KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah
memberikan nikmat kepada kami. Sehinga kami manpu menyelesaikan “ ULUMUL QUR’AN”
sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka
memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah ulumul qur’an. Yang meliputi tugas nilai kelompok.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah ada.
Namun, hanya lebih pendekatan pada materi atau membandingkan beberapa materi
yang sama dari berbagai referensi. Yang bisa memberikan tambahan pada hal yang
terkait dengan ulumul qur’an dalam perkembangan keislaman.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan
dan mengkaji materi ulumul qur’an dari berbagai referensi. Kami menggunakan metode pengumpulan data ini,
agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang mudah difahami.
Penyampaian perbandingan materi dan referensi yang satu dengan yang lain
akan menyapu dalam satu makalah. Sehingga tidak akan tidak ada perombakan total
dari buku aslinya.
Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan.
Begitupula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya.
Kami ucapkan terima kasih kepada Hajjin Mabrur,M.s.I sebagai pengajar mata
kuliah ulumul qur’an yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Sehingga tepat pada waktunya.
Cirebon,
Oktober 2017
PENYUSUN
DAFTAR ISI
HALAMANSAMPUL....................................................................................
KATAPENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR
ISI.....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang……………………………………………..4
b.
Rumusan Masalah………………………………………….4
c. Tujuan
Pembahasan………………………………………..4
BAB II PEMBAHASAN
A. Qira’atul Qur’an.……………...…………….......................5
1. Pengertian……………………………………………...5
2. Macam-macam
Qira’at.………………………………..8
B.
Rasmul Qur’an.....................................................................11
1.
Pengertian……………………………………………...11
2.
Kaitan Rasmul dan Qira’at…………………………….14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………...16
B. Saran
………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara
pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat
(menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau
lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Rasmul Al-Qur`an berarti
bentuk tulisan Al-Qur`an. Para ulama lebih cenderung menamakannya dengan
istilah rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya rasmul Utsmani karena Khalifah
Utsmanlah yang merestui dilakukannya penulisan Al-Qur`an. Rasmul mushaf
merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta
sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al- Qur`an.
Dalam makalah ini, akan di
kupas tentang bagaimana qira’atul qur’an, macam-macam qira’at, rasmul qur’an,
kaitan rasmul dengan qira’at.
A.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.
Jelaskan
pengertian qira’atul qur’an ?
2.
Apa saja macam-macam qira’atul qur’an ?
3.
Pengertian
rasmul qur’an ?
4.
Apa kaitan
rasmul dan qira’at ?
B.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui dan memahami qira’atul qur’an.
2.
Untuk mengetahui dan memahami macam-macam qira’at.
3.
Untuk mengetahui dan memahami rasmul qur’an.
4.
Untuk mengetahui dan memahami kaitan rasmul dan
qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QIRA’AT AL-QUR’AN
1.
Pengertian Qira’at al-Qur’an
Secara etimologi, lafal
qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut
terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan
pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam
Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui
kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek
kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara
periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu
cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau
sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau
mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama
yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu.
Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut:
“Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an,
dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya,
berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang
imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang
perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang
pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya
Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan
Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam
menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai
versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan
qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat
disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan
kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى
حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ),
atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at
disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur
ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para
sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at
disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa
turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau
rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang
sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi
mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku
dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
2.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan
macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai
qira’at al-Qur’an.Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at
syazzat.
a.
Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang
diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn
Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal
di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3
hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa
Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b.
Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya
shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani.
Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para
ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini
dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui
kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya
kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at
Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat
dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan
hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau
sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun
hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at
al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap
istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata
kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa
seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu.Adapun caranya
seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama
berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci
ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua
versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ .
Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara
Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ .Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut.Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut.Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ .Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut.Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut.Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
B. RASMUL QUR’AN
1. Pengertian Rasmul Qur`an
Istilah Rasmul Qur`an terdiri
dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur`an. Kata rasm bentuk tulisan. Dapat juga
diartikan dengan `atsar dan `alamah. Sedangkan Al-Qur`an adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perantaraan malaikat jibril,
ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara
mutawatir (oleh banyak orang) dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah,
dimulai dengan surat Al-Fatiha dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Dengan demikian, rasm Al-Qur`an
berarti bentuk tulisan Al-Qur`an. Para ulama lebih cenderung menamakannya
dengan istilah rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya rasmul Utsmani karena
Khalifah Utsmanlah yang merestui dilakukannya penulisan Al-Qur`an. Rasmul
mushaf merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan
beserta sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al- Qur`an yang berkaitan
dengan susunan huruf-hurufnya yang terdapat dalam mushaf-mushafyang dikirim ke
berbagai daerah dan kota serta mushaf Al-Iman yang berada ditangan khalifah
Utsman bin Affan itu sendiri.
2.
Pendapat Ulama tentang Rasmul
Qur`an
Ada beberapa pendapat tentang
rasmul Qur`an berkaitan dengan permasalahan, apakah rasmul Qur`an merupakn
tauqifi (ketetapan) dari Nabi Muhammad saw, atau bukan. Ada dua pendapat dari
kalangan ulama mengenai permasalahan ini yaitu:
1.
Menurut Ibnu Mubarak rasmul Qur`an
adalah tauqifi dan metode penulisannya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw.
Pendapat ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang sependapat dengan
gurunya Abdul Azis ad-Dabbagh. Ia menyatakan bahwa, tidak seujung rambutpun
huruf Al-Qur`an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat nabi atau yang
lainnya.
Rasmul Qur`an adalah taufiqi
dair nabi Muhammad saw, yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari
Rasulullah saw. Beliaulah yang menyuruh mereka (baca, para sahabat) untuk
menulis rasmul Qur`an itu dalam bentuk yang dikenal sampai sekarang. Termasuk
tambahan huruf “alif” dan pengurangannya, yaitu rahasia yang di khususkan Allah
swt, bagi kitab suci Al-Qur`an suatu kekhususan yang tidak diberikan kepada
kitab-kitab suci lainnya. Sama halnya dengan susunan Al-Qur`an itu mu`jiz
(membuat lawan tak berdaya), maka rasmul Qur`an juga mu`jiz.
Pendapat tersebut dadasarkan
pada suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad saw, pernah bersabda kepada Muawiyah,
salah seorang pencatat wahyu, “Goreskan tinta, tegakkan huruf ya`, bedakan sin,
jangan kamu miringkan mim, baguskan tulisam lafal Allah, panjangkan Ar-Rahman,
baguskan Ar-Rahim dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu; karena yang
demikian akan lebih adapat mengingatkan kamu”.
Atas dasar tersebut, maka
Al-Zarqani didalam kitabnya Manahilul `Irfan berpendapat bahwa tidak ada
salahnya memandang beberap keistimewaan rasmul Qur`an sebagai petunjuk tentang
adanya makna rahasia yang sangat halus. Seperti penambahan “ya`” dalam
penulisan kata “aydin” yang tedapat dalam firmannya, dalam surat Adz-Dzariyat
ayat 47 yang berbunyi:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Ayat ini merupakan asyarat
bagi kehebatan kekuatan Allah yang dengannya dia membangun langit, dan bahwa
kekuatan-Nya itu tidakdapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang
manapun.berdasarkan kaidah yang masyhur, “penambahan huruf dalam bentuk kalimat
menunjukkan penambahan makna”.
Pendapat ini sama sekali tidak
bersumber bahwa rasm itu bersifat tauqifi. Tetapi sebenarnya para penulislah
yang mempergunakan istilah dan cara tersebut pada masa Utsman atas izinya, dan
bahkan utsman telah memberikan pedoman pada mereka, dengan perkataannya kepada
tiga orang Quraisy, “jika kalian (bertiga) berselisih pendapat dengan zaid bin
Tsabit mengenai penulisan sebuah lafal Al-Qur`an, maka tulislah menurut logat
Quraisy, karena ia diturunkan dalam logat mereka”. Ketika mereka berselisih
pendapat dalampenulisan tabut, Zaid bin Tsabit mengatakan; tabuh, tetapi
beberapa orang dari Quraisy mengtakan; Tabut, kemudian mereka mengadukan hal
itu kepada Utsman,Utsman mengatakan, “Tulislah Tabut karena Al-Qur`an
diturunkan dalam bahasa Quraisy”.
2.
Sedangkan QadhiAbu al-Baihaqi
berpandangan bahwa rasmul Qur`an tersebut tidak masuk akal kalau dikatakan tauqifi.ia mengatakan bahw mengenai tulisan
Al-Qur`an, Allah swt, sama sekali tidak mewajibkan kepada umat islam dan tidak
melarang para penulis Al-Qur`an untuk menggunakan rasm selamaitu (baca; Utsman
bin Affan). Yang dikatakan kewajiban hanyalah diketahui dari berita-berita yang
didengar.
Kewajiban itu tidak terdapat
dalam nash Al-Qur`an maupun hadits Nabi Muhammad saw. Tidak ada petunjukkhusus
yang mengisyaratkan bahwa penulisan rasmul Qur`an dan pencatatan srta penulisan
hanya dilakukan dalam bentuk khusus atau dengan cara tertentuyang tidak boleh
ditinggalkan, demikian pula dengan ijma` (kesepakatan)ulama. Bahkan sunnah
Rasulullah saw,memberikan isyarat bahwa dibolehkannya penulisan Al-Qur`an
dengan rasm yang paling mudah. Karena Rasulullah saw, memerintahkan penulisannya
tanpa menjelaskan bentuk tulisan (baca;rasm) tertentu dan beliau tidak melarang
siapapun yang menulis Al-Qur`an. Sehingga bentuk tulisan mushafpun
berbeda-beda. Maka sangatlah memungkinkan Al-Qur`an ditulis dengan huruf Kufi
dan huruf dizaman kuno. Setiap orang boleh menulis mushaf dengan cara yang
sudah lazim dan menjadi kebiasaannya atau dengan caranya sendiri yang
menurutnya paling mudah dan paling baik.
Subhi as-Shalih tidak
sependapat dengan pendapat kedua yang dipelopori oleh oleh Baihaqi, tentang
dibolehkannya menulis rasmul Qur`an secara berlainan. Sbhi as-Shalih sependapat
dengan al-Izz bin Abdus-Salam yang mengatakanbahwa dewasa ini penulisan mushaf
tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa
lalu.
Tulisan arabmenurut teori terpopuler di kalanganserjan barat bahwa berasal dari tulisan kurfi Nabthi (Nabathen), yang trasformasikan kedalam karakter tulisan arab pada abad IV atau V. proses transformasi ini kemungkinan berlangsung diMadyan atau dikerajaan Gassanid(Gasaniyah). Dibawah pengaruh perniagaan , tulisan ini kemudian menyebar keutara dan selatan. Pada permulaan abad IV,telah masuk didaerah Siria utara dan mencapai puncak keberhasilan penyebarannya yang sama kedaerah-daerah yang menggunakan bahasa Arab utara,khususnya di Mekkahataupun di Madinah.
Sedangkan dikalangn sejarawan
Arab, mereka berpandangan bahwa ulisan Arab tersebut berasal dari Hirah sebuah
kota didekat Babiloni dan Anbar sebuah kota di Eufrat, sebelah Barat Laut kota
Baghdad sekarang. Dikisahkan bahwa tulisan Arab sampai ke Mekkah melalui Harb
ibn Umaiyah ibn Abd as-Syams yang mempelajari dari orang-orang tertentu yang
ditemuinya dalam perjlanan-perjalanannya.Salah satu diantaranya adalah Bisyr
Abd, Al-Malik yang dating ke Mekkahsembari mengajari sejumlah orang Mekkah
tulis-menulis.
Dalam riwayat yang
laindisebutkan bahwa, ketika orang-oarang hijrah ditanya dari mana mereka
memperoleh pengetahuan tentang tulis-menulis Aksara Arab tersebut, mereka
menjawab dari penduduk al-Anbar. Terdapat dua jenis tulisan Arab yang disebut
khat Hijasi yang berkembang ketika itu yaitu:
1. Khat Khufi, dinamakan Khufi karena dinisbahkan
pada kota Kufah tempat berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan
Aksara tersebut. Bentuk tulisan inisangat mirip dengan tulisan orang-orang
Hirah yang bersumber dari tulisan Suryani (Siriak). Kaht Khufi digunakan saat
itu adalah antara lain untuk menyalin Al-Qur`an.
2. kaht Nasakhi yang bersumber dari bentuk
tulisan Nabthi. Bentuk Khat ini biasanya digunakan dalam surat-menyurat. Namun
teori tantang asal usul kedua bentuk tulisan ini tidak begitu diterima oleh
sejarawan Arab, yang melihat bahwa tulisan musnad yang bersumber dari tulisan
Arami(Aramaik) yang masuk e Hijaz melalui Yaman merupakan bagian dari rangkaian
tulisan Arab.
Apabila disepakatibahwa bentuk
dan ragam tulisan adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan
perkembangan manusia,maka permasalahannya adalah apakah suatu bentuk tulisan
memiliki sangsi Ilahi atau meskikah ia pertahankan karena merupakan consensus
masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu adalah permasalahan yang terlalu
sepele dan tak perlu diperdebatkan. Bentuk aksara primitive Arab yang digunakan
untuk menyalin mushaf Utsman telah membuka peluang untuk pembacaan teks mushaf
tersebut secara beragam, dapat dilacak pada berbagai perbedaan bacaan yang
eksis dalam bacaan (qira`at)yang tujuh ataupun berbagaibacaan non Utsmani
lainnya.
3.
Kaitan antara Rasmul Qur`an dengan
Qira`at
Qira`at adalah jamak dari
qira`ah artinya bacaan.Ia adalah masdar dari Qara`at. dalam istilah keilmuan
qira`at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur`an yang dipakai salah
seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Qira`at ini didasarka kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw.
Periode Qurra`yang mengajarkan bacaan Al-Qur`an kepada orang-orang menurut cara
mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.
Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira`at adalah Ubay, Ali, Zaid
bin Tsabit, Ibnu Mas`ud, Abu Musa Al-Asy`arid an lain-lain. Darimereka itulh
sebagian besar sahabat dan Tabi`in diberbagai negeri belajar qira`at, mereka
semuanya bersadar kepada Rasulullah.
Langkah penyeragaman teks yang
dilakukan oleh khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan melalui pengumpulan resmi
Qur`an, terutama sekalidapat dilihat sebagai tonggak awal upaya standarisasi
teks maupun bacaan Al-Qur`an. Alas an utama yang menjadi dasar dibalik
kodofikasi tersebut adalah perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah
kepda perpecahan politik umat islam.
Entuk (imla)atau scriptio
devectiva yang digunakan untuk menyalin Al-Qur`an ketika itu masih membuka
peluang bagi seseorang untuk membaca taks kitab sucisecara beragam. Kekeliruan
dalm pembacaan teks Al-Qur`an (tashhif)bisa diminimalisir atau bahkan dihindari
apabila seseorang mempunyai tradisi hafalan Al-Qur`an yang kuat, ataupaling
tidak memiliki tingkatkeakraban yang tinggi terhadap teka kitab suc. Kalu tidak
demikian sangatlah memungkinkan baginya terjebak dalam kekeliruan dalam
pembacaan.
Menurut mayoritas serjana
agama islam, berbagai perbedaan bacaan, terutama dalam tradisi teks Utsmani,
khususnya dalam kategori qira`at Mutawatir dan qira`at Mansyhur, merupakan
ragam bacaan yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, dank arena itu memiliki
otoritas Ilahiyah. Setiap bacaan resmi dalam tradisi Utsmani, menurut mereka
telah ditransmisikan melalui mata rantai periwayatan (isnad) yang diindepanden
dan memilikiotoritatif dalam skala yang sangat luas sehingga kemumgkinan
terjadinya keselahan atau kekeliruan bisa dikesampingkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karena itu rasmul Qur`an memiliki hubungan
yang sangat erat dengan qira`at sebab akan berinflikasi dalam
menginstimbatkannya hukum. Namun qira`at yang digunakan haruslah berdasarkan
qira`at yang telah disepakati
B.
Saran
Penyusun mengetahui betul
bahwa buah karya yang dipergunakan untuk
memenuhi tugas ini yang jauh sempurna, maka penulis sangat mengharapkan kritik
atau saran dari para pembaca. Kritik atau saran bagi penulis adalah sesuatu
yang sangat berarti untuk menjadi yang lebih baik lagi.
C.
Penutup
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan makalah ini.
Penulis
banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .