Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah
artinya kedekatan.
Secara
terminologi, pengertian Munasabah
dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1. Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami,
tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya.
2. Menurut Ibn Al-Arabi :
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an
sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Manna’ Khalil Qattan :
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa
ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat
didalam Al-Qur’an.[4]
1.
Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’
2.
Dalil yang
menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang
hukum yang mansukh.
3.
Khitab yang
mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika
tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang
demikian tidak dinamakn nasikh.
1.
Naskh tanpa
badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada
rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا
فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ (المجادلة: 12)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat
al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ
أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا
وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة : 13)
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah
telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. 58:13)
2.
Naskh dengan
badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat
Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة : 187)
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )
3.
Naskh dengan
badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap
bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat
Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : 144)
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4.
Naskh dengan
badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah
pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
َمَن يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا
وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ (14) وَالاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن
نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ
اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً (15)
Dinaskh
dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ
وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ
الْمُؤْمِنِينَ (2)
Atau dengan didera 100 kali dan
diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam,
bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
"orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah
keduanya dengan pasti.” [5]
1.
Munasabah
antara surat dengan surat.
2.
Munasabah
antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.
Munasabah
antara kalimat dalam satu ayat.
4.
Munasabah
antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.
Munasabah
antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.
Munasabah
antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.
Munasabah
antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.
Munasabah
antara ayat tentang satu tema.[6]
1.
Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagian alasan adanya naskh
yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa ummat ke derajat
yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup
untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah lama seperti kasus meminum khamar. Pada
mulanya masih dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya
lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar diharamkan sama sekali.
2.
Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini
bertujuan untuk memberi keringanan kepada hamba Nya dan menunjukkan karunia
Allah SWT. dan Rahmat Nya. Dengan demikian hamba Nya dituntut untuk lebih
memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai agama Nya.
3.
Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari
pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan
petunjuk mana yang lebih ringan dan berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya
untuk menjadi cobaan bagi hamba Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji
siapa diantara mereka yang betul-betul beriman. siapa yang beriman berarti dia
akan selamat dan siapa yang menjadi munafik. pemisahan antara yang betu-betul
beriman menjadi faktor utama.[7]
Menurut
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, manfaat mempelajari munasabah, antara lain
sebagai berikut:
1. Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan
Al-Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena
tidak mengetahui munasabah.
2. Intensifikasi pengertian Al-Qur’an.[8]
3. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an
kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
4. Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik
antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998:
165).
5. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak
ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu
ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan
mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.
6. Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan
tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu dalam memahami
keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nasakh yang
umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya ialah proses penghapusan atau
pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum
syar’i yang datang kemudian. Hukum syar’i yang menghapuskan atau membatalkan
lazim disebut dengan istilah nasikh; sementara hukum syar’i yang dihapus atau
dibatalkan disebut mansukh. Hukum nasikh lebih berat dari mansukh, Hukum nasikh
lebih ringan dan mansukh, dan Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh.
Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau
antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab
akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Kedua ilmu terseut sangat penting kita
pelajari karena dapat membantu kita untuk lebih memahami isi Al-Qur’an dan
kedua ilmu ini tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan satu sama
lain.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
Muhammad
Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu
Tafsir, 2006, hlm. 101
Rahmat
Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm 36
[1]M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Bandung : Mizan, 2004), hlm.
143.
[2]
Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[7]Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu
Tafsir, 2006, hlm. 101
[8] Rahmat
Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm 36
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .