BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
sebagaimana yang dimiliki ummat Islam sekarang ternyata mengalami proses
sejarah yang cukup panjang dan upaya penulisan dan pembukuan (kodifikasi). Pada
zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke dalam satu mushaf.
Al-Qur’an baru ditulis dalam menggunakan kepingan-kepingan tulang,
pelapah-pelapah kurma dan batu-batu, sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat
waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis, seperti kertas
dan pensil.
Allah
akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, akan selamat dari usaha-usaha
pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan. Al-Qur’an ditulis sejak
Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan
para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka
tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan. Dalam makalah ini
penulis akan menggambarkan sejarah kodifikasi/pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah SAW dan setelah beliau wafat, baik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq
hingga Utsman bin Affan, termasuk kendala-kendala atau permasalahan yang muncul
dalam proses penyusunan maupun setelah pengumpulan Al-Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah kodifikasi
Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW?
2.
Bagaimana sejarah kodifikasi Al-Qur’an
ditinjau dari proses pengumpulan dan pembukuan pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq, dan Utsman bin Affan?
C. Tujuan
Pembahasan
Tujuan penulisan Makalah ini adalah Agar kita kaum
muslimin dapat mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Nabi
Muhammad SAW, Abu Bakar, Usman bin Affan hingga sekarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. SEJARAH
KODIFIKASI AL-QUR’AN
A. Pengertian Pengumpulan/Kodifikasi
Qur’an
Kata
‘penghimpunan/kodifikasi’ Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) terkadang
dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan dalam dada” (penghafalan), dan
terkadang dimaksudkan sebagai “penulisan keseluruhannya, huruf demi huruf, kata
demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat (penulisan). Yang kedua ini
medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya,
sedangkan yang pertama medianya adalah hati dan dada.
Selanjutnya,
penghimpunan Al-Qur’an dalam pengertian “penulisannya” berlangsung tiga kali.
Pertama pada masa Rasulullah SAW. Kedua pada masa ke khalifahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq, dan ketiga pada masa ke-khalifahan Utsman bin Affan. Pada yang
terakhir inilah dilakukan penyalinan menjadi beberapa mushaf dan dikirim ke
berbagai daerah.
Dari
paparan di atas telah kita maklumi bersama bahwa Al-Qur’an sebagai Kitab Suci
kaum muslim dibukukan (dikodifikasi) hingga menjadi mushaf yang surat-surat,
ayat-ayat dan tanda bacaannya tersusun seperti yang sekarang kita gunakan,
telah melalui tahapan-tahapan dan proses yang cukup lama, diantaranya yaitu
tahap pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW, kemudian
melalui proses pembukuan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq serta
melalui proses penyempurnaan bacaan dan penggandaan Al-Qur’an yang dilakukan
pada masa menjabatnya Utsman bin Affan sebagai Khalifah.[[1]]
Dengan kata lain yang dimaksud sejarah penghimpunan
Al-Qur’an adalah penghimpunan (Jam’al-Qur’an) dalam arti menghafalnya dalam
hati (bifzuhu) maupun dalam arti penulisan secara keseluruhan (kitabuluhu
kullihi), baik dengan memisah-misahkan ayat-ayatnya dan surah-surahnya, atau
menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran
terpisah, ataupun yang menerbutkan ayat- ayat dan surat-suratnya dalam
lembaran-lembaran yang terkumpul menghimpun semua surat.[[2]]
1.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
Periode pertama penghimpunan
al-Qur’an terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pada periode setiap kali sebuah
ayat turun langsung dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati karena Nabi
Muhammad SAW dan umatnya merupakan orang yang ummi.
Masa itu para sahabat dikenal
memiliki daya ingat yang kuat dan hafalan yang cepat. Sehingga pada masa itu
banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an diantaranya keempat Khulafaur Rasyidin,
Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin
Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, dan lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an ketika itu tidak
dihimpun dalam satu mushaf, tetapi ditulis pada sarana yang mudah didapat
seperti pelepah korma, bata-bata tipis, lembaran dari kulit, pecahan batu dan
sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut disimpan dirumah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah
mengangkat beberapa sahabat untuk menulis, agar setiap wahyu turun langsung
dapat ditulis dan bisa dijadikan dokumentasi. Mereka adalah Abu Bakar, Usman,
Umar, Ali, Muawiyah, Abban ibn Sa’id, Khalid ibn al-Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Tsabit ibn Qais dan lain lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan
Al-Qur’an belum dihimpun pada masa Nabi SAW yaitu:
a.
Faktor-faktor
yang mendukung penulisan belum muncul.
b.
Nabi SAW
masih menunggu kemungkinan penaskhan beberapa ayat dari Allah SWT.
c.
Al-Qur’an
turunya bertahap.
d.
Urutan ayat
Ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan urutan turunnya.
Sedangkan faktor yang mendorong
penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
a.
Mem-back up hafalan yang telah
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
b.
Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena
bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak
cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun
penulisan akan tetap terpelihara walaupun
pada masa Nabi, Al-Quran tidak
ditulis di tempat tertentu.[[3]]
2.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar.
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan
beberapa naskah catatan Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a
terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip
Al-Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada
turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).[[4]]
Karena pada masa itu banyak terjadi peperangan dan
menyebabkan banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal di medan perang.[[5]]
Peperangan melawan kaum murtad (Musailamah al-Kadzdzab dan
pengikutnya) di Yamamah[[6]]
mengakibatkan 70 huffâzh gugur.[[7]]
Tragedi itu mendorong Umar bin Khathab untuk mengusulkan agar al-Qur’an segera
dikumpulkan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Abu Bakar menyetujui usul
Umar dengan memberi mandat kepada Zaid bin Tsabit untuk mengemban tugas
tersebut. Kisah ini kemudian diceritakan secara panjang lebar oleh Imam Bukhari
dalam Kitab Shahîhnya.[[8]]
Abu Bakar mengutus Zaid bin
Tsabit untuk mengumpulkan Al-Qur’an, karena Zaid merupakan penghafal Al-Qur’an
dan penulis wahyu Rasulullah, Ia juga cerdas, jujur, dan sangat teguh memegang
prinsip agama.
Dalam
menghimpun Al-Qur’an Zaid sangat teliti dan hati-hati, Ia menggunakan
hafalannya sendiri dan hafalan para sahabat serta tulisannya yang pernah
ditulis dihadapan Nabi SAW. Kemudian ayat-ayat Al-Qur’an yang telah selesai
dihimpun diserahkan kepada Abu Bakar.[[9]]
Meski sempat merasa keberatan dengan tugas ini,[[10]]
Zaid tetap menyanggupi instruksi dari Abu Bakar. Sebenarnya ia bisa
menuliskannya berdasarkan hafalannya sendiri dan catatan-catatan yang ia
punyai. Tapi, demi validitas data yang lebih akurat, ia menerapkan kualifikasi
yang sangat ketat dalam merealisasikan program ini. Ia tidak menerima satu teks
pun kecuali jika memenuhi 3 syarat: sesuai dengan hafalan para sahabat, ditulis
di hadapan Nabi dan menyertakan dua orang saksi yang adil.
Di tengah proses kompilasi fragmen-fragmen al-Qur’an, Zaid
merasa janggal karena tidak menemukan manuskrip dua ayat terakhir surat
al-Taubah kecuali milik Abu Khuzaimah. Padahal ia mensyaratkan harus ada dua
saksi yang adil. Tapi kemudian ia teringat bahwa Nabi sendiri telah memberi
pengakuan bahwa kesaksian Abu Khuzaimah sudah setara dengan kesaksian dua
orang. Selain itu, ayat yang dibawanya sudah diakui ke-mutawattir-annya
oleh para sahabat yang hafal al-Qur’an.[[11]]
Setelah seluruh ayat dinyatakan lengkap, perkamen-perkamen
manuskrip yang telah terkumpul tersebut kemudian dijilid menjadi satu dan
disimpan di kediaman Abu Bakar. Al-Qur’an yang terkumpul ini sudah mencakup al-ahruf
al-sab’ah[[12]] sebagaimana
yang diturunkan kepada Nabi SAW. Mushaf Abu Bakar tidak lagi memuat ayat-ayat
yang telah dinaskh dan juga catatan tafsir yang ditulis beberapa
sahabat. Urutan ayat dan suratnya pun sudah disesuaikan dengan petunjuk Nabi,
bukan urutan nuzulnya. Mushaf Abu Bakar ini telah diakui keafsohan dan
kevalidannya oleh para sahabat.
3.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Ustman Bin Affan.
Penulisan Al-Qur'an pada masa
'Utsman (25H) adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan
yang beredar di masyarakat saat itu. Seorang sahabat yang bernama Hudzaifah
mengusulkan untuk menulis kembali Al-Qur'an agar menyeragamkan bacaan
Al-Qur'an. Utsman menerima usulan itu kemudian membentuk tim penulis Al-Qur'an
yang terdiri dari 4 orang, yaitu Zaid bin Tsabit saebagai ketua tim, Sa'id bin
Al-'Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits.
Tim penulis ini berhasil menyalin
shuhuf dari Hafshah dalam beberapa jumlah (25H) untuk dikirim ke beberapa
daerah Islam untuk dijadikan standar bagi sealuruh umat Islam. Menurut sebagian
pendapat ada lima mushaf standar selain di tangan Khalifah yang dikirim ke
beberapa kota, yakni ke kota Mekkah, Damaskus, Kuffah, Bashrah dan Madinah.
Kemudian diinstrusikan bahwa semua shuhuf dan mushaf Al-Qur'an selain Mushaf
Utsman yang berbeda segera dibakar atau dimusnahkan. Semua umat Islam menyambut
baik dan mematuhi instruksi ini. Setelah tim selesai menyalin Al-Qur'an, shuhuf
Hafsah dikembalikan kepada Hafsah.[[13]]
Yang membedakan antara kedua jenis penghimpunan periode dua
dan tiga adalah:
a.
Tujuan
penghimpunan pada masa Abu Bakar merangkul seluruh Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar tidak ada yang hilang sedikitpun, tapi tidak mengharuskan umat islam atas
satu mushaf, karena belum tampak pengaruh perbedaan qiro’at yang bisa
menimbulkan perpecahan.
b.
Sementara
tujuan penghimpunan Al Qur’an pada masa ustman adalah menyatukan Al-Qur’an
seluruhnya pada satu mushaf, melihat kekawatiran pertentangan qiro’at
dikalangan umat islam yang bisa memecah-belah mereka.
Dengan upaya
Ustman bin Affan ini, tampak kemaslahatan umum. Kaum muslimin lebih terealisir
ketika mereka dapat bersatu di bawah satu kalimat dan perpecahan serta
permusuhan dapat dielakan.[[14]]
4.
Pengumpulan Al-Qur’an Pasca Ustman Bin Affan.
·
Periode memperindah tulisan.
Tulisan yang digunakan pada abad ke tujuh Masehi yaitu pada
masa Rosul adalah hanya terdiri dari simbol dasar yang hanya melukiskan
struktur konsonan dari saebuah katadan bahkan searing mengandung kekaburan.
Pada masa pearmulaan Islam seluruh huruf biasanya dituliskan daengan cara yang
amat sederhana yaitu dalam bentuk garis lurus tanpa titik dan tanpa baris.
Manuskrip Al-Qur'an dari generasi pertama dan pada naskah
Arab pada umumnya tidak memiliki tanda bunyi (tasykil, harakat) dan tanda
diaktris (a'jam = tanda huruf dalam bentuk titik). Hal ini baru diperkenalkan
atau dimasukkan ke dalam penulisan Al-Qur'an pada masa pemerintahan Bani
Umayyah yang ke lima yaitu Abdul Malik bin Maraawan (66-86 H/685-705M) dan juga
pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hallaj di Irak, yaitu ketika semakin banyak
orang yang ingin mempelajari Al-Qur'an terutama dari yang tidak berlatar
belakang budaya Arab. diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan
tanda titik (a'jam) ke dalam naskah Al-Qur'an adalah seorang tabi'in yaitu Abul
Aswad Al-Du'ali. Kemudian perbaikan diikuti oleh Al-Hasan Al-Bashri, Yhya bin
Ya'mar dan Nashar bin 'Ashim Al-Laytsi.
·
Periode Pencetakan Al-Qur'an.
Sejak abad XVI M ketika mesin caetak
dari tipe yang dapat digerakkan mulai dipergunakan pertama kali di Eropa dan
kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia, pola pencetakkan Al-Qur'an mulai
dibakukan. Memang pernah ada pada masa sebelumnya, Al-Qur'an dicetak dengan
yang biasa disebut blockprint dan juga beberapa bagian awal abad X baik dalam
bentuk ukiran kayu maupun dalam bentuk lembaran.Al-Qur'an yang pertama kali
dicaetak dengan mesin yang dapat digerakkan atau dipindah-pindahkan tersebut
dibuat di Hamburg Jerman pada 1694 atau pada abad ke XII H.
Naskahnya dilengkapi dengan tanda baca. Adapun naskah
Al-Qur'an yang dicetak umat Islam pertama kali adalah yang disebut deangan
"edisi Mulay Utsman" yang diceatak pada tahun 1787, diterbitkan di
St. Petersburg, rusia.
Kemudian diikuti yang lain seperti berasal dari Kazan 1828,
Persia 1833 dan Istanbul 1877. Naskah Al-Qur'an yang tercetak sebagai standar
masa kini dan dipergunakan oleh umat Islam du dunia Islam adalah edisi Mesir
atau yang dikenal juga edisi Raja Fu'ad, karena beliaulah yang
memperkenalkannya di Mesir. Edisi ini dituliskan berdasar cara bacaan Imam
Hafash seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ashim dan dicaetak pertama kali pada
tahun 1925 M/1344 H. Naskah cetakan inilah yang kemudian tersebar ke seluruh
penjuru dunia Islam karena Mesir pada waktu itu pearnah menjadi pusat informasi
dunia Islam hingga sekarang. Para ulama dalam menyikapi Al-Qur'an yang ditulis
tim Utsman atau yang disebut khath Utsmani ada 3 pendapat :
1. Tidak
boleh menyalin Al-Qur'an yang menyalahi khath Utsmani baik dalam menulis waw,
alif dan ya.
2. Dibolehkan
menyalahi tau tidak sesuai khoth Utsmani, karena tulisan Al-Qur'an tidak
tauqifi (tidak ditetapkan Rosul).
3. Dibolehkan
menulis Al-Qur'an untuk umum menurut istilah-istilah yang dikenal dan tidak
diharuskan menulis model lama karena dikhawatirkan meragukan mereka. Tetapi
harus ada yang memelihara tulisan lama sebagai bukti dokumentasi.
Dari tiga pendapat di atas yang paling berhati-hati adalah
pendapat yang pertama, yakni harus konsisten mengikuti khoth Utsmani demi
keseragaman dan pemeliharaan Al-Qur'an dari kesalahan, kekurangan dan
kelebihan.[[15]]
·
Periode Awal munculnya Tanda Baca
Dan Harkat.
Sangat disayangkan kalau masih ada
orang islam di jaman sekarang yang belum bisa membaca Al-qur’an. Jawaban yang
paling rasional adalah dia tidak mau atau tidak minat belajar, padahal
Al-Qur’an sudah hadir sejak kita lahir, pun begitu banyak orang yang bersedia
mengajarkan baca-tulis Al-Qur’an, subhaanallah.
Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca
Al-Qur’an andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab
yang belum ada tanda bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur
Rasyidin. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah
(baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma
(tanda baca) saja tidak ada.
Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada
di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa
mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf
ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak
mengetahui terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat
teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah
dalam membaca Al-Qur’an. Semua itu tentunya karena adanya peran dari sahabat
Rasul, tabin, dan tabiit tabiin.
Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat
(baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan
kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada
syakal. Pemberian titik dan baris pada mushaf Al-Qur’an ini dilakukan dalam
tiga fase.
1.
Pada zaman
Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad
Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk
titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2.
Pada masa
Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan
salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan
titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf ba’
dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan
tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin
‘Ashim dan Hay bin Ya’mar. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini,
wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena
kekhawatiran adanya bacaan Al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab,
diperintahkanlah untuk menuliskan Al-Qur’an dengan tambahan tanda baca
tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Al-Qur’an baik bagi umat
Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
3.
Baru
kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris
berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat
Islam dalam membaca Al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara
pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang
ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin
Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada
kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para
ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan
menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan
tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Sebagaimana mereka
juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor
ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca),
menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan
Al-Qur’an adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya,
berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan
isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu
sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di
seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka
mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa
umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Al-Qur’an.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW tidak begitu
banyak mendapatkan masalah, karena setiap kali Rasulullah mendapatkan wahyu,
para sahabat yang telah ditunjuk (di antaranya Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin
Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal) langsung
menghafal dan menulisnya pada kulit binatang, pelapah kurma, lempengan batu,
ataupun pada tulang-tulang binatang.
Pada saat peperangan Yamamah sekitar 70 orang penghafal
gugur, selain itu banyak peperangan lain yang juga banyak memakan korban dari
pihak muslim dan sebagian penghafal Al-Qur’an, atas dasar itu dan juga atas
saran Umar bin Khattab, Abu Bakar memutuskan untuk mengumpulkan ayat-ayat
al-Qur’an yang masih tercecer ke dalam satu mushaf.
Karena banyak terdapat perbedaan qira’at pada masa
Pemerintahan Usman bin Affan, ia kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan
mushaf-mushaf dari seluruh negeri dan melakukan sedikit melakukan perubahan
yaitu dengan menggantinya dengan bahasa Arab Quraisy, karena bagaimanapun juga
Al-Qur’an kebetulan turun pada kaum muslim Quraisy. Langkah ini diambil guna
menyamakan qiraah, dan keputusan tersebut diterima dan disambut baik oleh kaum
muslimin pada waktu itu.
Mushaf-mushaf yang qiraatnya berbeda tersebut dimusnahkan
oleh Usman dan menggandakan mushaf yang telah diperbaharui tersebut menjadi 6
dan disebarkan ke Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman, dan satu mushaf lagi
disimpan oleh Usman yang kemudian belakangan disebut sebagai Mushaf Al-Imam.
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .