Tuesday, January 16, 2018

Makalah Politik Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Di setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda-beda.Namun, Islam memiliki aturan politik yang bisa membuat negara itu adil.Dalam Al-Qur’an memang aturan politik tidak disebutkan, tetapi sistem politik pada jaman Rasullullah SAW sangatlah baik.Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mendorong masyarakatnya menjalankan syari’at Islam.
Indonesia adalah salah satu negara Islam terbesar di dunia, namun bila dikatakan negara Islam, dalam prakteknya islam kurang di aplikasikan dalam sistem pemerintahan baik itu politik maupun demokrasinya. Hal itu berpengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia di Indonesia, terutama pada sistem yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia. Contoh kecil adalah banyaknya pelaku korupsi yang dikarenakan kurang transparannya pemerintahan di indonesia. Hal tersebut di atas membuat penulis membahas tentang sistem politik dalam islam.
Disini kita akan membahas tentang peranan agama Islam dalam perkembangan politik di dunia saat ini, dengan mengkaji berbagai informasi berdasarkan Al-Qur’an, Al Hadits dan sejarah sistem politik di masa Rasulullah SAW.[[1]]

B.     RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      ApaPengertianPolitik Islam?
2.      BagaimanaSejarahperkembangan
3.      ApaPrinsip-prinsipPolitik Islam?
4.      Bagaimana peran politik Islam dalam masyarakat dan penguasa?

C.     TujuanPembahasan
Ada pun Tujuanpembahasandarimakalahini agar kitamengetahui:
1.      PengertianPolitik Islam
2.      SejarahPerkembanganPolitik Islam
3.      Prinsip-prinsipPolitik Islam
4.      danPeranPolitik Islamdalammasyarakat















BAB II
PEMBAHASAN

1.     Politik Islam

A.     Pengertian Politik Islam
Dalam kamus umum bahasa indonesia, karangan W.J.S poerwa darminza, politik di artikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan dan sebagainya dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan. Siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadapnegaralain.
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan, serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu di berikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).
Di dunia Islam pun muncul beberapa pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).
Politik Islam (bahasa Arab: سياسي إسلامي) adalah Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra ertinya dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.
Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.[[2]]
B.     SejarahPerkembangan Politik Islam
a) Politik Islam Masa Nabi
Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama  Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib. Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
Pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di Madinah.Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.
Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang tercatat sebagai piagam Madinah.Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.
Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf  al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?
Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat.
Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.
b)   Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin
Sejarah perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik.
Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin. Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad.
Namun, dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut riwayat dikatakan bahwa  Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.
Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah.
Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).
Gerakan makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn Thalib.
Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga golongan. Pertama; golongan yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah, mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid, Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di atas, muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.
c) Politik Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah
Jika kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal yang  akan terjadi di masa mendatang.
Di sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.
Namun secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi suasana ricuhdalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M.
Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang sama. Bani Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah, berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani. Dinasti ini bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti Abbasiyah di Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan dalam proses peralihan kekuasaan.[[3]
C.     Prinsip-prinsipDasarPolitik Islam
Politik islam didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu tauhid, risalah, dan khalifah. Tauhid berarti mengesakan Allah SWT selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Oleh karna itu manusia sebagai pengemban amanah, sehingga tindak tanduk politik yang dilakukan muslim terkait erat dengan keyakinan kepada Allah SWT.
Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167)  mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics,  and Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah),  hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat    Muslim  (khilafah).
            Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada  yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip politik yang tertuang dalam Al Qur’an dan Al Hadist merupakan dasar politik islam yang harus diaplikasikan kedalam system yang ada. Diantaranya prinsip-prinsip dasar politik islam tersebut:
  1. Keharusam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Al Mu’min:52).
  2. Keharusan menyelesaikan masalah ijtihadnya dengan damai (Al Syura:38 dan Ali Imran:159)
  3. Ketetapan menunaikan amanat dan melaksanakan hukum secara adil (Al Nisa:58)
  4. Kewajiban menaati Allah dan Rosulullah serta ulil amr (Al Nisa:59)
  5. Kewajiban mendamaikan konflik dalam masyarakat islam (Al Hujarat:9)
  6. Kewajiban mempertahankan kedaulatan negara dan larangan agresi (Al Baqarah:190)
  7. Kewajiban mementingkan perdamain dari pada permusuhan (Al Anfal:61)
  8. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam pertahanan dan keamanan (Al Anfal:60)
  9. Keharusan menepati janji (An Nahl:91)
  10. Keharusan mengutamakan perdamaian diantara bangsa-bangsa (Al Hujarat:13)
  11. Keharusan peredaran harta keseluruh masyarakat (Al Hasyr:7)
  12. Keharusan mengikuti pelaksanaan hukum.[[4]]
D.     PeranPolitik Islam

1.      Peran Kepala Negara dalam Politik Islam.
Untuk mengurusi tanggung jawab kepentingan masyarakat, maka secara syara’ tanggung jawab itu diberikan kepada penguasa, dan penguasa disini bias dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah). Inilah yang dapat menjadikan peran kepala Negara dalam politik islam, yaitu :
a.       Menjalankan hukum islam sebagai konstitusi Negara.
b.      Bertanggung jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.
c.       Mengangkat dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.
d.      Berhak menerima dan menolak duta-duta asing.

2.      Peran Masyarakat dalam Politik Islam.
Tidak jauh berbeda dari peranan kepala Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai peran dalam menjalankan kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa). Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
            “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sehingga jelaslah bahwa peran masyarakat untuk menaati penguasanya dalam politik islam itu memang penting. Karena dengan adanya komponen-komponen tersebut politik islam itu dapat berjalan secara aktif dan sesuai dengan tuntutan dalam ajaran islam.
Selain berkewajiban untuk menaati penguasanya, masyarakat juga mempunyai tiga peran penting dalam politik islam, yaitu :
1.      Kekuasaan memilih penguasa.
2.      Terlibat dalam musyawarah.
3.      Mengoreksi penguasa.
Peran-peran itulah yang nantinya memperlihatkan bagaimana seorang penguasa dan masyarakat bisa menjadi bagian-bagian dalam masalah yang muncul pada suatu negara.[[5]]
















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudka persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat.
Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam. Dalam politik luar negerinya islam menganjurakan dan menjaga adanya perdamain. Walaupun demikan islam juga memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab yang sudah jelas karena mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.



[[1]]http://umbasanblogger.blogspot.co.id/
[[2]]http://ilhamwarisman.blogspot.co.id/2013/11/makalah-politik-islam.html
[[3]]http://dtkisland.blogspot.co.id/2013/12/makalah-politik-islam_27.html
[[4]]Wawasan Sistem Politik Islam: Al-Bahnasawi, Salim Ali, Pustaka Al-Kautsar, 1996.

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .