BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat
Arab, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam kesukuan Badui. Mereka
sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuakatan bagi suatu kabilah atau suku. Bangsa
Arab yang memiliki sejumlah suku dan karakter khas, secara sosiologis telah
mendorong bangsa ini untuk saling bersaing yang pada ujungnya melahirkan perang
antar suku. Oleh karena itu, tidak salah jika bangsa ini dikenal Sebagai
masyarakat Jahiliyah. Sebuah
masyarakat yang tidak mengenal peradaban. Sebelum Islam datang membawa misinya,
di tanah ini sering terjadi peperangan antara sesama kaum, antara satu kabilah
dengan kabilah lain, dan antar satu suku dengan suku lain.
Akibat
peperangan yang terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu,
bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan
dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat
diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan
itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair.
Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui,
antara lain, bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi
kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan serta
hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
keadaan peradaban Arab pra-Islam ?
2.
Bagaimana
tradisi menulis dan pendidikan bangsa Arab pra-Islam ?
3.
Apa
saja pusat kegiatan intelektual di luar Arabiyyah pra-Islam ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
keadaan peradaban Arab pra-Islam.
2.
Mengetahui
tradisi menulis dan pendidikan bangsa Arab pra-Islam.
3.
Mengetahui pusat kegiatan intelektual di luar Arabiyyah
pra-Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peradaban
Arab pra-Islam
Beberapa saat
sebelum Islam diperkenalkan dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam sebagai pondasi peradaban baru, bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang
ada disekitarnya telah memilki peradaban. Adapun aspek-aspek yang meliputi
peradaban Arab pra-Islam, diantaranya agama, politik, ekonomi, dan seni budaya.
1.
Agama
pra-Islam
Sebelum
kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam
di dunia Arab terdapat bermacam agama, yaitu paganisme, Kristen, Yahudi, dan
Majusi. Menurut Nurcholish Madjid, masyarakat Arab telah mengenal tauhid
semenjak kehadiran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Bekas yang masih sangat
terasa ketika Islam diperkenalkan pada masyarakat Arab adalah penyebutan Allah
sebagai Tuhan mereka. Secara fisik peninggalan Nabi Ibrahin dan Nabi Isma’il
yang masih terpelihara adalah Baitullah (ka’bah) yang berada di pusat kota
Makkah. Kegiatan ritual keagamaan masih dilakukan dengan menyebut-nyebut nama
Allah di sekitar rumah-Nya.
Dalam srjarah
dicatat bahwa menjelang kelahiran Islam, bangsa Arab masih menempatkan Allah
sebagai Tuhannya, walaupun dalam pekembangan berikutnya mengalami proses
pembiasan yang mengakibatkan terjadinya pengingkaran prinsip tauhid. Karena
itu, mereka biasa disebut sebagai penyembah berhala atau paganisme.
Mereka membuat patung yang terbuat dari batu untuk disembah dan orang-orang
mengelilingnya. Patung-patung tersebut jumlahnya mencapai 360 buah dan
diletakkannya di sekitar ka’bah.
Disamping itu,
ada patung-patung yang tetap berada di luar Makkah. Beberapa patung yang
terkenal, yaitu:
a)
Manah
atau Manata di dekat Yasrib atau Madinah
b)
Al-Latta
di Taif (menurut catatan sejarah ini adalah patung tertua)
c)
Al-Uzza
di Hijaz
d)
Hubal
atau patung terbesar yang terbuat dari batu akik yang berbentuk manusia dan
diletakkan di dalam Ka’bah.
Mereka percaya
bahwa menyembah berhala-berhala tersebut bukan berarti menyembah wujudnya,
tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Oleh
umat Islam, masa itu disebut sebagi masa Jahiliyyah, masa kegelapan, masa
kebodohan dalam agama, bukan dalam hal seperti ekonomi perdagangan dan sastra.
Mereka beragama dengan mengagungkan anggapan-anggapan mereka sendiri. Maka,
perilaku sehari-hari banyak yang akhirnya menyimpang dari hakikat bertuhan itu
sendiri. Beberapa perilaku Arab pra-Islam yang banyak dicatat dalam sejarah
adalah membunuh anak perempuan, melembagakan perbudakan, dan sebagainya.
Disisi lain ada
agama Masehi (Kristen) banyak dipeluk oleh penduduk Yaman, Najran, dan Syam
(sekarang: Syiria, Palestina, Libanon), sedangkan agma Yahudi dipeluk oleh
penduduk Yahudi imigran yang tinggal di Yaman dan Yasrib (Madinah) yang besar
jumlahnya, serta dipeluk oleh kalangan orang-orang Persia.
Para penganut
agama Masehi (Kristen) itu berselisih satu sama lain, seperti tentang kesucian
Maryam. Apakah ia lebih utama dari anaknya, Isa al Masih, ataukah anaknya yang
lebih utama dari ibunya? Mereka berpecah-pecah menjadi banyak sekte. Terhadap
perselisihan itu, kaum Yahudi tidak melerainya, bahkan mereka tidak menyukai
kaum Masehi, dikarenakan kaum Masehi itu telah mengusir kaum Yahudi dari negeri
Palestina. Tetapi, hubungan kaum Yahudi dengan bangsa Arab yang menyembah
berhala itu justru menunjukkan kebaikan. Orang-orang Arab tidak mau mengikuti
agama orang-orang yang berselisih itu. Cukuplah mereka dengan paganisme.[1]
2.
Sistem
Politik
Bangsa Arab
disekitar Makkah, khususnya suku bangsa Quraisy, mengembangkan sistem
pemerintahan oligarki yang membagi-bagi kekuasaan berdasarkan bidang-bidang
tertentu. Ada kabilah tertentu yang betugas menangani masalah peribadatan, ada
yang bertugas menangani bidang pertahanan, ada pula yang bertugas dalam
pengembangan perekonomian.[2]
3.
Ekonomi
Dalam bidang
ekonomi dan kesenian, bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat.
Makkah bukan saja pusat perdagangan lokal melainkan sudah menjadi jalur
perdagangan dunia yang penting saat itu, yang menghubungkan antara utara
(Syam), selatan (Yaman), timur (Persia), dan barat (Mesir dan Abessinia).
Keberhasilan Makkah menjadi pusat perdagangan internasional ini karena kerajaan
Hasyim, tokoh penting suku Quraisy yang merupakan kakek buyut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam, dalam mengisi kekosongan peranan suku bangsa lain di dalam bidang
perdagangan di Makkah sekitar abad ke enam Masehi. Peredaran perdagangan mereka
sempat dikisahkan dalam Al-Qura’an surat al Quraisy.[3]
4.
Seni
Budaya
Satra mempunyai
arti penting dalam kehidupan bangsa Arab. Mereka mengabdikan
peristiwa-peristiwa dalam syair yang diperlombakan setiap tahun di pasar seni
Ukaz, Majinnah, dan Zu Majaz. Bagi yang memiliki syair yang bagus, ia akan
diberi hadiah, dan mendapatkan kehormatan bagi suku dan kabilahnya serta
syairnya digantungkan di Ka’bah yang dinamakan al- mu’allaq al- sab’ah.
Menurut catatan sejarah bangsa Arab adalah bangsa yang kemampuan menghafalnya
sangat tinggi, khususnya hafalan terhdap syair-syair.[4]
Adapun syair
atau syi’ir
dalam kitab Lisan al-’Arab, diartikan
sebagai perkataan yang diperindah dan lebih luas daripada perkataan biasa
karena mempunyai timbangan serta sajak. Selanjutnya al-Azhari berkata ”Syi’ir
adalah perkataan yang mempunyai ketentuan berupa tanda-tanda yang tidak
diabaikan. Bentuk jamaknya al-syu’ara,
penciptanya disebut syaa’ir, karena
ia mengetahui dan merasakan hal-hal yang tidak diketahui atau dirasakan oleh
orang lain". Para ahli berpendapat bahwa para penyair masa jahiliyah
adalah sebagai ulama, yaitu orang yang mengetahui tentang nasab, sejarah, suku,
dan kejadian-kejadian yang dialami suatu suku atau kabilah. Di samping itu ada
orang yang disebut hukama, yaitu
orang yang arif dan bijaksana. Kata syu’ara
sama dengan adra yang berarti tahu,
maka syair berarti alim (tahu). Syu’ara artinya ’ulama. Kemudian
pengertian syair dikhususkan bagi suatu bentuk daripada perkataan.[5]
B. Tradisi
Menulis dan Pendidikan Bangsa Arab Pra-Islam
Tradisi menulis atau kuttab, kata
jadian dari kataba (menulis)
sudah dikenal
pada zaman pra-Islam dan telah menjadi lembaga pendidikan dasar bagi bangsa Arab
pra-Islam. Dalam Ensiklopedia Islam dijelaskan bahwa kuttab
adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya
kuttab berfungsi sebagai tempat
memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak.[6] Menurut Hasan Asari jika
kita mengambil pengertian kuttab
sebagaimana kemudian dipahami dalam Islam, maka kuttab adalah lembaga pendidikan dasar
untuk mengajarkan tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama, maka penggunaan
kata ini pada bangsa Arab pra-Islam menunjukkan bahwa adanya satu sistem
pendidikan yang telah berfungsi di kalangan bangsa Arab pra-Islam. Indikasi ini
menurut Hasan Asari didukung oleh terdapatnya dalam catatan sejarah beberapa
nama yang dikenal sebagai guru (mu’allim) yang hidup sebelum periode
Islam seperti Bisyr bin ‘Abd al-Malik, Sufyan bin Umayyah bin ‘Abd Syams,
‘Usman bin Zarrah, Abu Qays, dan sebagainya. Adapun Sufyan bin Umayyah bin
Abdul Syams dan Abu Qays bin Abdul Manaf bin Zuhroh bin Kilab, keduanya belajar
dari Bisyr bin ‘Abd al-Malik yang mempelajarinya dari Hirah.[7]Catatan-catatan sejarah
tentang kegiatan pendidikan di tengah komonitas Yahudi dan Kristen yang hidup
di Arab pra-Islam cendrung lebih lengkap, jika dibandingkan dengan bangsa Arab
pagan (penyembah berhala). Komonitas Yahudi dan Kristen terkenal
dengan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan. Sebelum datangnya Islam
Arabia telah mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen yang mengajarkan kitab
suci (Taurat dan Injil), filsafat, jadal (debat)
dan topic-topik lain yang berkaitan dengan agama mereka, sehingga banyak orang-orang
Arab pra-Islam yang memamfaatkan kehadiran Yahudi dan Kristen untuk belajar
tentang sejarah, nabi-nabi, maupun hal-hal lainnya.
Ringkas
kata, menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan
satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekpresi dan
transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara
terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen) pendidikan.[8]
C. Pusat
Kegiatan Intelektual di Luar Arabia Pra-Islam
Sebelum kita beranjak pada pusat kegiatan
intelektual di luar Arabia Pra-Islam, perlu kita ketahui bersama tentang ilmu
pengetahuan bangsa Arab pra-Islam.
Bangsa Arab sebelum
Islam disebut Arab Jahili (Zaman
jahiliyah). Pengertian jahiliyah di sini bukan berarti bodoh atau tidak
mempunyai ilmu pengetahuan. Ahmad Amin dalam bukunya fajru al-Islam, menyatakan
“Arab Jahiliyah adalah orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada
kebenaran. Mereka terus melawan kebenaran, sekalipun telah diketahui bahwa hal
itu benar”. Jadi pengertian jahiliyah berarti, safah, ghadlab, anfah, bukan ‘jahl’
yang berarti ‘tidak berilmu’.
Kepandaian
bangsa Arab sebelum Islam antara lain:
a.
Ilmu
Perbintangan (Astronomi)
Ilmu ini mereka pelajari dari
orang-orang Kaldea (Babilonia). Mereka mempelajari ilmu ini, karena dibutuhkan
untuk mengetahui arah dalam perjalanan di padang pasir, sebagaimana orang
berlayar di samudra, untuk menentukan arah pada waktu itu, hanya berpedoman
dengan melihat letak bintang.
b.
Ilmu
Astrologi (ramalan Bintang)
Ilmu ini dipelajari karena erat sekali
dengan kehidupan mereka, yang masih percaya kepada kahin (tukang ramal). Menurut kepercayaan mereka nasib manusia
dipengaruhi oleh beredarnya bintang-bintang di cakrawala, di kala kelahirannya
bertepatan dengan bintang apa yang mendekat ke bumi. Hal ini erat sekali dengan
kehidupan mereka yang penuh dengan tahayul dan hurafat.
c.
Ilmu
Tenung (Sihir)
Ilmu ini berasal dari orang kaldan, dan
digunakan untuk mencelakakan atau menolong orang. Sehingga segala sesuatu yang
memukau dan menarik, mereka katakan sihir. Seperti apa yang mereka katakan
kepada Nabi Saw. Yang membawa al-Qur'an, sehingga mereka merasa terpukau akan
keindahan susunan bahasanya.
d.
Ilmu
Tabib (Ilmu Kedokteran)
Ilmu kedokteran masa jahiliyah masih
bercampur dengan tahayul dan sihir. Tabib atau dokter diikuti oleh dua orang
pembantu, seorang membawa obat-obatan dan peralatannya, sedangkan seorang lagi
membawa azimat. Dalam kepercayaan mereka, sakit pes dapat disembuhkan dengan
suara keledai, sakit gila bisa disembuhkan dengan darah seorang raja.[9]
Adapun pusat kegiatan intelektual di luar Arabia pra-Islam,
diantaranya:
1. Athena
Klasik : The School of Hellas
Sejarah panjang peradaban Yunani
mengantarkannya ke puncak peradaban manusia di seluruh dunia. Kemajuan di
berbagai bidang dengan mudah terlihat sebagai simbolisasi dari kuatnya
peradaban ini. Tidak ada pembicaraan tentang ilmu pengetahuan modern yang bisa
mengelak dari merujuk akarnya ke Yunani sebagai sebuah kota yang berada di bawah
kekuasaan Romawi Timur, Athena mengalami kemakmuran dan kemajuan budaya serta
menjadi salah satu pusat kegiatan intelektual kerajaan Romawi. Sejumlah pusat
pendidikan berdiri di kota ini. Filsafat dan ilmu-ilmu lainnya berkembang
dengan baik. Peradaban
ini melahirkan sederet nama-nama besar di berbagai bidang pengetahuan semisal
Thales, Anaximenes, Anaximender, Protogoras, Socrates, Aristoteles, Plato,
Plotinus dan Phytagoras. Di
Athena, Plato yang wafat tahun 347 SM mendirikan Akademi Filsafat yang
belakangan dikenal sebagai museum Athena. Merupakan sebuah lembaga besar dan
terbuka, tempat para ilmuan dari berbagai latar belakang bangsa dan agama
bersama-sama mengembangkan pengetahuan
Pandangan keagamaan Justian I yang
demikian fanatik dan tidak bisa mentolerir keberadaan penganut sekte atau agama
lain menjadi latar belakang penutupan museum Athena. Disamping itu, penutupan
museum ini juga berkaitan dengan sikap Justinian I yang tidak terlalu antusias
terhadap dunia ilmu pengetahuan dan filsafat, di samping-alasan-alasan ekonomi.
2. Alexandria
Hellenistik
Alexandria (al-Iskandaryah) dibangun
sekitar abad ke-3 SM, terletak di pantai laut Tengah dan termasuk wilayah
Mesir. Kota ini berada di bawah kekuasaan Romawi Timur hingga datangnya Islam.
Pada abad ke-1 M, Alexandria telah menjadi pusat ilmiah dan fillsafat Yunani
bersamaan dengan pertemuan Hellenisme dengan pengaruh Oriental dan Mesir Kuno.
Walaupun Athena memberikan jalan bagi Alexandria sebagai pusat intelektual bagi
lingkungan Yunani, namun demikian tradisinya tetap meneruskan tradisi Hellas
dengan menciptakan dua sistem filsafat baru yang akan menempatkan mereka
berdampingan dengan Plato, Aristoteles dalam pengeruhnya bagi pemikiran Barat.
Sebagai pusat ilmiah, kota Alexandria mendapat dukungan yang baik dari para
Kaisar di Konstantinopel, paling tidak hingga abad ke-4 M. Keterbukaan dan
kebebasan ilmiah yang dulunya berhasil memajukan Athena kembali diterapkan di
Aleksandria. Para ilmuan dari berbagai latar belakang budaya dan agama dengan bebas
berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan ilmiah di kota ini. Sama halnya
dengan periode Athena, fanatisme agama tampaknya berperan besar dalam proses
kemunduran kegiatan intelektual di Alexandria. Sejak awal abad ke-5 M.,
kegiatan intelektual di kota ini terus mengalami kemunduran.
3. Romawi
Timur
Ketika kerajaan Yunani mengalami
kemunduran dan kemudian kaisar Augustus mendirikan kerajaan Romawi Pada tahun
27 SM. Saat itu, Athena tetap berfungsi sebagai pusat pengembangan intelektual.
Sayangnya, filsafat dan sains tidak pernah tumbuh subur di Roma seperti hal nya
di Athena dan Alexandria. Namun demikian, para filosof dan ilmuan pada masa
Romawi mencakup orang-orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
intelektual Eropa masa pertengahan. Produktivitas ilmiah benar-benar mengalami
kemunduran di bawah kekuasaan Romawi ini. Chester G. Starr menyebut abad kedua
kekuasaan Romawi ini sebagai abad mandul – dalam arti tidak memproduksi karya
ilmiah yang monumental. Adapun penyebab kemandulan ini adalah :
·
Absolutisme sistem imperial yang
diterapkan benar-benar bertentangan dengan kebebasan sebagai syarat
perkembangan ilmiah.
·
Peralihan besar-besaran dalam struktur kelas
sosial dimana kelas atas yang sebelumnya merupakan penyangga peradaban Yunani
mengalami kehancuran.
·
Bangkitnya individualisme menggerogoti sistem
kemasyarakatan sehingga tidak memberi kemungkinan berkembangnya peradaban yang
tinggi.
Di antara karya yang sempat ada pada
masa ini adalah karya Plotinus yang mencakup keseluruhan filsafat termasuk
Kosmologi dan Fisika. Karya-karya ini merupakan sintesis dari pemikiran
Platonik, Phytagorean, Aristotelian, dan Stoic, yang kemudian dikenal dengan
nama Neoplatonisme. Merupakan filsafat yng dominan dalam dunia pemikiran
Yunani-Roman; sisa-sisa purbakala sampai pada era pertengahan.
Pesatnya pertukaran budaya terjadi setelah
tahun 155 SM, ketika kedutaan Athena tiba di Roma untuk menyampaikan suatu
keputusan yang tidak disukai yang telah diambil oleh penengah Yunani dalam
percekcokan dengan ibu kota negara bagian Oropus. Seruan
tersebut tidak berhasil dan sang duta besar kembali ke Athena, tanpa
menghasilkan apa-apa kecuali stimulasi ceramah filsafat di Roma. Transmisi
pengetahuan dari Athena menuju Roma salah satunya terjadi melalui Alexandria.
Ada keyakinan bahwa Plotinus (205 M.- 270 M.) –filosof Yunani— dilahirkan di
Mesir; ia belajar di Alexandria sebelum pindah ke Roma di usia 40 tahun.
4. Kostantinopel
Sumbangan
Konstantinopel terhadap perkembangan pengetahuan salah satunya adalah dengan
didirikannya Universitas oleh Konstantin di Konstantinopel. Institusi ini
diakui oleh Theodosius II pada tahun 425. merupakan universitas baru yang
menjadi pusat belajar terpenting di kerajaan tersebut. Disamping itu, perlu
pula dicatat beberapa peninggalan seperti karya-karya Proclus yang mencakup
komentar terhadap buku I dari Euclid yang berjudul ‘Element‘ yang
berisikan sejarah geometri Yunani yang sangat kaya serta sebuah risalah yang
berjudul ‘Outline
of Astronomical Hypothesis’, yang merupakan ringkasan dari teori
Hipparchus dan Ptolemy.
5. Jundi Shapur
Pusat intelektual lain yang juga penting
adalah Jundi Shapur, sebuah kota tua di bagian Tenggara lembah Mesopotamia dan
berada di bawah kekuasaan kerajaan Persia Sasaniyah. Kegiatan ilmiah di kota
ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke enam, namun kota ini masih relatif
vital sampai sekitar abad ke 4/10 M, setelah berada di bawah kekuasaan Muslim.
Jundi Shapur menjadi pusat intelektual
terbaik di zamannya, khususnya di bidang kedokteran, matematika dan musik. Nama
Jundi Shapur menjadi terkenal selama periode Islam. Jundi Shapur secara cepat
menjadi pusat ilmu pengetahuan yang utama, khususnya bagi Pengobatan Hipokratik,
yang kemudian diperkuat lagi setelah tahun 489 M., ketika aliran Edessa ditutup
atas perintah penguasa Byzantine. Bersamaan dengan berkembangnya kegiatan
ilmiah di kawasan Sasaniyah Kerajaan Romawi Timur tampaknya lebih banyak
dikuasai oleh Kaisar-kaisar yang tidak mendukung kegiatan ilmiah yang
mengakibatkan ditutupnya sejumlah akademi di beberapa kota. Hal ini secara
langsung menguntungkan kota Persia, Jundi Shapur; banyak ilmuan yang kemudian
meninggalkan Athena, Alexandria dan kota-kota Romawi lainnya lalu memilih untuk
menetap di Jundi Shapur.
6. Edessa,
Harran dan Nisibis: Jalan menuju Baghdad
Di antara kota tujuan para ilmuan yang
meninggalkan Athena dan Alexandria adalah Edessa dan Harran, dua kota
Mesopotamia Utara dimana Kebudayaan Syria Kuno sudah berkembang sejak awal.
Meskipun pada umumnya penduduk daerah ini adalah penganut Kristen Nestoris,
tetapi sebagai sebuah kota ilmiah, para ilmuan pagan pun mendapat tempat
terhormat di sini. Bahkan kegiatan kota Harran cenderung lebih didominasi oleh
para ilmuan pagan, sedangkan Edessa menjadi pusat kegiatan intelektual yang
didominasi oleh para ilmuan Kristen (Nestoris). Karya-karya yang diterjemahkan
saat ini mencakup bidang-bidang matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat.
Pada paruh pertama abad ke-6 M kota Nisibis memiliki sebuah akademi pendidikan
yang mungkin bisa disebut terbaik di dunia kala itu. Di sini berlangsung
kegiatan penerjemahan karya-karya penting Yunani dan Sanskerta ke dalam bahasa
Persia lama (Pahlavi) dan bahasa Syria, oleh para ilmuan Syria, Yahudi, Persia
dan lain-lain. Karya-karya yang diterjemahkan antara lain bidang-bidang
matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Kemunduran Alexandria yang
menyebabkan terjadinya eksodus ilmuan berperan besar dalam penyebaran sains ke
daerah-daerah ini. Setelah dimusuhi di belahan Barat, kelompok ini melarikan
diri ke wilayah Syria dan mendirikan sekolah di Edessa. Ketika pada tahun 489
M, kaisar Romawi Timur memerintahkan agar akademi ilmiah Edessa ditutup, para
ilmuan kembali harus pindah, kali ini ke Nisibis, masih di Mesopotamia Utara.[10]
7. India
Dibanding dengan pusat-pusat kegiatan intelektual yang terdapat di
daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Romawi dan Sasaniayah, India jauh mempunyai
pengaruh yang lebih sedikit dan tak langsung pada perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Hal ini terutama dikarenakan oleh letak geografisnya yang lebih
jauh dari Semenanjung Arabia. Namun demikian perlu kita ingat bahwa daerah ini
telah membuat beberapa kemajuan ilmiah sepanjang abad ke-6 M, yakni abad
menjelang datangnya Islam. India membuat kemajuan berarti di bidang matematika
lewat ilmuan besarnya yang bernama Varahamihira. Kemajuan di bidang ilmu bahasa
ilmu kedokteran, astronomi, geografi, historiografi, dan matematika. Pada abad
yang sama, bangsa Jepang mulai mempelajari ilmu-ilmu Cina melalui para ilmuan
Korea.[11]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpula
Peradaban
Arab pra-Islam, diliputi dengan beberapa aspek diantaranya agama, politik,
ekonomi, dan seni budaya.
Tradisi menulis atau kuttab, kata jadian dari kataba (menulis) sudah dikenal pada zaman pra-Islam dan telah
menjadi lembaga pendidikan dasar untuk mengajarkan tulis baca, berhitung, dan
dasar-dasar agama bagi bangsa Arab pra-Islam.
Menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada
dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi.
Meskipun sistem ekpresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah
mulai dikenal secara terbatas.
Bangsa Arab memiliki kepandaian dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan diantaranya, ilmu astronomi, ilmu astrologi, ilmu
tenung/ sihir, dan ilmu tabib/ kedokteran.
Adapun pusat kegiatan intelektual di luar
Arabia pra-Islam, diantaranya, Athena Klasik, Alexandria Hellenistik,
Romawi Timur, Kostantinopel, Jundi Shapur,
Edessa, Harran dan Nisibis: Jalan menuju Baghdad,
India.
B.
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan makalah ini.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini dan penyusunan
serta penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna
bagi penyusun/ penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Asari, Hasan. 2007. Menyikap Zaman Keemasan Islam. Bandung :
Cita Pustaka Media.
Daftary, Farhad. 2002. Ttradisi-tradisi Intelektual Islam.
Jakarta : Erlangga.
Mufrodi, Ali.1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arah. Jakarta
: Logos
Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Peradaban
Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
2008.
Taswiyah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Diadit
Media Pres.
[1] Munthoha, wijayanto, dkk. Seri Buku ajar.
Pemikiran dan Peradaban Islam. Yoyakarta: UII Press. 1998. Cetakan kedua.
Hlm. 21-24.
[2] Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid .
Hlm. 24.
[3] Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid .
Hlm. 24.
[4] Munthoha, wijayanto, dkk. Ibid . Hlm.
24-25.
[5] Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan
Peradaban Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.
[6] Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm.12.
[7] Suwito. Ibid. Hlm.12.
[9] Subarman, Munir. Sejarah Kelahiran dan
Perkembangan Peradaban Islam. Cet.1. Yogyakarta: Deepublish, Mei 2013.
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .