Tuesday, January 16, 2018

Makalah Qiro'at dan Rasmul Al-Qur'an



KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan nikmat kepada kami. Sehinga kami manpu menyelesaikan “ ULUMUL QUR’AN” sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah ulumul qur’an. Yang meliputi tugas nilai kelompok.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah ada. Namun, hanya lebih pendekatan pada materi atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi. Yang bisa memberikan tambahan pada hal yang terkait dengan ulumul qur’an dalam perkembangan keislaman.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji materi  ulumul qur’an dari berbagai referensi. Kami menggunakan metode pengumpulan data ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang mudah difahami.
Penyampaian perbandingan materi dan referensi yang satu dengan yang lain akan menyapu dalam satu makalah. Sehingga tidak akan tidak ada perombakan total dari buku aslinya.
Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitupula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon  maaf   atas segala kekurangannya.
Kami ucapkan terima kasih kepada Hajjin Mabrur,M.s.I sebagai pengajar mata kuliah ulumul qur’an yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Sehingga tepat pada waktunya.

                                                                                    Cirebon, Oktober 2017
                                             
                                                                                    PENYUSUN


DAFTAR ISI

HALAMANSAMPUL....................................................................................
KATAPENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB    I           PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang……………………………………………..4
b.      Rumusan Masalah………………………………………….4
c.       Tujuan Pembahasan………………………………………..4

BAB    II         PEMBAHASAN
A.    Qira’atul Qur’an.……………...…………….......................5
1.      Pengertian……………………………………………...5
2.      Macam-macam Qira’at.………………………………..8
B.     Rasmul Qur’an.....................................................................11
1.      Pengertian……………………………………………...11
2.      Kaitan Rasmul dan Qira’at…………………………….14

BAB    III        PENUTUP
A.    Kesimpulan………………………………………………...16
B.     Saran ………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Rasmul Al-Qur`an berarti bentuk tulisan Al-Qur`an. Para ulama lebih cenderung menamakannya dengan istilah rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya rasmul Utsmani karena Khalifah Utsmanlah yang merestui dilakukannya penulisan Al-Qur`an. Rasmul mushaf merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al- Qur`an.
Dalam makalah ini, akan di kupas tentang bagaimana qira’atul qur’an, macam-macam qira’at, rasmul qur’an, kaitan rasmul dengan qira’at.

A.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut  :
1.             Jelaskan pengertian qira’atul qur’an ?
2.             Apa saja macam-macam qira’atul qur’an ?
3.             Pengertian rasmul qur’an ?
4.             Apa kaitan rasmul dan qira’at ?
B.     Tujuan Pembahasan
1.             Untuk mengetahui dan memahami qira’atul qur’an.
2.             Untuk mengetahui dan memahami macam-macam qira’at.
3.             Untuk mengetahui dan memahami rasmul qur’an.
4.             Untuk mengetahui dan memahami kaitan rasmul dan qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    QIRA’AT AL-QUR’AN
1.      Pengertian Qira’at al-Qur’an
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.

Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1.         القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.

2.         الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.

3.         الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:

1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ

2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).

3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.

4.  Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.

            5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
2.      Macam-macam Qira’at

Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an.Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a.       Qira’at Sab’ah

Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b.       Qira’at Syazzat

Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an

3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.

Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu.Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.

Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:

Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ .Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut.Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut.Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.




B.     RASMUL QUR’AN
1.       Pengertian Rasmul Qur`an
Istilah Rasmul Qur`an terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur`an. Kata rasm bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan `atsar dan `alamah. Sedangkan Al-Qur`an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perantaraan malaikat jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir (oleh banyak orang) dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatiha dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Dengan demikian, rasm Al-Qur`an berarti bentuk tulisan Al-Qur`an. Para ulama lebih cenderung menamakannya dengan istilah rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya rasmul Utsmani karena Khalifah Utsmanlah yang merestui dilakukannya penulisan Al-Qur`an. Rasmul mushaf merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al- Qur`an yang berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya yang terdapat dalam mushaf-mushafyang dikirim ke berbagai daerah dan kota serta mushaf Al-Iman yang berada ditangan khalifah Utsman bin Affan itu sendiri.
2.      Pendapat Ulama tentang Rasmul Qur`an

Ada beberapa pendapat tentang rasmul Qur`an berkaitan dengan permasalahan, apakah rasmul Qur`an merupakn tauqifi (ketetapan) dari Nabi Muhammad saw, atau bukan. Ada dua pendapat dari kalangan ulama mengenai permasalahan ini yaitu:
1.      Menurut Ibnu Mubarak rasmul Qur`an adalah tauqifi dan metode penulisannya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw. Pendapat ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang sependapat dengan gurunya Abdul Azis ad-Dabbagh. Ia menyatakan bahwa, tidak seujung rambutpun huruf Al-Qur`an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat nabi atau yang lainnya.
Rasmul Qur`an adalah taufiqi dair nabi Muhammad saw, yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah saw. Beliaulah yang menyuruh mereka (baca, para sahabat) untuk menulis rasmul Qur`an itu dalam bentuk yang dikenal sampai sekarang. Termasuk tambahan huruf “alif” dan pengurangannya, yaitu rahasia yang di khususkan Allah swt, bagi kitab suci Al-Qur`an suatu kekhususan yang tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya. Sama halnya dengan susunan Al-Qur`an itu mu`jiz (membuat lawan tak berdaya), maka rasmul Qur`an juga mu`jiz.
Pendapat tersebut dadasarkan pada suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad saw, pernah bersabda kepada Muawiyah, salah seorang pencatat wahyu, “Goreskan tinta, tegakkan huruf ya`, bedakan sin, jangan kamu miringkan mim, baguskan tulisam lafal Allah, panjangkan Ar-Rahman, baguskan Ar-Rahim dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu; karena yang demikian akan lebih adapat mengingatkan kamu”.
Atas dasar tersebut, maka Al-Zarqani didalam kitabnya Manahilul `Irfan berpendapat bahwa tidak ada salahnya memandang beberap keistimewaan rasmul Qur`an sebagai petunjuk tentang adanya makna rahasia yang sangat halus. Seperti penambahan “ya`” dalam penulisan kata “aydin” yang tedapat dalam firmannya, dalam surat Adz-Dzariyat ayat 47 yang berbunyi:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Ayat ini merupakan asyarat bagi kehebatan kekuatan Allah yang dengannya dia membangun langit, dan bahwa kekuatan-Nya itu tidakdapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang manapun.berdasarkan kaidah yang masyhur, “penambahan huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan penambahan makna”.

Pendapat ini sama sekali tidak bersumber bahwa rasm itu bersifat tauqifi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan cara tersebut pada masa Utsman atas izinya, dan bahkan utsman telah memberikan pedoman pada mereka, dengan perkataannya kepada tiga orang Quraisy, “jika kalian (bertiga) berselisih pendapat dengan zaid bin Tsabit mengenai penulisan sebuah lafal Al-Qur`an, maka tulislah menurut logat Quraisy, karena ia diturunkan dalam logat mereka”. Ketika mereka berselisih pendapat dalampenulisan tabut, Zaid bin Tsabit mengatakan; tabuh, tetapi beberapa orang dari Quraisy mengtakan; Tabut, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Utsman,Utsman mengatakan, “Tulislah Tabut karena Al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Quraisy”.
2.      Sedangkan QadhiAbu al-Baihaqi berpandangan bahwa rasmul Qur`an tersebut tidak masuk akal kalau dikatakan tauqifi.ia mengatakan bahw mengenai tulisan Al-Qur`an, Allah swt, sama sekali tidak mewajibkan kepada umat islam dan tidak melarang para penulis Al-Qur`an untuk menggunakan rasm selamaitu (baca; Utsman bin Affan). Yang dikatakan kewajiban hanyalah diketahui dari berita-berita yang didengar.

Kewajiban itu tidak terdapat dalam nash Al-Qur`an maupun hadits Nabi Muhammad saw. Tidak ada petunjukkhusus yang mengisyaratkan bahwa penulisan rasmul Qur`an dan pencatatan srta penulisan hanya dilakukan dalam bentuk khusus atau dengan cara tertentuyang tidak boleh ditinggalkan, demikian pula dengan ijma` (kesepakatan)ulama. Bahkan sunnah Rasulullah saw,memberikan isyarat bahwa dibolehkannya penulisan Al-Qur`an dengan rasm yang paling mudah. Karena Rasulullah saw, memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan (baca;rasm) tertentu dan beliau tidak melarang siapapun yang menulis Al-Qur`an. Sehingga bentuk tulisan mushafpun berbeda-beda. Maka sangatlah memungkinkan Al-Qur`an ditulis dengan huruf Kufi dan huruf dizaman kuno. Setiap orang boleh menulis mushaf dengan cara yang sudah lazim dan menjadi kebiasaannya atau dengan caranya sendiri yang menurutnya paling mudah dan paling baik.
Subhi as-Shalih tidak sependapat dengan pendapat kedua yang dipelopori oleh oleh Baihaqi, tentang dibolehkannya menulis rasmul Qur`an secara berlainan. Sbhi as-Shalih sependapat dengan al-Izz bin Abdus-Salam yang mengatakanbahwa dewasa ini penulisan mushaf tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa lalu.

Tulisan arabmenurut teori terpopuler di kalanganserjan barat bahwa berasal dari tulisan kurfi Nabthi (Nabathen), yang trasformasikan kedalam karakter tulisan arab pada abad IV atau V. proses transformasi ini kemungkinan berlangsung diMadyan atau dikerajaan Gassanid(Gasaniyah). Dibawah pengaruh perniagaan , tulisan ini kemudian menyebar keutara dan selatan. Pada permulaan abad IV,telah masuk didaerah Siria utara dan mencapai puncak keberhasilan penyebarannya yang sama kedaerah-daerah yang menggunakan bahasa Arab utara,khususnya di Mekkahataupun di Madinah.

Sedangkan dikalangn sejarawan Arab, mereka berpandangan bahwa ulisan Arab tersebut berasal dari Hirah sebuah kota didekat Babiloni dan Anbar sebuah kota di Eufrat, sebelah Barat Laut kota Baghdad sekarang. Dikisahkan bahwa tulisan Arab sampai ke Mekkah melalui Harb ibn Umaiyah ibn Abd as-Syams yang mempelajari dari orang-orang tertentu yang ditemuinya dalam perjlanan-perjalanannya.Salah satu diantaranya adalah Bisyr Abd, Al-Malik yang dating ke Mekkahsembari mengajari sejumlah orang Mekkah tulis-menulis.
Dalam riwayat yang laindisebutkan bahwa, ketika orang-oarang hijrah ditanya dari mana mereka memperoleh pengetahuan tentang tulis-menulis Aksara Arab tersebut, mereka menjawab dari penduduk al-Anbar. Terdapat dua jenis tulisan Arab yang disebut khat Hijasi yang berkembang ketika itu yaitu:
1. Khat Khufi, dinamakan Khufi karena dinisbahkan pada kota Kufah tempat berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan Aksara tersebut. Bentuk tulisan inisangat mirip dengan tulisan orang-orang Hirah yang bersumber dari tulisan Suryani (Siriak). Kaht Khufi digunakan saat itu adalah antara lain untuk menyalin Al-Qur`an.
2. kaht Nasakhi yang bersumber dari bentuk tulisan Nabthi. Bentuk Khat ini biasanya digunakan dalam surat-menyurat. Namun teori tantang asal usul kedua bentuk tulisan ini tidak begitu diterima oleh sejarawan Arab, yang melihat bahwa tulisan musnad yang bersumber dari tulisan Arami(Aramaik) yang masuk e Hijaz melalui Yaman merupakan bagian dari rangkaian tulisan Arab.
Apabila disepakatibahwa bentuk dan ragam tulisan adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia,maka permasalahannya adalah apakah suatu bentuk tulisan memiliki sangsi Ilahi atau meskikah ia pertahankan karena merupakan consensus masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu adalah permasalahan yang terlalu sepele dan tak perlu diperdebatkan. Bentuk aksara primitive Arab yang digunakan untuk menyalin mushaf Utsman telah membuka peluang untuk pembacaan teks mushaf tersebut secara beragam, dapat dilacak pada berbagai perbedaan bacaan yang eksis dalam bacaan (qira`at)yang tujuh ataupun berbagaibacaan non Utsmani lainnya.
3.      Kaitan antara Rasmul Qur`an dengan Qira`at
Qira`at adalah jamak dari qira`ah artinya bacaan.Ia adalah masdar dari Qara`at. dalam istilah keilmuan qira`at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur`an yang dipakai salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Qira`at ini didasarka kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode Qurra`yang mengajarkan bacaan Al-Qur`an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira`at adalah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas`ud, Abu Musa Al-Asy`arid an lain-lain. Darimereka itulh sebagian besar sahabat dan Tabi`in diberbagai negeri belajar qira`at, mereka semuanya bersadar kepada Rasulullah.
Langkah penyeragaman teks yang dilakukan oleh khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan melalui pengumpulan resmi Qur`an, terutama sekalidapat dilihat sebagai tonggak awal upaya standarisasi teks maupun bacaan Al-Qur`an. Alas an utama yang menjadi dasar dibalik kodofikasi tersebut adalah perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah kepda perpecahan politik umat islam.
Entuk (imla)atau scriptio devectiva yang digunakan untuk menyalin Al-Qur`an ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca taks kitab sucisecara beragam. Kekeliruan dalm pembacaan teks Al-Qur`an (tashhif)bisa diminimalisir atau bahkan dihindari apabila seseorang mempunyai tradisi hafalan Al-Qur`an yang kuat, ataupaling tidak memiliki tingkatkeakraban yang tinggi terhadap teka kitab suc. Kalu tidak demikian sangatlah memungkinkan baginya terjebak dalam kekeliruan dalam pembacaan.
Menurut mayoritas serjana agama islam, berbagai perbedaan bacaan, terutama dalam tradisi teks Utsmani, khususnya dalam kategori qira`at Mutawatir dan qira`at Mansyhur, merupakan ragam bacaan yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, dank arena itu memiliki otoritas Ilahiyah. Setiap bacaan resmi dalam tradisi Utsmani, menurut mereka telah ditransmisikan melalui mata rantai periwayatan (isnad) yang diindepanden dan memilikiotoritatif dalam skala yang sangat luas sehingga kemumgkinan terjadinya keselahan atau kekeliruan bisa dikesampingkan.






BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
 Karena itu rasmul Qur`an memiliki hubungan yang sangat erat dengan qira`at sebab akan berinflikasi dalam menginstimbatkannya hukum. Namun qira`at yang digunakan haruslah berdasarkan qira`at yang telah disepakati
B.     Saran
Penyusun mengetahui betul bahwa buah karya  yang dipergunakan untuk memenuhi tugas ini yang jauh sempurna, maka penulis sangat mengharapkan kritik atau saran dari para pembaca. Kritik atau saran bagi penulis adalah sesuatu yang sangat berarti untuk menjadi yang lebih baik lagi.

C.     Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.







0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .