KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Tafsir, sejarah
perkembangan tafsir, metode, dan corak penafsiran al-Quran” yang telah kami
susun berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber agar dapat mempermudah
pembaca untuk memahami isi makalah ini.
Dalam
menyelesaikan Makalah ini tentunya kami mendapat banyak bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Semoga
makalah yang telah kami susun ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan
bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembacanya, untuk kedepannya dapat memperbaiki
maupun menambah isi makalah menjadi lebih baik. Karena Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik segi susunan kalimat, tata bahasa
maupun pengetahuan kami dalam makalah ini.
Cirebon, Januari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.
Apakah
pengertian dari Tafsir?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan tafsir?
3.
Apa saja
metode-metode dalam menafsirkan al-Quran?
4.
Apa saja corak
penafsiran al-Quran?
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
Untuk
menambah wawasan tentang tafsir al-Quran, sejarah perkembangan tafsir al-Quran,
metode dalam menafsirkan al-Quran, dan juga dapat mengetahui apa saja corak
atau jenis-jenis dalam penafsiran al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan
“taf‟il” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional.
Kata kerjanya megikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan “nashara-yanshuru”.
“Dikatakan “fasara asy-syai‟a-yafsiru” dan “yafsuru,fasran,” dan “fassarahu,”
artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: Kata
“al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir”
berarti menyingkap maksud suatu lafazh yang musykil. Dalam Al-Qur’an
dinyatakan:
Ÿwur
y7tRqè?ù'tƒ
@@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_
Èd,ysø9$$Î/
z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
“Tiadaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil,
melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar-benar dan paling baik
tafsir-nya.” (Al-Furqan: 33)
Yaitu penjelasan dan perinciannya. Sebagian
ulama berpendapat, kata “tafsir” adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari
kata “safara” yang juga memiliki makna menyingkap (al-kasyf), dikatakan:
Safarat al-mar’atu sufura, apabila perempuan itu menyingkap cadar dari
wajahnya. Dan kata asfara ash shubhu: artinya menyinari dan terang. Pembentukan
kata “al-fasr” menjadi bentuk “taf‟il” (yakni, tafsir) untuk menunjukkan arti
taksir (banyak, sering berbuat).Misalnya firman Allah:
يُذَبِّحُوْانَ أَبْنَاءَكُمْ
“Mereka banyak menyembelih anak-anak laki-laki
kamu.” (Al-Baqarah: 49)
·
menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan
fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya adalah, "Tafsir adalah ilmu untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang
menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu
bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul, dan nasikh
mansukh.

·
Adapun
menurut Az-Zarqani, "Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan
al-Qur'an dengan menyingkap maknanya (dilalah), dengan maksud yang diinginkan
Allah SWT, sebatas kemampuan manusia." Definisi ini lebih ringkas daripada
definisi di atas.
Menurut
istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah
yang diturunkan kepada nabi
, berikut
penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir
mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran
al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan
sesuatu yang diinginkan oleh kata.

Sejarah
ini diawali dengan masa Rasulullah
masih
hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat.
Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah
.


Para sahabat yang terkenal
banyak menafsirkan Alquran antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa
al-Asy’ari, Abdullah bin
Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur
dengan hadis.
Sesudah generasi
sahabat, datanglah generasi tabi’in yang
belajar Islam melalui para
sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Alquran
yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu
·
Mekkah dengan madrasah
Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha bin Abi
Rabah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn
Jabir,
·
Madinah dengan madrasah
Ubay ibn Ka'ab dengan murid-murid Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahidan Zaid bin
Aslam, dan
·
Irak dengan madrasah Ibnu Mas'ud dengan murid-murid Hasan
al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah bin
Da'amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir
masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan
dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat
yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa
sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir
sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama
sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir
ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya.
Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur.
Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut
pengembangan metodologi tafsir dengan
memasukan unsur ijtihad yang lebih besar.
Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode
lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal
ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas
ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawufmelahirkan pula sebuah
tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.
B.1. Perkembangan
Ilmu tafsir Alquran
terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini
merupakan suatu keharusan agar Alquran dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan
terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan
mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan
untuk membaca teks Alquran maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai
Alquran. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah
Metode Tafsir
Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.
Yang
dimaksud dengan sumber
tafsir al-Qur’an ini
adalah referensi yang dijadikan
rujukan oleh para
mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an,
seperti al-Qur’an, as-Sunnah,
pandagan ulama’ salaf dan
lain-lain. Ini berbeda
dengan pandangan hidup
atau tendensi kemazhaban yang dimilikinya.
Al-Qur’an merupakan sumber terbaik
dan paling sahih untuk menafsirkan
al-Qur’an. Karena itu,
jika kita hendak
mengetahui makna ayat, maka
pertama kali hendaknya
kita mencari makna
yang telah dijelaskan oleh
al-Qur’an itu sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa teks al-Qur’an
kadang berbentuk Mujmal dalam
satu kasus, lalu dijelaskan, baik secara terpisah maupun tidak, dengan nas
al-Qur’an.
Sebagai contoh,
jika kita hendak
menafsirkan satu ayat
al-Qur’an, maka kita
harus mengumpulkan ayat-ayat yang
mempunyai lafadz dan makna yang sama, seperti:
$tRω÷d$#
xÞºuŽÅ_Ç9$#
tLìÉ)tGó¡ßJø9$#
ÇÏÈ
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus, jalan
orang-orang yang Engkau beri nikmat.” (Q.s. al-Fâtihah: 6)
Yang kemudian ditafsirkan dengan firman Allah:
`tBur
ÆìÏÜム©!$# tAqß™§9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$#
zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã
z`ÏiB
z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$#
tûüÉ)ƒÏd‰Å_Á9$#ur
Ïä!#y‰pk’¶9$#ur
tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur
4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu‘ ÇÏÒÈ
“Dan barangsiapa yang
menta`ati Allah dan Rasul
(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni`mat
oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang
yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman
yang sebaik- baiknya.” (Q.s.
an-Nisâ’: 69).
Surat al-Fâtihah ayat 6,
telah menjelaskan maksud
as-shirâth al-mustaqîm (jalan yang
lurus), yang dijelaskan
dengan: shirâth al-ladzîna
an’amta ‘alayhim (jalan
orang-orang yang Engkau
beri nikmat). Hanya
siapa orang-orang yang diberi
nikmat oleh Allah
itu? Ini masih
perlu penjelasan, termasuk bagaimana
supaya jalan mereka
bisa dirambah? Maka, surat
an-Nisâ’ ayat 69 menjelaskan,
bahwa mereka adalah:
para Nabi, orang yang
jujur, syuhada’, dan
orang-orang shalih. Mana indikasi yang menunjukkan, bahwa
ayat ini merupakan tafsir surat
al-Fâtihah ayat 6 di
atas? Indikasi itu
ada pada frasa:
al-ladzîna an’ama- Llâh[u] ‘alayhim.
Siapa mereka, dan
bagaimana caranya? Mereka adalah
siapa saja yang
taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, dimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
juga merupakan jalan lurus itu. Demikian
juga jika kita
menemukan teks umum,
mutlak, mujmal dan lain-lain,
maka bisa ditafsirkan dengan
merujuk teks-teks khusus, muqayyad
dan mubayyan yang
berfungsi sebagai takhshîsh, taqyîd dan
bayân teks-teks tersebut.
Karena tidak
semua nas al-Qur’an
dijelaskan oleh al-Qur’an, maka keberadaan
as-Sunnah menjadi sangat
penting sebagai sumber kedua, setelah
al-Qur’an, untuk menjelaskan
maksud yang dikehendaki oleh
al-Qur’an. Misalnya, lafadz:
as-shalât dalam firman Allah SWT:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
....
“Dan dirikanlah shalat.” (Q.s. al-Baqarah:
43).
Lafadz tersebut
merupakan lafadz mujmal,
yang membutuhkan penjelasan, sementara
penjelasannya tidak dinyatakan
dalam al-Qur’an, melainkan dalam
as-Sunnah. Ketika hendak menjelaskannya, Rasul naik
di atas bukit
kemudian melakukan shalat
hingga sempurna, lalu bersabda:
صلو
كما رئيتموني أصلي
“Dan
shalatlah kalian, sebagaimana
kalian telah melihat
aku sedang shalat” (HR.
al-Bukhâri dari Mâlik).
Dari
hadits tersebut diperoleh
penjelasan yang detail
dan sistematis mengenai realitas
shalat yang diperintahkan
oleh Allah dalam
al-Qur’an tadi.
Selain al-Qur’an
dan as-Sunnah, pandangan
sahabat juga merupakan salah
satu rujukan yang
penting untuk dirujuk
dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena
merekalah orang yang
tahu konteks turunnya ayat,
tempat, waktu dan
kepada siapa ayat
tersebut diturunkan? Dalam hal ini, bisa dicontohkan firman Allah SWT:
Ÿwur šúïωö7ãƒ
£`ßgtFt^ƒÎ—
žwÎ) $tB
tygsß $yg÷YÏB
( ....
“Dan hendaknya mereka
tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh nampak darinya.” (Q.s.
an-Nûr: 31).
mâ dlahara minhâ tersebut dijelaskan
oleh Ibn ‘Abbâs:
وَجْهُهَا
وَكَفَّاهَا وَالْخَاتِمُ.
“Wajahnya, kedua telapak tangannya dan cincin.”
Yang
dimaksud dengan Isrâ’îliyyah adalah,
menurut Muhammad bin Muhammad
Abû Syahbah, adalah
pengetahuan yang bersumber dari Bani Israel, kitab dan pengetahuan
mereka, atau dongeng dan kebohongan
mereka. Namun, yang lebih
tepat, sebagaimana yang dikemukakan
oleh ‘Ali al-Hasan,
bahwa Isrâ’îliyyah ini lebih
spesifik menunjukkan corak
keyahudian, sebab waktu itu
aspek keyahudian tersebut
sangat kental, sehingga
banyak terjadi penukilan dari
mereka. Karena, waktu
itu jumlah mereka
juga banyak, dan tradisi
mereka juga menonjol, ketimbang
orang Kristen. Mereka juga
bergaul dengan kaum
Muslim.Dalam konteks Isrâ’îliyyah
ini bisa dibagi menjadi tiga:
1. Isrâ’îliyyah yang sesuai
dengan syariat Islam;
2. Isrâ’îliyyah yang
bertentangan dengan syariat Islam;
3. Isrâ’îliyyah yang
didiamkan oleh syariat Islam.
Mengenai contoh
penggunaan Isrâ’îliyyah untuk
menafsirkan al-Qur’an, bisa dilihat
dalam tafsir at-Thabari,
ketika menjelaskan
firman Allah:
`ÏBur
ÏQöqs% #Óy›qãB
×p¨Bé& šcr߉öku‰
Èd,ptø:$$Î/
¾ÏmÎ/ur
tbqä9ω÷ètƒ
ÇÊÎÒÈ
“Dan di antara
kaum Musa itu
terdapat suatu umat
yang memberi petunjuk (kepada
manusia) dengan hak
dan dengan yang
hak itulah mereka menjalankan
keadilan.” (Q.s. al-A’râf: 159).
Dengan menyatakan:
Telah sampai kepadaku,
bahwa Bani Israel,
ketika mereka membunuh Nabi-nabi
mereka dan mengingkarinya, jumlah
mereka ada 12 kabil ah.
Satu di antara
kal ibah itu telah
menyatakan berlepas diri dari
apa yang mereka
perbuat. Mereka keberatan
dan memohon kepada
Allah –‘Azza wa jalla--- agar
menceraiberaikan mereka. Allah kemudian membuka nafkah untuk
mereka di bumi,
lalu mereka berjalan
hingga keluar dari belakang
Cina. Mereka di
sana sebagai orang
yang lurus dan
muslim, menghadap kiblat kita.
Sumber kebahasaan
adalah suluk beluk
bahasa Arab, seperti pengetahuan mengenai
sastera jahiliyah, semisal
syair, prosa, kebiasaan orang
Arab dan ekspresi
percakapan mereka. Inilah informasi kebahasaaraban (al-ma’lûmât
al-lughawiyyah) yang bisa menjadi
salah satu sumber
bagi ahli tafsir
digabungkan dengan informasi kesyariataan
(al-ma’lûmât as-syar’iyyah) yang
dimilikinya, seperti
berbagai peristiwa yang
terjadi pada zaman
Rasul termasuk sebab-sebab turunnya
ayat, untuk menafsirkan
al-Qur’an dengan ijtihadnya. Karena
itu, sumber ini
kadang disebut sumber
ijtihad, atau ra’yu. Sekedar sebagai contoh, penafsiran sahabat terhadap
ayat:
øŒÎ)ur $tRõ‹s{r&
öNä3s)»sV‹ÏB $uZ÷èsùu‘ur
ãNä3s%öqsù u‘q’Ü9$# ....
“Dan
(ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari
kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu.”
(Q.s. al-Baqarah: 63).
Mujahid menafsirkan
kata at-thûr dengan
jabal (gunung); Ibn
‘Abbas menafsirkannya gunung itu
sendiri, atau nama
gunung; yang lain menafsirkan gunung-gunung
yang berserakan, dimana
yang tidak berserakan bukanlah
at-thûr.
Adapun berkaitan dengan
metode yang seharusnya
ditempuh oleh ahli
tafsir, sehingga mendapatkan
tafsir ideal sebagaimana
yang berkembang pada zaman
Rasul dan para sahabat,
bisa dirumuskan sebagai berikut:
Metode Tahlili (Analitik)
Metode
ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir
ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang
mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam
Alquran.
Tafsir
ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari
awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosakata dan
lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan
ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan
apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukumfiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak
dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Alquran dengan
metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
kemukjizatan Alquran, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi
umat Islam dewasa
ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini
menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan
lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan
pandangan Alquran untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu
“mengikat” generasi berikutnya.
Metode Ijmali (Global)
Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap
kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran
sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang
singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan
tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan
tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada
penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang
luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Metode Muqarin
Tafsir
ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat
dengan hadits, atau
antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan
tertentu dari objek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhu’i (Tematik)
Tafsir
berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian
menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru
kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah
metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik
atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Setiap penafsir akan
menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu
pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri
sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah
Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
Ayat-ayat Alquran
bagaikan intan, setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika
kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak
dibandingkan apa yang kita lihat.
Di antara berbagai
corak itu antara lain adalah :
·
Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini
diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang
memeluk Islam serta akibat
kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga
dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
·
Corak Filsafat dan
Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi
beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada
akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
·
Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka muncul
usaha-usaha penafsiran Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
·
Corak Fikih: akibat perkembangan
ilmu fiqih dan
terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka
masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
·
Corak Tasawuf : akibat
munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang
bercorak tasawuf.
·
Corak Sastra Budaya
Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti dan enak didengar.
BAB III
PENUTUP
Tafsir adalah penjelasan atau keterangan. Begitu juga
tafsir bisa diartikan sebagai ilmu
yang membahas al-Qur’an
dari aspek penunjukannya kepada
maksud Allah berdasarkan
kemampuan manusia. Dalam ilmu tafsir orang yang mempelajarinya disebut
mufassir.
Untuk kesempurnaan dan perbaikan dari makalah ini maka
disarankan kepada kita semua untuk memberikan tanggapan dan kritik terhadap
pembahasan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsaimin, Muhammad Shalih (2001). Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah,
editor. Ushûl fî at-Tafsîr (dalam bahasa bahasa Arab). Al-Maktabah al-Islamiyyah.
As-Suyuthi. Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (dalam
bahasa bahasa Arab). Dar al-Fikr.
Drs. Hafidz Abdurrahm
an, MA . 2003. Ulumul Quran
Praktis (Pengantar untuk Memahami alQuran).
Bogor: CV IDeA Pustaka Utama.
muhammad nizar,
M.E.I. 2016. Ulumul quran. Pasuruan: Kurnia Advertising.
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Teras, 2009.
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .