Tuesday, January 16, 2018

Makalah sejarah kodifikasi Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Al-Qur’an sebagaimana yang dimiliki ummat Islam sekarang ternyata mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan upaya penulisan dan pembukuan (kodifikasi). Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke dalam satu mushaf. Al-Qur’an baru ditulis dalam menggunakan kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma dan batu-batu, sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis, seperti kertas dan pensil.
Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan. Al-Qur’an ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan. Dalam makalah ini penulis akan menggambarkan sejarah kodifikasi/pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW dan setelah beliau wafat, baik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Utsman bin Affan, termasuk kendala-kendala atau permasalahan yang muncul dalam proses penyusunan maupun setelah pengumpulan Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimana sejarah kodifikasi Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW?
2.        Bagaimana sejarah kodifikasi Al-Qur’an ditinjau dari proses pengumpulan dan pembukuan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Utsman bin Affan?
C.     Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan Makalah ini adalah Agar kita kaum muslimin dapat mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Usman bin Affan hingga sekarang.


BAB II
PEMBAHASAN

1.     SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN

A.     Pengertian Pengumpulan/Kodifikasi Qur’an
Kata ‘penghimpunan/kodifikasi’ Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) terkadang dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan dalam dada” (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai “penulisan keseluruhannya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya, sedangkan yang pertama medianya adalah hati dan dada.
Selanjutnya, penghimpunan Al-Qur’an dalam pengertian “penulisannya” berlangsung tiga kali. Pertama pada masa Rasulullah SAW. Kedua pada masa ke khalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan ketiga pada masa ke-khalifahan Utsman bin Affan. Pada yang terakhir inilah dilakukan penyalinan menjadi beberapa mushaf dan dikirim ke berbagai daerah.
Dari paparan di atas telah kita maklumi bersama bahwa Al-Qur’an sebagai Kitab Suci kaum muslim dibukukan (dikodifikasi) hingga menjadi mushaf yang surat-surat, ayat-ayat dan tanda bacaannya tersusun seperti yang sekarang kita gunakan, telah melalui tahapan-tahapan dan proses yang cukup lama, diantaranya yaitu tahap pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW, kemudian melalui proses pembukuan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq serta melalui proses penyempurnaan bacaan dan penggandaan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa menjabatnya Utsman bin Affan sebagai Khalifah.[[1]]
Dengan kata lain yang dimaksud sejarah penghimpunan Al-Qur’an adalah penghimpunan (Jam’al-Qur’an) dalam arti menghafalnya dalam hati (bifzuhu) maupun dalam arti penulisan secara keseluruhan (kitabuluhu kullihi), baik dengan memisah-misahkan ayat-ayatnya dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran terpisah, ataupun yang menerbutkan ayat- ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul menghimpun semua surat.[[2]]
1.      Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
Periode pertama penghimpunan al-Qur’an terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pada periode setiap kali sebuah ayat turun langsung dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati karena Nabi Muhammad SAW dan umatnya merupakan orang yang ummi.
Masa itu para sahabat dikenal memiliki daya ingat yang kuat dan hafalan yang cepat. Sehingga pada masa itu banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an diantaranya keempat Khulafaur Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, dan lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an ketika itu tidak dihimpun dalam satu mushaf, tetapi ditulis pada sarana yang mudah didapat seperti pelepah korma, bata-bata tipis, lembaran dari kulit, pecahan batu dan sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut disimpan dirumah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menulis, agar setiap wahyu turun langsung dapat ditulis dan bisa dijadikan dokumentasi. Mereka adalah Abu Bakar, Usman, Umar, Ali, Muawiyah, Abban ibn Sa’id, Khalid ibn al-Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit ibn Qais dan lain lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan Al-Qur’an belum dihimpun pada masa Nabi SAW yaitu:
a.         Faktor-faktor yang mendukung penulisan belum muncul.
b.        Nabi SAW masih menunggu kemungkinan penaskhan beberapa ayat dari Allah SWT.
c.         Al-Qur’an turunya bertahap.
d.        Urutan ayat Ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan urutan turunnya.
Sedangkan  faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
a.         Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
b.         Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun penulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran tidak ditulis di tempat tertentu.[[3]]

2.      Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar.
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).[[4]] Karena pada masa itu banyak terjadi peperangan dan menyebabkan banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal di medan perang.[[5]]
Peperangan melawan kaum murtad (Musailamah al-Kadzdzab dan pengikutnya) di Yamamah[[6]] mengakibatkan 70 huffâzh gugur.[[7]] Tragedi itu mendorong Umar bin Khathab untuk mengusulkan agar al-Qur’an segera dikumpulkan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Abu Bakar menyetujui usul Umar dengan memberi mandat kepada Zaid bin Tsabit untuk mengemban tugas tersebut. Kisah ini kemudian diceritakan secara panjang lebar oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahîhnya.[[8]]
Abu Bakar  mengutus Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Qur’an, karena Zaid merupakan penghafal Al-Qur’an dan penulis wahyu Rasulullah, Ia juga cerdas, jujur, dan sangat teguh memegang prinsip agama. Dalam  menghimpun Al-Qur’an Zaid sangat teliti dan hati-hati, Ia menggunakan hafalannya sendiri dan hafalan para sahabat serta tulisannya yang pernah ditulis dihadapan Nabi SAW. Kemudian ayat-ayat Al-Qur’an yang telah selesai dihimpun diserahkan kepada Abu Bakar.[[9]]
Meski sempat merasa keberatan dengan tugas ini,[[10]] Zaid tetap menyanggupi instruksi dari Abu Bakar. Sebenarnya ia bisa menuliskannya berdasarkan hafalannya sendiri dan catatan-catatan yang ia punyai. Tapi, demi validitas data yang lebih akurat, ia menerapkan kualifikasi yang sangat ketat dalam merealisasikan program ini. Ia tidak menerima satu teks pun kecuali jika memenuhi 3 syarat: sesuai dengan hafalan para sahabat, ditulis di hadapan Nabi dan menyertakan dua orang saksi yang adil.
Di tengah proses kompilasi fragmen-fragmen al-Qur’an, Zaid merasa janggal karena tidak menemukan manuskrip dua ayat terakhir surat al-Taubah kecuali milik Abu Khuzaimah. Padahal ia mensyaratkan harus ada dua saksi yang adil. Tapi kemudian ia teringat bahwa Nabi sendiri telah memberi pengakuan bahwa kesaksian Abu Khuzaimah sudah setara dengan kesaksian dua orang. Selain itu, ayat yang dibawanya sudah diakui ke-mutawattir-annya oleh para sahabat yang hafal al-Qur’an.[[11]]
Setelah seluruh ayat dinyatakan lengkap, perkamen-perkamen manuskrip yang telah terkumpul tersebut kemudian dijilid menjadi satu dan disimpan di kediaman Abu Bakar. Al-Qur’an yang terkumpul ini sudah mencakup al-ahruf al-sab’ah[[12]] sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi SAW. Mushaf Abu Bakar tidak lagi memuat ayat-ayat yang telah dinaskh dan juga catatan tafsir yang ditulis beberapa sahabat. Urutan ayat dan suratnya pun sudah disesuaikan dengan petunjuk Nabi, bukan urutan nuzulnya. Mushaf Abu Bakar ini telah diakui keafsohan dan kevalidannya oleh para sahabat.
3.      Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Ustman Bin Affan.
Penulisan Al-Qur'an pada masa 'Utsman (25H) adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Seorang sahabat yang bernama Hudzaifah mengusulkan untuk menulis kembali Al-Qur'an agar menyeragamkan bacaan Al-Qur'an. Utsman menerima usulan itu kemudian membentuk tim penulis Al-Qur'an yang terdiri dari 4 orang, yaitu Zaid bin Tsabit saebagai ketua tim, Sa'id bin Al-'Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits.
Tim penulis ini berhasil menyalin shuhuf dari Hafshah dalam beberapa jumlah (25H) untuk dikirim ke beberapa daerah Islam untuk dijadikan standar bagi sealuruh umat Islam. Menurut sebagian pendapat ada lima mushaf standar selain di tangan Khalifah yang dikirim ke beberapa kota, yakni ke kota Mekkah, Damaskus, Kuffah, Bashrah dan Madinah. Kemudian diinstrusikan bahwa semua shuhuf dan mushaf Al-Qur'an selain Mushaf Utsman yang berbeda segera dibakar atau dimusnahkan. Semua umat Islam menyambut baik dan mematuhi instruksi ini. Setelah tim selesai menyalin Al-Qur'an, shuhuf Hafsah dikembalikan kepada Hafsah.[[13]]

Yang membedakan antara kedua jenis penghimpunan periode dua dan tiga adalah:
a.       Tujuan penghimpunan pada masa Abu Bakar merangkul seluruh Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak ada yang hilang sedikitpun, tapi tidak mengharuskan umat islam atas satu mushaf, karena belum tampak pengaruh perbedaan qiro’at yang bisa menimbulkan perpecahan.
b.      Sementara tujuan penghimpunan Al Qur’an pada masa ustman adalah menyatukan Al-Qur’an seluruhnya pada satu mushaf, melihat kekawatiran pertentangan qiro’at dikalangan umat islam yang bisa memecah-belah mereka.
Dengan upaya Ustman bin Affan ini, tampak kemaslahatan umum. Kaum muslimin lebih terealisir ketika mereka dapat bersatu di bawah satu kalimat dan perpecahan serta permusuhan dapat dielakan.[[14]]

4.      Pengumpulan Al-Qur’an Pasca Ustman Bin Affan.

·         Periode memperindah tulisan.
Tulisan yang digunakan pada abad ke tujuh Masehi yaitu pada masa Rosul adalah hanya terdiri dari simbol dasar yang hanya melukiskan struktur konsonan dari saebuah katadan bahkan searing mengandung kekaburan. Pada masa pearmulaan Islam seluruh huruf biasanya dituliskan daengan cara yang amat sederhana yaitu dalam bentuk garis lurus tanpa titik dan tanpa baris.
Manuskrip Al-Qur'an dari generasi pertama dan pada naskah Arab pada umumnya tidak memiliki tanda bunyi (tasykil, harakat) dan tanda diaktris (a'jam = tanda huruf dalam bentuk titik). Hal ini baru diperkenalkan atau dimasukkan ke dalam penulisan Al-Qur'an pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang ke lima yaitu Abdul Malik bin Maraawan (66-86 H/685-705M) dan juga pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hallaj di Irak, yaitu ketika semakin banyak orang yang ingin mempelajari Al-Qur'an terutama dari yang tidak berlatar belakang budaya Arab. diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan tanda titik (a'jam) ke dalam naskah Al-Qur'an adalah seorang tabi'in yaitu Abul Aswad Al-Du'ali. Kemudian perbaikan diikuti oleh Al-Hasan Al-Bashri, Yhya bin Ya'mar dan Nashar bin 'Ashim Al-Laytsi.

·         Periode Pencetakan Al-Qur'an.
Sejak abad XVI M ketika mesin caetak dari tipe yang dapat digerakkan mulai dipergunakan pertama kali di Eropa dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia, pola pencetakkan Al-Qur'an mulai dibakukan. Memang pernah ada pada masa sebelumnya, Al-Qur'an dicetak dengan yang biasa disebut blockprint dan juga beberapa bagian awal abad X baik dalam bentuk ukiran kayu maupun dalam bentuk lembaran.Al-Qur'an yang pertama kali dicaetak dengan mesin yang dapat digerakkan atau dipindah-pindahkan tersebut dibuat di Hamburg Jerman pada 1694 atau pada abad ke XII H.
Naskahnya dilengkapi dengan tanda baca. Adapun naskah Al-Qur'an yang dicetak umat Islam pertama kali adalah yang disebut deangan "edisi Mulay Utsman" yang diceatak pada tahun 1787, diterbitkan di St. Petersburg, rusia.
Kemudian diikuti yang lain seperti berasal dari Kazan 1828, Persia 1833 dan Istanbul 1877. Naskah Al-Qur'an yang tercetak sebagai standar masa kini dan dipergunakan oleh umat Islam du dunia Islam adalah edisi Mesir atau yang dikenal juga edisi Raja Fu'ad, karena beliaulah yang memperkenalkannya di Mesir. Edisi ini dituliskan berdasar cara bacaan Imam Hafash seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ashim dan dicaetak pertama kali pada tahun 1925 M/1344 H. Naskah cetakan inilah yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam karena Mesir pada waktu itu pearnah menjadi pusat informasi dunia Islam hingga sekarang. Para ulama dalam menyikapi Al-Qur'an yang ditulis tim Utsman atau yang disebut khath Utsmani ada 3 pendapat :
1.      Tidak boleh menyalin Al-Qur'an yang menyalahi khath Utsmani baik dalam menulis waw, alif dan ya.
2.      Dibolehkan menyalahi tau tidak sesuai khoth Utsmani, karena tulisan Al-Qur'an tidak tauqifi (tidak ditetapkan Rosul).
3.      Dibolehkan menulis Al-Qur'an untuk umum menurut istilah-istilah yang dikenal dan tidak diharuskan menulis model lama karena dikhawatirkan meragukan mereka. Tetapi harus ada yang memelihara tulisan lama sebagai bukti dokumentasi.
Dari tiga pendapat di atas yang paling berhati-hati adalah pendapat yang pertama, yakni harus konsisten mengikuti khoth Utsmani demi keseragaman dan pemeliharaan Al-Qur'an dari kesalahan, kekurangan dan kelebihan.[[15]]

·         Periode Awal munculnya Tanda Baca Dan Harkat.
Sangat disayangkan kalau masih ada orang islam di jaman sekarang yang belum bisa membaca Al-qur’an. Jawaban yang paling rasional adalah dia tidak mau atau tidak minat  belajar, padahal Al-Qur’an sudah hadir sejak kita lahir, pun begitu banyak orang yang bersedia mengajarkan baca-tulis Al-Qur’an, subhaanallah.
Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Al-Qur’an andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada.
Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Al-Qur’an. Semua itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit tabiin.
Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal. Pemberian titik dan baris pada mushaf Al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase.
1.      Pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2.      Pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf ba’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Al-Qur’an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
3.      Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
 Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Al-Qur’an.












BAB III
PENUTUP

A.                     Kesimpulan
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW tidak begitu banyak mendapatkan masalah, karena setiap kali Rasulullah mendapatkan wahyu, para sahabat yang telah ditunjuk (di antaranya Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal) langsung menghafal dan menulisnya pada kulit binatang, pelapah kurma, lempengan batu, ataupun pada tulang-tulang binatang.
Pada saat peperangan Yamamah sekitar 70 orang penghafal gugur, selain itu banyak peperangan lain yang juga banyak memakan korban dari pihak muslim dan sebagian penghafal Al-Qur’an, atas dasar itu dan juga atas saran Umar bin Khattab, Abu Bakar memutuskan untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang masih tercecer ke dalam satu mushaf.
Karena banyak terdapat perbedaan qira’at pada masa Pemerintahan Usman bin Affan, ia kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan mushaf-mushaf dari seluruh negeri dan melakukan sedikit melakukan perubahan yaitu dengan menggantinya dengan bahasa Arab Quraisy, karena bagaimanapun juga Al-Qur’an kebetulan turun pada kaum muslim Quraisy. Langkah ini diambil guna menyamakan qiraah, dan keputusan tersebut diterima dan disambut baik oleh kaum muslimin pada waktu itu.
Mushaf-mushaf yang qiraatnya berbeda tersebut dimusnahkan oleh Usman dan menggandakan mushaf yang telah diperbaharui tersebut menjadi 6 dan disebarkan ke Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman, dan satu mushaf lagi disimpan oleh Usman yang kemudian belakangan disebut sebagai Mushaf Al-Imam.



[[1]]https://badjangsasak.wordpress.com/2009/11/03/k odifikasi-alquran-dan-sejarahnya/
[[2]] Mabahits fi ulum al-Qur’an: Manna’ Khalil al-qattan, 2001, hal.118-119.
[[3]] http://imrocemprutz.blogspot.co.id/2012/12/makalah-sejarah-penghimpunan-al-quran.html
[[5]] http://imrocemprutz.blogspot.co.id/2012/12/makalah-sejarah-penghimpunan-al-quran.html
[[6]] Al-Qaul al-Daqîq fî Sîrah wa ‘Ashr al-Shiddîq, Muassasah al-Risalah Kairo: Ahmad Ahmad Ghalusy, 2007  hal. 405
[[7]] Al-Mausû’ah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshashah, Kairo: Majelis A’la,. 2009 hal. 205
[[8]]  https://danadahlani.wordpress.com/2015/04/05/periodisasi-kodifikasi-al-quran-dari-zaman-nabi-hingga-era-globalisasi/
[[9]]http://imrocemprutz.blogspot.co.id/2012/12/makalah-sejarah-penghimpunan-al-quran.html
[[10]]Ibid, hal. 622 no. 4986
[[11]]Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-hadîts, Kairo: Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, 2006 hal. 164
[[12]]Menyambung Laju Peradaban, Kumpulan Esai Mahasiswa Indonesia di Mesir, Kairo: Informatika, 2012
[[13]]http://ijansuryadi.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-perkembangan-al-quran.html
[[14]]http://imrocemprutz.blogspot.co.id/2012/12/makalah-sejarah-penghimpunan-al-quran.html
[[15]]http://ijansuryadi.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-perkembangan-al-quran.html

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .