Tuesday, January 16, 2018

Makalah Tafsir Al-Qur'an




KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Tafsir, sejarah perkembangan tafsir, metode, dan corak penafsiran al-Quran” yang telah kami susun berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber agar dapat mempermudah pembaca untuk memahami isi makalah ini.
Dalam menyelesaikan Makalah ini tentunya kami mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah yang telah kami susun ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembacanya, untuk kedepannya dapat memperbaiki maupun menambah isi makalah menjadi lebih baik. Karena Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik segi susunan kalimat, tata bahasa maupun pengetahuan kami dalam makalah ini.






Cirebon, Januari 2018

Penyusun








 

DAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN

 

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian dari Tafsir?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan tafsir?
3.      Apa saja metode-metode dalam menafsirkan al-Quran?
4.      Apa saja corak penafsiran al-Quran?

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
Untuk menambah wawasan tentang tafsir al-Quran, sejarah perkembangan tafsir al-Quran, metode dalam menafsirkan al-Quran, dan juga dapat mengetahui apa saja corak atau jenis-jenis dalam penafsiran al-Quran.










BAB II

PEMBAHASAN


Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf‟il” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya megikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan “nashara-yanshuru”. “Dikatakan “fasara asy-syai‟a-yafsiru” dan “yafsuru,fasran,” dan “fassarahu,” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir” berarti menyingkap maksud suatu lafazh yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
“Tiadaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar-benar dan paling baik tafsir-nya.” (Al-Furqan: 33)
Yaitu penjelasan dan perinciannya. Sebagian ulama berpendapat, kata “tafsir” adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata “safara” yang juga memiliki makna menyingkap (al-kasyf), dikatakan: Safarat al-mar’atu sufura, apabila perempuan itu menyingkap cadar dari wajahnya. Dan kata asfara ash shubhu: artinya menyinari dan terang. Pembentukan kata “al-fasr” menjadi bentuk “taf‟il” (yakni, tafsir) untuk menunjukkan arti taksir (banyak, sering berbuat).Misalnya firman Allah:
يُذَبِّحُوْانَ أَبْنَاءَكُمْ
“Mereka banyak menyembelih anak-anak laki-laki kamu.” (Al-Baqarah: 49)
·         menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya adalah, "Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W yang menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti ilmu Nahwutashrifbayanushul fiqihqiraatasbabun nuzul, dan nasikh mansukh.
·         Adapun menurut Az-Zarqani, "Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur'an dengan menyingkap maknanya (dilalah), dengan maksud yang diinginkan Allah SWT, sebatas kemampuan manusia." Definisi ini lebih ringkas daripada definisi di atas.
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada nabi S.A.W, berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata.
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah S.A.W masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah S.A.W.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Alquran antara lain empat khalifahIbnu Mas'udIbnu AbbasUbay bin Ka'abZaid bin TsabitAbu Musa al-Asy’ariAbdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Alquran yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu
·         Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn JabirAtha bin Abi RabahIkrimah Maula Ibn AbbasThaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir,
·         Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka'ab dengan murid-murid Muhammad bin Ka'ab al-QurazhiAbu al-Aliyah ar-Riyahidan Zaid bin Aslam, dan
·         Irak dengan madrasah Ibnu Mas'ud dengan murid-murid Hasan al-BashriMasruq ibn al-AjdaQatadah bin Da'amahAtah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu MajahIbnu Jarir ath-ThabariAbu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawufmelahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.

B.1. Perkembangan

Ilmu tafsir Alquran terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Alquran dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Alquran maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Alquran. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.
Yang  dimaksud  dengan  sumber  tafsir  al-Qur’an  ini  adalah referensi  yang  dijadikan  rujukan  oleh  para  mufasir  dalam menafsirkan  al-Qur’an,  seperti  al-Qur’an,  as-Sunnah,  pandagan ulama’  salaf  dan  lain-lain.  Ini  berbeda  dengan  pandangan  hidup  atau tendensi kemazhaban yang dimilikinya.
Al-Qur’an merupakan sumber terbaik dan paling sahih untuk menafsirkan  al-Qur’an.  Karena  itu,   jika  kita  hendak  mengetahui makna  ayat,  maka  pertama  kali  hendaknya  kita  mencari  makna  yang telah  dijelaskan  oleh  al-Qur’an  itu  sendiri.  Sebagaimana  telah dijelaskan  sebelumnya,  bahwa  teks  al-Qur’an  kadang  berbentuk Mujmal dalam satu kasus, lalu dijelaskan, baik secara terpisah maupun tidak, dengan nas al-Qur’an.
Sebagai  contoh,  jika  kita  hendak  menafsirkan  satu  ayat  al-Qur’an,  maka  kita  harus mengumpulkan  ayat-ayat  yang  mempunyai lafadz dan makna yang sama, seperti:

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
“Tunjukilah  kami  jalan  yang  lurus,  jalan  orang-orang  yang  Engkau beri nikmat.” (Q.s. al-Fâtihah: 6)
Yang kemudian ditafsirkan dengan firman Allah:
`tBur ÆìÏÜム©!$# tAqߧ9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã z`ÏiB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# tûüÉ)ƒÏdÅ_Á9$#ur Ïä!#ypk9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu ÇÏÒÈ  
“Dan  barangsiapa  yang  menta`ati  Allah dan  Rasul  (Nya),  mereka  itu akan  bersama-sama  dengan  orang-orang  yang  dianugerahi  ni`mat  oleh Allah, yaitu:  Nabi-nabi,  para shiddîqîn,  orang-orang  yang  mati  syahid dan  orang-orang  saleh.  Dan  mereka  itulah  teman  yang  sebaik- baiknya.” (Q.s. an-Nisâ’: 69).
Surat  al-Fâtihah ayat  6,  telah  menjelaskan  maksud  as-shirâth  al-mustaqîm (jalan  yang  lurus),  yang  dijelaskan  dengan:  shirâth  al-ladzîna  an’amta  ‘alayhim  (jalan  orang-orang  yang  Engkau  beri  nikmat).  Hanya  siapa orang-orang  yang  diberi  nikmat  oleh  Allah  itu?  Ini  masih  perlu penjelasan,  termasuk  bagaimana  supaya  jalan  mereka  bisa  dirambah? Maka,  surat  an-Nisâ’ ayat  69  menjelaskan,  bahwa  mereka  adalah:  para Nabi,  orang  yang  jujur,  syuhada’,  dan  orang-orang  shalih.  Mana indikasi yang menunjukkan,  bahwa  ayat ini merupakan  tafsir  surat  al-Fâtihah ayat  6  di  atas?  Indikasi  itu  ada  pada  frasa:  al-ladzîna  an’ama- Llâh[u]  ‘alayhim.  Siapa  mereka,  dan  bagaimana  caranya?  Mereka adalah  siapa  saja  yang  taat  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya,  dimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya juga merupakan jalan lurus itu. Demikian  juga  jika  kita  menemukan  teks  umum,  mutlak, mujmal dan  lain-lain, maka bisa  ditafsirkan dengan merujuk  teks-teks khusus,  muqayyad  dan  mubayyan  yang  berfungsi  sebagai  takhshîsh, taqyîd  dan  bayân  teks-teks  tersebut.
Karena  tidak  semua  nas  al-Qur’an  dijelaskan  oleh  al-Qur’an, maka  keberadaan  as-Sunnah  menjadi  sangat  penting  sebagai  sumber kedua,  setelah  al-Qur’an,  untuk  menjelaskan  maksud  yang dikehendaki  oleh  al-Qur’an.  Misalnya,  lafadz:  as-shalât  dalam  firman Allah SWT:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ....
“Dan dirikanlah shalat.” (Q.s. al-Baqarah: 43).
Lafadz  tersebut  merupakan  lafadz  mujmal,  yang  membutuhkan penjelasan,  sementara  penjelasannya  tidak  dinyatakan  dalam  al-Qur’an, melainkan  dalam  as-Sunnah. Ketika hendak menjelaskannya, Rasul  naik  di  atas  bukit  kemudian  melakukan  shalat  hingga sempurna, lalu bersabda: 

صلو كما رئيتموني أصلي
“Dan  shalatlah  kalian,  sebagaimana  kalian  telah  melihat  aku  sedang shalat” (HR. al-Bukhâri dari Mâlik).
Dari  hadits  tersebut  diperoleh  penjelasan  yang  detail  dan  sistematis mengenai  realitas  shalat  yang  diperintahkan  oleh  Allah  dalam  al-Qur’an tadi.
Selain  al-Qur’an  dan  as-Sunnah,  pandangan  sahabat  juga merupakan  salah  satu  rujukan  yang  penting  untuk  dirujuk  dalam menafsirkan  al-Qur’an.  Karena  merekalah  orang  yang  tahu  konteks turunnya  ayat,  tempat,  waktu  dan  kepada  siapa  ayat  tersebut diturunkan? Dalam hal ini, bisa dicontohkan firman Allah SWT:
Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( ....
“Dan  hendaknya  mereka  tidak  menampakkan  kecantikannya,  kecuali apa yang boleh nampak darinya.” (Q.s. an-Nûr: 31).
mâ dlahara minhâ tersebut dijelaskan oleh Ibn ‘Abbâs: 
وَجْهُهَا وَكَفَّاهَا وَالْخَاتِمُ.
“Wajahnya, kedua telapak tangannya dan  cincin.”
Yang  dimaksud  dengan  Isrâ’îliyyah  adalah,  menurut Muhammad  bin  Muhammad  Abû  Syahbah,  adalah  pengetahuan yang bersumber dari Bani Israel, kitab dan pengetahuan mereka, atau dongeng  dan  kebohongan  mereka. Namun,  yang  lebih  tepat, sebagaimana  yang  dikemukakan  oleh  ‘Ali  al-Hasan,  bahwa Isrâ’îliyyah  ini  lebih  spesifik  menunjukkan  corak  keyahudian,  sebab waktu  itu  aspek  keyahudian  tersebut  sangat  kental,  sehingga  banyak terjadi  penukilan  dari  mereka.  Karena,  waktu  itu  jumlah  mereka  juga banyak,  dan  tradisi  mereka  juga menonjol,  ketimbang  orang  Kristen. Mereka  juga  bergaul  dengan  kaum  Muslim.Dalam  konteks Isrâ’îliyyah ini bisa dibagi menjadi tiga:
1.  Isrâ’îliyyah yang sesuai dengan syariat Islam;
2.  Isrâ’îliyyah yang bertentangan dengan syariat Islam;
3.  Isrâ’îliyyah yang didiamkan oleh syariat Islam.
Mengenai  contoh  penggunaan  Isrâ’îliyyah  untuk  menafsirkan al-Qur’an,  bisa  dilihat  dalam  tafsir  at-Thabari,  ketika  menjelaskan
firman Allah:
`ÏBur ÏQöqs% #ÓyqãB ×p¨Bé& šcrßöku Èd,ptø:$$Î/ ¾ÏmÎ/ur tbqä9Ï÷ètƒ ÇÊÎÒÈ  
“Dan  di  antara  kaum  Musa  itu  terdapat  suatu  umat  yang  memberi petunjuk  (kepada  manusia)  dengan  hak  dan  dengan  yang  hak  itulah mereka menjalankan keadilan.” (Q.s. al-A’râf: 159).
Dengan  menyatakan:  Telah  sampai  kepadaku,  bahwa  Bani  Israel,  ketika mereka  membunuh  Nabi-nabi  mereka  dan  mengingkarinya,  jumlah  mereka ada  12  kabil ah.  Satu  di  antara  kal ibah  itu  telah  menyatakan  berlepas  diri dari  apa  yang  mereka  perbuat.  Mereka  keberatan  dan  memohon  kepada  Allah –‘Azza wa  jalla---  agar  menceraiberaikan  mereka.  Allah kemudian  membuka nafkah  untuk  mereka  di  bumi,  lalu  mereka  berjalan  hingga  keluar  dari belakang  Cina.  Mereka  di  sana  sebagai  orang  yang  lurus  dan  muslim, menghadap kiblat kita.
Sumber  kebahasaan  adalah  suluk  beluk  bahasa  Arab,  seperti pengetahuan  mengenai  sastera  jahiliyah,  semisal  syair,  prosa, kebiasaan  orang  Arab  dan  ekspresi  percakapan  mereka.  Inilah informasi  kebahasaaraban  (al-ma’lûmât  al-lughawiyyah)  yang  bisa menjadi  salah  satu  sumber  bagi  ahli  tafsir  digabungkan  dengan informasi  kesyariataan  (al-ma’lûmât  as-syar’iyyah)  yang  dimilikinya, seperti  berbagai  peristiwa  yang  terjadi  pada  zaman  Rasul  termasuk sebab-sebab  turunnya  ayat,  untuk  menafsirkan  al-Qur’an  dengan ijtihadnya.  Karena  itu,  sumber  ini  kadang  disebut  sumber  ijtihad, atau ra’yu. Sekedar sebagai contoh, penafsiran sahabat terhadap ayat:
øŒÎ)ur $tRõs{r& öNä3s)»sVÏB $uZ÷èsùuur ãNä3s%öqsù uqÜ9$# ....
“Dan  (ingatlah),  ketika  Kami  mengambil  janji  dari  kamu  dan  Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu.” (Q.s. al-Baqarah: 63).
Mujahid  menafsirkan  kata  at-thûr  dengan  jabal  (gunung);  Ibn  ‘Abbas menafsirkannya  gunung  itu  sendiri,  atau  nama  gunung;  yang  lain menafsirkan  gunung-gunung  yang  berserakan,  dimana  yang  tidak berserakan bukanlah at-thûr.
Adapun berkaitan  dengan  metode  yang  seharusnya  ditempuh  oleh  ahli  tafsir, sehingga mendapatkan  tafsir  ideal  sebagaimana  yang  berkembang pada  zaman  Rasul  dan  para sahabat,  bisa  dirumuskan  sebagai berikut:

Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam Alquran.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukumfiqihdalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Alquran dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Alquran, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Alquran untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
Ayat-ayat Alquran bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
·         Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
·         Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
·         Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
·         Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
·         Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
·         Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.





BAB III

PENUTUP

Tafsir adalah penjelasan atau keterangan. Begitu juga tafsir  bisa diartikan sebagai  ilmu  yang  membahas  al-Qur’an  dari  aspek penunjukannya  kepada  maksud  Allah  berdasarkan  kemampuan manusia. Dalam ilmu tafsir orang yang mempelajarinya disebut mufassir.
Untuk kesempurnaan dan perbaikan dari makalah ini maka disarankan kepada kita semua untuk memberikan tanggapan dan kritik terhadap pembahasan dalam makalah ini.

 

DAFTAR PUSTAKA


Al-Utsaimin, Muhammad Shalih (2001). Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah, editor. Ushûl fî at-Tafsîr (dalam bahasa bahasa Arab). Al-Maktabah al-Islamiyyah.

As-SuyuthiAl-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (dalam bahasa bahasa Arab). Dar al-Fikr.

Drs. Hafidz Abdurrahm an, MA . 2003. Ulumul Quran  Praktis (Pengantar untuk Memahami al­Quran). Bogor: CV IDeA Pustaka Utama.
Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. ISBN 979-95526-1-3.

muhammad nizar, M.E.I. 2016. Ulumul quran. Pasuruan: Kurnia Advertising.
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009.

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .