Tuesday, October 2, 2018

Makalah Peradaban Arab Pra Islam

Gambar terkait

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat Arab, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuakatan bagi suatu kabilah atau suku. Bangsa Arab yang memiliki sejumlah suku dan karakter khas, secara sosiologis telah mendorong bangsa ini untuk saling bersaing yang pada ujungnya melahirkan perang antar suku. Oleh karena itu, tidak salah jika bangsa ini dikenal Sebagai masyarakat Jahiliyah. Sebuah masyarakat yang tidak mengenal peradaban. Sebelum Islam datang membawa misinya, di tanah ini sering terjadi peperangan antara sesama kaum, antara satu kabilah dengan kabilah lain, dan antar satu suku dengan suku lain.
Akibat peperangan yang terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain, bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan serta hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair.    
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan peradaban Arab pra-Islam ?
2.      Bagaimana tradisi menulis dan pendidikan bangsa Arab pra-Islam ?
3.      Apa saja pusat kegiatan intelektual di luar Arabiyyah pra-Islam ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui keadaan peradaban Arab pra-Islam.
2.      Mengetahui tradisi menulis dan pendidikan bangsa Arab pra-Islam.
3.      Mengetahui  pusat kegiatan intelektual di luar Arabiyyah pra-Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peradaban Arab pra-Islam
Beberapa saat sebelum Islam diperkenalkan dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam sebagai pondasi peradaban baru, bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang ada disekitarnya telah memilki peradaban. Adapun aspek-aspek yang meliputi peradaban Arab pra-Islam, diantaranya agama, politik, ekonomi, dan seni budaya.
1.      Agama pra-Islam
Sebelum kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam di dunia Arab terdapat bermacam agama, yaitu paganisme, Kristen, Yahudi, dan Majusi. Menurut Nurcholish Madjid, masyarakat Arab telah mengenal tauhid semenjak kehadiran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Bekas yang masih sangat terasa ketika Islam diperkenalkan pada masyarakat Arab adalah penyebutan Allah sebagai Tuhan mereka. Secara fisik peninggalan Nabi Ibrahin dan Nabi Isma’il yang masih terpelihara adalah Baitullah (ka’bah) yang berada di pusat kota Makkah. Kegiatan ritual keagamaan masih dilakukan dengan menyebut-nyebut nama Allah di sekitar rumah-Nya.
Dalam srjarah dicatat bahwa menjelang kelahiran Islam, bangsa Arab masih menempatkan Allah sebagai Tuhannya, walaupun dalam pekembangan berikutnya mengalami proses pembiasan yang mengakibatkan terjadinya pengingkaran prinsip tauhid. Karena itu, mereka biasa disebut sebagai penyembah berhala atau paganisme. Mereka membuat patung yang terbuat dari batu untuk disembah dan orang-orang mengelilingnya. Patung-patung tersebut jumlahnya mencapai 360 buah dan diletakkannya di sekitar ka’bah.
Disamping itu, ada patung-patung yang tetap berada di luar Makkah. Beberapa patung yang terkenal, yaitu:
a)      Manah atau Manata di dekat Yasrib atau Madinah
b)      Al-Latta di Taif (menurut catatan sejarah ini adalah patung tertua)
c)      Al-Uzza di Hijaz
d)     Hubal atau patung terbesar yang terbuat dari batu akik yang berbentuk manusia dan diletakkan di dalam Ka’bah.
Mereka percaya bahwa menyembah berhala-berhala tersebut bukan berarti menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Oleh umat Islam, masa itu disebut sebagi masa Jahiliyyah, masa kegelapan, masa kebodohan dalam agama, bukan dalam hal seperti ekonomi perdagangan dan sastra. Mereka beragama dengan mengagungkan anggapan-anggapan mereka sendiri. Maka, perilaku sehari-hari banyak yang akhirnya menyimpang dari hakikat bertuhan itu sendiri. Beberapa perilaku Arab pra-Islam yang banyak dicatat dalam sejarah adalah membunuh anak perempuan, melembagakan perbudakan, dan sebagainya.
Disisi lain ada agama Masehi (Kristen) banyak dipeluk oleh penduduk Yaman, Najran, dan Syam (sekarang: Syiria, Palestina, Libanon), sedangkan agma Yahudi dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran yang tinggal di Yaman dan Yasrib (Madinah) yang besar jumlahnya, serta dipeluk oleh kalangan orang-orang Persia.
Para penganut agama Masehi (Kristen) itu berselisih satu sama lain, seperti tentang kesucian Maryam. Apakah ia lebih utama dari anaknya, Isa al Masih, ataukah anaknya yang lebih utama dari ibunya? Mereka berpecah-pecah menjadi banyak sekte. Terhadap perselisihan itu, kaum Yahudi tidak melerainya, bahkan mereka tidak menyukai kaum Masehi, dikarenakan kaum Masehi itu telah mengusir kaum Yahudi dari negeri Palestina. Tetapi, hubungan kaum Yahudi dengan bangsa Arab yang menyembah berhala itu justru menunjukkan kebaikan. Orang-orang Arab tidak mau mengikuti agama orang-orang yang berselisih itu. Cukuplah mereka dengan paganisme.[1]
2.      Sistem Politik
Bangsa Arab disekitar Makkah, khususnya suku bangsa Quraisy, mengembangkan sistem pemerintahan oligarki yang membagi-bagi kekuasaan berdasarkan bidang-bidang tertentu. Ada kabilah tertentu yang betugas menangani masalah peribadatan, ada yang bertugas menangani bidang pertahanan, ada pula yang bertugas dalam pengembangan perekonomian.[2]
3.      Ekonomi
Dalam bidang ekonomi dan kesenian, bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat. Makkah bukan saja pusat perdagangan lokal melainkan sudah menjadi jalur perdagangan dunia yang penting saat itu, yang menghubungkan antara utara (Syam), selatan (Yaman), timur (Persia), dan barat (Mesir dan Abessinia). Keberhasilan Makkah menjadi pusat perdagangan internasional ini karena kerajaan Hasyim, tokoh penting suku Quraisy yang merupakan kakek buyut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, dalam mengisi kekosongan peranan suku bangsa lain di dalam bidang perdagangan di Makkah sekitar abad ke enam Masehi. Peredaran perdagangan mereka sempat dikisahkan dalam Al-Qura’an surat al Quraisy.[3]
4.      Seni Budaya
Satra mempunyai arti penting dalam kehidupan bangsa Arab. Mereka mengabdikan peristiwa-peristiwa dalam syair yang diperlombakan setiap tahun di pasar seni Ukaz, Majinnah, dan Zu Majaz. Bagi yang memiliki syair yang bagus, ia akan diberi hadiah, dan mendapatkan kehormatan bagi suku dan kabilahnya serta syairnya digantungkan di Ka’bah yang dinamakan al- mu’allaq al- sab’ah. Menurut catatan sejarah bangsa Arab adalah bangsa yang kemampuan menghafalnya sangat tinggi, khususnya hafalan terhdap syair-syair.[4]
Adapun syair atau syi’ir dalam kitab Lisan al-’Arab, diartikan sebagai perkataan yang diperindah dan lebih luas daripada perkataan biasa karena mempunyai timbangan serta sajak. Selanjutnya al-Azhari berkata ”Syi’ir adalah perkataan yang mempunyai ketentuan berupa tanda-tanda yang tidak diabaikan. Bentuk jamaknya al-syu’ara, penciptanya disebut syaa’ir, karena ia mengetahui dan merasakan hal-hal yang tidak diketahui atau dirasakan oleh orang lain". Para ahli berpendapat bahwa para penyair masa jahiliyah adalah sebagai ulama, yaitu orang yang mengetahui tentang nasab, sejarah, suku, dan kejadian-kejadian yang dialami suatu suku atau kabilah. Di samping itu ada orang yang disebut hukama, yaitu orang yang arif dan bijaksana. Kata syu’ara sama dengan adra yang berarti tahu, maka syair berarti alim (tahu). Syu’ara artinya ’ulama. Kemudian pengertian syair dikhususkan bagi suatu bentuk daripada perkataan.[5]
B.     Tradisi Menulis dan Pendidikan Bangsa Arab Pra-Islam
Tradisi menulis atau kuttab, kata jadian dari kataba (menulis) sudah  dikenal pada zaman pra-Islam dan telah menjadi lembaga pendidikan dasar bagi bangsa Arab pra-Islam. Dalam Ensiklopedia Islam dijelaskan bahwa kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab  berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak.[6] Menurut Hasan Asari jika kita mengambil pengertian kuttab sebagaimana kemudian dipahami dalam Islam, maka kuttab adalah lembaga pendidikan dasar untuk mengajarkan tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama, maka penggunaan kata ini pada bangsa Arab pra-Islam menunjukkan bahwa adanya satu sistem pendidikan yang telah berfungsi di kalangan bangsa Arab pra-Islam. Indikasi ini menurut Hasan Asari didukung oleh terdapatnya dalam catatan sejarah beberapa nama yang dikenal sebagai guru (mu’allim) yang hidup sebelum periode Islam seperti Bisyr bin ‘Abd al-Malik, Sufyan bin Umayyah bin ‘Abd Syams, ‘Usman bin Zarrah, Abu Qays, dan sebagainya. Adapun Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qays bin Abdul Manaf bin Zuhroh bin Kilab, keduanya belajar dari Bisyr bin ‘Abd al-Malik yang mempelajarinya dari Hirah.[7]Catatan-catatan sejarah tentang kegiatan pendidikan di tengah komonitas Yahudi dan Kristen yang hidup di Arab pra-Islam cendrung lebih lengkap, jika dibandingkan dengan bangsa Arab pagan (penyembah berhala). Komonitas Yahudi dan Kristen terkenal dengan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan. Sebelum datangnya Islam Arabia telah mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen yang mengajarkan kitab suci (Taurat dan Injil), filsafat, jadal (debat) dan topic-topik lain yang berkaitan dengan agama mereka, sehingga banyak orang-orang Arab pra-Islam yang memamfaatkan kehadiran Yahudi dan Kristen untuk belajar tentang sejarah, nabi-nabi, maupun hal-hal lainnya.
Ringkas kata, menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekpresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen) pendidikan.[8]



C.    Pusat Kegiatan Intelektual di Luar Arabia Pra-Islam
Sebelum kita beranjak pada pusat kegiatan intelektual di luar Arabia Pra-Islam, perlu kita ketahui bersama tentang ilmu pengetahuan bangsa Arab pra-Islam.
Bangsa Arab sebelum Islam disebut Arab Jahili (Zaman jahiliyah). Pengertian jahiliyah di sini bukan berarti bodoh atau tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Ahmad Amin dalam bukunya fajru al-Islam, menyatakan “Arab Jahiliyah adalah orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran. Mereka terus melawan kebenaran, sekalipun telah diketahui bahwa hal itu benar”. Jadi pengertian jahiliyah berarti, safah, ghadlab, anfah, bukan ‘jahl’ yang berarti ‘tidak berilmu’.
Kepandaian bangsa Arab sebelum Islam antara lain:
a.      Ilmu Perbintangan (Astronomi)
Ilmu ini mereka pelajari dari orang-orang Kaldea (Babilonia). Mereka mempelajari ilmu ini, karena dibutuhkan untuk mengetahui arah dalam perjalanan di padang pasir, sebagaimana orang berlayar di samudra, untuk menentukan arah pada waktu itu, hanya berpedoman dengan melihat letak bintang.
b.      Ilmu Astrologi (ramalan Bintang)
Ilmu ini dipelajari karena erat sekali dengan kehidupan mereka, yang masih percaya kepada kahin (tukang ramal). Menurut kepercayaan mereka nasib manusia dipengaruhi oleh beredarnya bintang-bintang di cakrawala, di kala kelahirannya bertepatan dengan bintang apa yang mendekat ke bumi. Hal ini erat sekali dengan kehidupan mereka yang penuh dengan tahayul dan hurafat.
c.       Ilmu Tenung (Sihir)
Ilmu ini berasal dari orang kaldan, dan digunakan untuk mencelakakan atau menolong orang. Sehingga segala sesuatu yang memukau dan menarik, mereka katakan sihir. Seperti apa yang mereka katakan kepada Nabi Saw. Yang membawa al-Qur'an, sehingga mereka merasa terpukau akan keindahan susunan bahasanya.
d.      Ilmu Tabib (Ilmu Kedokteran)
Ilmu kedokteran masa jahiliyah masih bercampur dengan tahayul dan sihir. Tabib atau dokter diikuti oleh dua orang pembantu, seorang membawa obat-obatan dan peralatannya, sedangkan seorang lagi membawa azimat. Dalam kepercayaan mereka, sakit pes dapat disembuhkan dengan suara keledai, sakit gila bisa disembuhkan dengan darah seorang raja.[9]
Adapun pusat kegiatan intelektual di luar Arabia pra-Islam, diantaranya:
1.      Athena  Klasik : The School of Hellas
Sejarah panjang peradaban Yunani mengantarkannya ke puncak peradaban manusia di seluruh dunia. Kemajuan di berbagai bidang dengan mudah terlihat sebagai simbolisasi dari kuatnya peradaban ini. Tidak ada pembicaraan tentang ilmu pengetahuan modern yang bisa mengelak dari merujuk akarnya ke Yunani sebagai sebuah kota yang berada di bawah kekuasaan Romawi Timur, Athena mengalami kemakmuran dan kemajuan budaya serta menjadi salah satu pusat kegiatan intelektual kerajaan Romawi. Sejumlah pusat pendidikan berdiri di kota ini. Filsafat dan ilmu-ilmu lainnya berkembang dengan baik. Peradaban ini melahirkan sederet nama-nama besar di berbagai bidang pengetahuan semisal Thales, Anaximenes, Anaximender, Protogoras, Socrates, Aristoteles, Plato, Plotinus dan Phytagoras. Di Athena, Plato yang wafat tahun 347 SM mendirikan Akademi Filsafat yang belakangan dikenal sebagai museum Athena. Merupakan sebuah lembaga besar dan terbuka, tempat para ilmuan dari berbagai latar belakang bangsa dan agama bersama-sama mengembangkan pengetahuan
Pandangan keagamaan Justian I yang demikian fanatik dan tidak bisa mentolerir keberadaan penganut sekte atau agama lain menjadi latar belakang penutupan museum Athena. Disamping itu, penutupan museum ini juga berkaitan dengan sikap Justinian I yang tidak terlalu antusias terhadap dunia ilmu pengetahuan dan filsafat, di samping-alasan-alasan ekonomi.

2.      Alexandria Hellenistik
Alexandria (al-Iskandaryah) dibangun sekitar abad ke-3 SM, terletak di pantai laut Tengah dan termasuk wilayah Mesir. Kota ini berada di bawah kekuasaan Romawi Timur hingga datangnya Islam. Pada abad ke-1 M, Alexandria telah menjadi pusat ilmiah dan fillsafat Yunani bersamaan dengan pertemuan Hellenisme dengan pengaruh Oriental dan Mesir Kuno. Walaupun Athena memberikan jalan bagi Alexandria sebagai pusat intelektual bagi lingkungan Yunani, namun demikian tradisinya tetap meneruskan tradisi Hellas dengan menciptakan dua sistem filsafat baru yang akan menempatkan mereka berdampingan dengan Plato, Aristoteles dalam pengeruhnya bagi pemikiran Barat. Sebagai pusat ilmiah, kota Alexandria mendapat dukungan yang baik dari para Kaisar di Konstantinopel, paling tidak hingga abad ke-4 M. Keterbukaan dan kebebasan ilmiah yang dulunya berhasil memajukan Athena kembali diterapkan di Aleksandria. Para ilmuan dari berbagai latar belakang budaya dan agama dengan bebas berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan ilmiah di kota ini. Sama halnya dengan periode Athena, fanatisme agama tampaknya berperan besar dalam proses kemunduran kegiatan intelektual di Alexandria. Sejak awal abad ke-5 M., kegiatan intelektual di kota ini terus mengalami kemunduran.
3.      Romawi Timur
Ketika kerajaan Yunani mengalami kemunduran dan kemudian kaisar Augustus mendirikan kerajaan Romawi Pada tahun 27 SM. Saat itu, Athena tetap berfungsi sebagai pusat pengembangan intelektual. Sayangnya, filsafat dan sains tidak pernah tumbuh subur di Roma seperti hal nya di Athena dan Alexandria. Namun demikian, para filosof dan ilmuan pada masa Romawi mencakup orang-orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan intelektual Eropa masa pertengahan. Produktivitas ilmiah benar-benar mengalami kemunduran di bawah kekuasaan Romawi ini. Chester G. Starr menyebut abad kedua kekuasaan Romawi ini sebagai abad mandul – dalam arti tidak memproduksi karya ilmiah yang monumental. Adapun penyebab kemandulan ini adalah :
·         Absolutisme sistem imperial yang diterapkan benar-benar bertentangan dengan kebebasan sebagai syarat perkembangan ilmiah.
·         Peralihan besar-besaran dalam struktur kelas sosial dimana kelas atas yang sebelumnya merupakan penyangga peradaban Yunani mengalami kehancuran.
·         Bangkitnya individualisme menggerogoti sistem kemasyarakatan sehingga tidak memberi kemungkinan berkembangnya peradaban yang tinggi.
Di antara karya yang sempat ada pada masa ini adalah karya Plotinus yang mencakup keseluruhan filsafat termasuk Kosmologi dan Fisika. Karya-karya ini merupakan sintesis dari pemikiran Platonik, Phytagorean, Aristotelian, dan Stoic, yang kemudian dikenal dengan nama Neoplatonisme. Merupakan filsafat yng dominan dalam dunia pemikiran Yunani-Roman; sisa-sisa purbakala sampai pada era pertengahan.
Pesatnya pertukaran budaya terjadi setelah tahun 155 SM, ketika kedutaan Athena tiba di Roma untuk menyampaikan suatu keputusan yang tidak disukai yang telah diambil oleh penengah Yunani dalam percekcokan dengan ibu kota negara bagian Oropus. Seruan tersebut tidak berhasil dan sang duta besar kembali ke Athena, tanpa menghasilkan apa-apa kecuali stimulasi ceramah filsafat di Roma. Transmisi pengetahuan dari Athena menuju Roma salah satunya terjadi melalui Alexandria. Ada keyakinan bahwa Plotinus (205 M.- 270 M.) –filosof Yunani— dilahirkan di Mesir; ia belajar di Alexandria sebelum pindah ke Roma di usia 40 tahun.
4.      Kostantinopel
 Sumbangan Konstantinopel terhadap perkembangan pengetahuan salah satunya adalah dengan didirikannya Universitas oleh Konstantin di Konstantinopel. Institusi ini diakui oleh Theodosius II pada tahun 425. merupakan universitas baru yang menjadi pusat belajar terpenting di kerajaan tersebut. Disamping itu, perlu pula dicatat beberapa peninggalan seperti karya-karya Proclus yang mencakup komentar terhadap buku I dari Euclid yang berjudul ‘Element‘ yang berisikan sejarah geometri Yunani yang sangat kaya serta sebuah risalah yang berjudul ‘Outline of Astronomical Hypothesis’, yang merupakan ringkasan dari teori Hipparchus dan Ptolemy.
5.      Jundi Shapur
Pusat intelektual lain yang juga penting adalah Jundi Shapur, sebuah kota tua di bagian Tenggara lembah Mesopotamia dan berada di bawah kekuasaan kerajaan Persia Sasaniyah. Kegiatan ilmiah di kota ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke enam, namun kota ini masih relatif vital sampai sekitar abad ke 4/10 M, setelah berada di bawah kekuasaan Muslim.
Jundi Shapur menjadi pusat intelektual terbaik di zamannya, khususnya di bidang kedokteran, matematika dan musik. Nama Jundi Shapur menjadi terkenal selama periode Islam. Jundi Shapur secara cepat menjadi pusat ilmu pengetahuan yang utama, khususnya bagi Pengobatan Hipokratik, yang kemudian diperkuat lagi setelah tahun 489 M., ketika aliran Edessa ditutup atas perintah penguasa Byzantine. Bersamaan dengan berkembangnya kegiatan ilmiah di kawasan Sasaniyah Kerajaan Romawi Timur tampaknya lebih banyak dikuasai oleh Kaisar-kaisar yang tidak mendukung kegiatan ilmiah yang mengakibatkan ditutupnya sejumlah akademi di beberapa kota. Hal ini secara langsung menguntungkan kota Persia, Jundi Shapur; banyak ilmuan yang kemudian meninggalkan Athena, Alexandria dan kota-kota Romawi lainnya lalu memilih untuk menetap di Jundi Shapur.
6.      Edessa, Harran dan Nisibis: Jalan menuju Baghdad
Di antara kota tujuan para ilmuan yang meninggalkan Athena dan Alexandria adalah Edessa dan Harran, dua kota Mesopotamia Utara dimana Kebudayaan Syria Kuno sudah berkembang sejak awal. Meskipun pada umumnya penduduk daerah ini adalah penganut Kristen Nestoris, tetapi sebagai sebuah kota ilmiah, para ilmuan pagan pun mendapat tempat terhormat di sini. Bahkan kegiatan kota Harran cenderung lebih didominasi oleh para ilmuan pagan, sedangkan Edessa menjadi pusat kegiatan intelektual yang didominasi oleh para ilmuan Kristen (Nestoris). Karya-karya yang diterjemahkan saat ini mencakup bidang-bidang matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat. Pada paruh pertama abad ke-6 M kota Nisibis memiliki sebuah akademi pendidikan yang mungkin bisa disebut terbaik di dunia kala itu. Di sini berlangsung kegiatan penerjemahan karya-karya penting Yunani dan Sanskerta ke dalam bahasa Persia lama (Pahlavi) dan bahasa Syria, oleh para ilmuan Syria, Yahudi, Persia dan lain-lain. Karya-karya yang diterjemahkan antara lain bidang-bidang matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Kemunduran Alexandria yang menyebabkan terjadinya eksodus ilmuan berperan besar dalam penyebaran sains ke daerah-daerah ini. Setelah dimusuhi di belahan Barat, kelompok ini melarikan diri ke wilayah Syria dan mendirikan sekolah di Edessa. Ketika pada tahun 489 M, kaisar Romawi Timur memerintahkan agar akademi ilmiah Edessa ditutup, para ilmuan kembali harus pindah, kali ini ke Nisibis, masih di Mesopotamia Utara.[10]
7.      India
Dibanding dengan pusat-pusat kegiatan intelektual yang terdapat di daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Romawi dan Sasaniayah, India jauh mempunyai pengaruh yang lebih sedikit dan tak langsung pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini terutama dikarenakan oleh letak geografisnya yang lebih jauh dari Semenanjung Arabia. Namun demikian perlu kita ingat bahwa daerah ini telah membuat beberapa kemajuan ilmiah sepanjang abad ke-6 M, yakni abad menjelang datangnya Islam. India membuat kemajuan berarti di bidang matematika lewat ilmuan besarnya yang bernama Varahamihira. Kemajuan di bidang ilmu bahasa ilmu kedokteran, astronomi, geografi, historiografi, dan matematika. Pada abad yang sama, bangsa Jepang mulai mempelajari ilmu-ilmu Cina melalui para ilmuan Korea.[11]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpula
Peradaban Arab pra-Islam, diliputi dengan beberapa aspek diantaranya agama, politik, ekonomi, dan seni budaya.
Tradisi menulis atau kuttab, kata jadian dari kataba (menulis) sudah  dikenal pada zaman pra-Islam dan telah menjadi lembaga pendidikan dasar untuk mengajarkan tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama bagi bangsa Arab pra-Islam.
Menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekpresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara terbatas.
Bangsa Arab memiliki kepandaian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan diantaranya, ilmu astronomi, ilmu astrologi, ilmu tenung/ sihir, dan ilmu tabib/ kedokteran.
Adapun pusat kegiatan intelektual di luar Arabia pra-Islam, diantaranya, Athena  Klasik,  Alexandria Hellenistik, Romawi Timur, Kostantinopel, Jundi Shapur, Edessa, Harran dan Nisibis: Jalan menuju Baghdad, India.

B.     Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini dan penyusunan serta penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun/ penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asari, Hasan. 2007. Menyikap Zaman Keemasan Islam. Bandung : Cita Pustaka Media.
Daftary, Farhad. 2002. Ttradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta : Erlangga.
Mufrodi, Ali.1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arah. Jakarta : Logos
Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Peradaban Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Taswiyah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Diadit Media Pres.




[1]      Munthoha, wijayanto, dkk. Seri Buku ajar. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yoyakarta: UII Press. 1998. Cetakan kedua. Hlm. 21-24.
[2]       Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid . Hlm. 24.
[3]       Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid . Hlm. 24.

[4]    Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid . Hlm. 24-25.
[5]    Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Peradaban Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.
[6]       Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm.12.
[7]       Suwito. Ibid. Hlm.12.
[9]    Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Peradaban Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.

0 comments:

Post a Comment

Monggo Komentarnya. . .