BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di setiap negara memiliki sistem
politik yang berbeda-beda.Namun, Islam memiliki aturan politik yang bisa
membuat negara itu adil.Dalam Al-Qur’an memang aturan politik tidak disebutkan,
tetapi sistem politik pada jaman Rasullullah SAW sangatlah baik.Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor yang mendorong masyarakatnya menjalankan syari’at
Islam.
Indonesia adalah salah satu negara
Islam terbesar di dunia, namun bila dikatakan negara Islam, dalam prakteknya
islam kurang di aplikasikan dalam sistem pemerintahan baik itu politik maupun
demokrasinya. Hal itu berpengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia
di Indonesia, terutama pada sistem yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia.
Contoh kecil adalah banyaknya pelaku korupsi yang dikarenakan kurang
transparannya pemerintahan di indonesia. Hal tersebut di atas membuat penulis
membahas tentang sistem politik dalam islam.
Disini kita akan membahas tentang
peranan agama Islam dalam perkembangan politik di dunia saat ini, dengan
mengkaji berbagai informasi berdasarkan Al-Qur’an, Al Hadits dan sejarah sistem
politik di masa Rasulullah SAW.[[1]]
B. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
ApaPengertianPolitik Islam?
2.
BagaimanaSejarahperkembangan
3.
ApaPrinsip-prinsipPolitik Islam?
4.
Bagaimana peran politik Islam dalam
masyarakat dan penguasa?
C. TujuanPembahasan
Ada pun Tujuanpembahasandarimakalahini agar kitamengetahui:
1.
PengertianPolitik
Islam
2.
SejarahPerkembanganPolitik
Islam
3.
Prinsip-prinsipPolitik
Islam
4.
danPeranPolitik
Islamdalammasyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Politik Islam
A. Pengertian Politik Islam
Dalam kamus umum bahasa indonesia,
karangan W.J.S poerwa darminza, politik di artikan sebagai pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan dan sebagainya
dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan. Siasat dan sebagainya
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadapnegaralain.
Selanjutnya sebagai suatu sistem,
politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan
tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa
dasar dan bagaimana cara untuk menentukan, serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu di berikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Politik ialah cara dan upaya
menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan
manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).
Di dunia Islam pun muncul beberapa
pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At
Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan
urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam
politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).
Politik Islam (bahasa Arab: سياسي إسلامي) adalah
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di
dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith,
siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha
siyasatan bererti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya,
melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra ertinya dabbarahu
(mengurusi / mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam
adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.
Politik Islam ialah aktivitas
politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis
solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat
Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik
dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan
istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan,
serta wacana politik.
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam
dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior)
serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada
nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat
Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan
doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.[[2]]
B.
SejarahPerkembangan Politik
Islam
a) Politik Islam Masa Nabi
Islam
adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota
Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang
mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat
sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh
kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa
tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh
kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh
kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang
dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.
Sejarah
perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah
Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan
Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan
perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi.
Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh
kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala
dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung
mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari
peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga
mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah
dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama
timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.
Langkah
politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali
nampak pada peristiwa Ikrar
Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan
agama Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan
Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus
menyelidiki para pengikut Ikrar
Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu
terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh
umat Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah
peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi
Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para
pengikutnya melakukan hijrah ke
kota Yatsrib. Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah
mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
Pakar
berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan
langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan
adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan
perintah hijrah.Para peneliti
sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan
oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola
pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu
melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan
Kehidupan
Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad
menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama
kali muncul dan berkembang di Madinah.Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk
secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat
Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara
garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar
yaitu Romawi dan Persia.
Langkah
politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan
cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang
harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad
membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang
tercatat sebagai piagam Madinah.Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah
ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua puluh
lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya kebebasan
beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak
kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki
peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang
berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan,
kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.
Menurut
al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di
universitas Paris mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam
Madinah adalah memuat tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.Para sejarawan berselisih pendapat
dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di
kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang
nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi
dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin
atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?
Perbedaan
pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik
menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem
politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau
jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan
berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan
sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang
sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur
akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi
masyarakat.
Terlebih,
sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial
politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan
posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi
berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita
menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas
musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika
kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara
hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.
b) Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin
Sejarah
perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya
dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba
sistem perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk
konkret dengan berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan
diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan
secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya masa khalifah
al-Râsyidîn.
Pada
masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan
proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem
perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada
masa ini bercorak aristokrat demokratik.
Pada
waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin
sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum
muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan
pemimpin. Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan
kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu
Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang
pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah
melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun dengan
pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum
kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan
leluasa bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar,
sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan
kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin
pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin
Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad.
Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa
tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan
terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam
pengganti Nabi Muhammad.
Namun,
dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar
al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk
menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar
pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali
setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut riwayat dikatakan
bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan
Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi
suami dari Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi
seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.
Pidato
kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang
maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan
khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq
merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi
ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada
unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar
al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal
denganhurûb al-riddah.
Sosio
politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil.
Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan
berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis.
Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak
populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan
dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah,
menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan
memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan
komite pemilihan khalifah untuk menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu
Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab
terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar
al-Siddiq.
Persoalan
yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada
persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi
perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin
pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung
setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh
Umar ibn Khathab.
Perpecahan
terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul
karena para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan
kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika
khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan kedekatan (kerabat) dalam
pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni berasal
dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan
keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana
pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa
jahiliah (sebelum kedatangan Islam).
Gerakan
makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka
menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn
Abi Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif
dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman
dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat
Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn
Thalib.
Setelah
khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin
memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam
proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga
golongan. Pertama; golongan
yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh
sebagian besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah,
mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam
pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak
pada kedua golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para
pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar
ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid,
Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di atas,
muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah
dan Murjiah.
Masa
perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali
ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang
mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara
keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara
wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama
nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya
diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh
ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.
c) Politik Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah
Jika
kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan
menemukan beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada
realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat instan, maka kita akan mampu
memprediksi hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang.
Di
sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam
catatan sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai
khalifah pada tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa.
Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua
bagian, pertama; Kuffah
sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat
pemerintahan Mua’wiyah.
Namun
secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah
khalifah Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah
merupakan starting point perubahan
sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam
sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi
suasana ricuhdalam tubuh
umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan
sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga
terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun
rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun
infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio
perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai
pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para
tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi
yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti
Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata
uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual
beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan,
sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini
bertahan dari tahun 661-750 M.
Setelah dinasti Umawiyah
runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang sama. Bani
Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis
mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah,
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya
Yunani tersebar luas pada masa dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya
buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani. Dinasti ini bertahan dari
tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh
oleh Abu al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti Abbasiyah di
Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa al-Mutawakkil
III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan
dalam proses peralihan kekuasaan.[[3]
C. Prinsip-prinsipDasarPolitik Islam
Politik islam didasarkan kepada tiga
prinsip, yaitu tauhid, risalah, dan khalifah. Tauhid berarti mengesakan Allah
SWT selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Oleh karna itu manusia sebagai
pengemban amanah, sehingga tindak tanduk politik yang dilakukan muslim terkait
erat dengan keyakinan kepada Allah SWT.
Menurut teori Islam, dalam mekanisme
operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip
syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari
(1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat)
bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara
adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan
mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan
Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama
manusia dan alam lingkungannya.
Secara konseptual di kalangan
ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam
bukunya State, Politics, and Islam, menekankan tiga ciri penting
sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah),
hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat
Muslim (khilafah).
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa
prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan
tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan
termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip politik yang
tertuang dalam Al Qur’an dan Al Hadist merupakan dasar politik islam yang harus
diaplikasikan kedalam system yang ada. Diantaranya prinsip-prinsip dasar
politik islam tersebut:
- Keharusam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Al Mu’min:52).
- Keharusan menyelesaikan masalah ijtihadnya dengan damai (Al Syura:38 dan Ali Imran:159)
- Ketetapan menunaikan amanat dan melaksanakan hukum secara adil (Al Nisa:58)
- Kewajiban menaati Allah dan Rosulullah serta ulil amr (Al Nisa:59)
- Kewajiban mendamaikan konflik dalam masyarakat islam (Al Hujarat:9)
- Kewajiban mempertahankan kedaulatan negara dan larangan agresi (Al Baqarah:190)
- Kewajiban mementingkan perdamain dari pada permusuhan (Al Anfal:61)
- Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam pertahanan dan keamanan (Al Anfal:60)
- Keharusan menepati janji (An Nahl:91)
- Keharusan mengutamakan perdamaian diantara bangsa-bangsa (Al Hujarat:13)
- Keharusan peredaran harta keseluruh masyarakat (Al Hasyr:7)
- Keharusan mengikuti pelaksanaan hukum.[[4]]
D. PeranPolitik Islam
1.
Peran Kepala Negara dalam Politik
Islam.
Untuk mengurusi tanggung jawab
kepentingan masyarakat, maka secara syara’ tanggung jawab itu diberikan kepada
penguasa, dan penguasa disini bias dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah).
Inilah yang dapat menjadikan peran kepala Negara dalam politik islam, yaitu :
a.
Menjalankan hukum islam sebagai konstitusi
Negara.
b. Bertanggung
jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.
c. Mengangkat
dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.
d. Berhak
menerima dan menolak duta-duta asing.
2. Peran
Masyarakat dalam Politik Islam.
Tidak jauh berbeda dari peranan kepala
Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai peran dalam menjalankan
kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa). Sebagaimana yang telah difirmankan
oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Sehingga jelaslah bahwa peran
masyarakat untuk menaati penguasanya dalam politik islam itu memang penting.
Karena dengan adanya komponen-komponen tersebut politik islam itu dapat
berjalan secara aktif dan sesuai dengan tuntutan dalam ajaran islam.
Selain berkewajiban untuk menaati
penguasanya, masyarakat juga mempunyai tiga peran penting dalam politik islam,
yaitu :
1.
Kekuasaan memilih penguasa.
2. Terlibat
dalam musyawarah.
3. Mengoreksi
penguasa.
Peran-peran itulah yang nantinya
memperlihatkan bagaimana seorang penguasa dan masyarakat bisa menjadi
bagian-bagian dalam masalah yang muncul pada suatu negara.[[5]]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik merupakan pemikiran yang
mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan
hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi:
mewujudka persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan
menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati
Allah, Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji.
Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara
merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai
politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah
pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap
pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat.
Sedangkan penyimpangan yang terjadi
adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya.
Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan
yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam. Dalam politik luar negerinya islam
menganjurakan dan menjaga adanya perdamain. Walaupun demikan islam juga
memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab yang sudah jelas karena
mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah
memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan
perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan
seluruh umat.
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .