Pada suatu ketika, KH Abdul Latif bepergian dengan menaiki delman. Kuda
penarik delman itu sangat gesit dan kuat sehingga sang kiai memujinya.
Terjadilah obrolan antara kiai dan sang sais. Kira-kira seperti ini.
<>
“Bagus amat kuda Ini. Kuda dari mana?”
“Dari Sumbawa, Kiai.”
“Dari Sumbawa?” tanya kiai kaget.
“Betul, Kiai.”
“Kalau begitu, saya turun di sini. Sudah saya cukup di sini saja.”
Untuk beberapa saat, sang sais terdiam. Dia tak paham maksud kiai tersebut. Pada akhirnya dia bertanya, “Kenapa, Kiai?”
“Ini kuda dari Sumbawa. Guru saya berasal dari Sumbawa. Saya tak pantas naik kuda ini,” jelasnya.
Setelah membayar ongkos, kiai Abdul Latif pun jalan kaki.
***
KH
Abdul Latif lahir tahun 1817 M/1299 di Desa Cibeber, Cilegon, Banten.
Ayahnya, KH Ali, adalah pejuang mengusir penjajah Belanda. Kiai Ali
adalah teman KH Wasyid dalam peristiwa Geger Cilegon. Karena itu, KH Ali
dibuang Belanda ke Digul. Kemudian dibuang lagi ke Ambon hingga wafat.
Dia dimakamkan di sebuah bukit. Bukit itu kemudian dikenal Puncak Ali
sekitar tahun 1898.
Ia berguru kepada ayahnya. Ia pernah juga
belajar kepada KH as’ad (Ki Buntung, KH Abdul Halim, KH Suchari Thoif
di pesantren Cibeber.
Setelah dewasa ia menikah dengan Hj.
Salkhah binti H Sapta. Pada tahun 1912, bersama istrinya pergi ke
Makkah. Ia bermukim di sana selama 6 tahun. Di sana belajar kepada
ulama-ulama terkenal, di antaranya KH Abdul Hamid Kairo, KH Jasir, KH
Jusuf, dan kepada pamannya yang sudah lama di Makkah, KH Abdul Salam.
Pada tahun 1918, ia pulang kembali ke Cibeber. Ia sempat berguru tarekat kepada KH Asnawi Caringin, Labuan Banten.
Mulai
tahun itu juga, KH Abdul Latif mulai mengajar santri dan masyarakat
sekitar. Pada tahun 1924 ia mendirikan madrasah bernaman Tarbiyatul
Athfal. Karena santri terus bertambah, pada tahun 1926, ia mendirikan
madrasah Jauharotunnaqiyyah.
Dari tahun 1926, ia mulai aktif
berorganisasi. Pilihannya jatuh kepada Nahdlatul Ulama dengan menjadi
Rais Syuriyah NU Kabupaten Serang.
Selain mengajar berorganisasi ia juga menulis kitab. Di antara karyanya adalah Taudikhul
Ahkam, Irsyadul Anam, Bayanul Arkan, Adabul Marah, Tauqilu Tauhid,
Kifayatu Sibyan, Matan Sanusiyah, Mu’awanatul Ikhwan, Sirat Sayyidil
Mursalin.
ia juga menulis kitab Munabbahat, Manaqibu
Syekh Abdul Qodir Jilani, Sejarah Banten, Tajwid Jawi, terjemah
Mawaidzul Ushfuriyh, Tafsir Juz ‘Ama, Tafsir Surat Yasin, Tafsir Surat
Alif Lam Tanzil, Tafsir Surat Al-Baqoroh (bahasa Jawa Banten), Bayanul Maswail, dan Fathu Robbani. (Abdullah Alawi)
Monday, September 11, 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Monggo Komentarnya. . .