Tuesday, September 26, 2017

Kisah Keajaiban Shalawat yang Dialami Kiai Masduqie Machfudh

Shalawat dan shalat jamaah adalah dua “senjata” Achmad Masduqie Machfudh. Tiap menerima aduan masalah dari masyarakat, ia selalu berwasiat untuk membaca shalawat, minimal 1000 kali setiap hari dan 10.000 kali setiap malam Jum’at.

Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015 yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono Malang ini memiliki pengalaman menarik tentang shalawat Nabi, tepatnya pada tahun 1956, saat ia masih duduk di sebuah SLTA di Yogjakarta.

Suatu ketika, ia mendapat gangguan jin di sebuah masjid tempat belajarnya sehingga selama tiga hari Maduqie muda merasa ingin banyak makan tapi anehnya tidak bisa buang hajat. Di hari ke empat, tubuhnya pun sangat panas dan saat itu juga beliau berpesan kepada adiknya.

“Dek, nanti kalau aku mati, tolong jangan bawa pulang janazahku ke Jepara tetapi dikuburkan di Jogja saja,” pinta kiai yang wafat pada 1 Maret 2014 ini kepada sang adik. Kiai Masduqie datang ke Jogja berniat untuk mondok. Beliau khawatir syahidnya hilang jika wafat di Jogja namun jenazahnya dimakamkan di Jepara.

Sontak saja adiknya semakin khawatir kondisinya. Maka diajaklah sang kakak menemui seorang seorang kiai. “Mari kita pergi ke kiai itu, kiai yang Mas biasa ngaji di hari Ahad.”

Kiai Masduqie menerima ajakan adiknya. Pergilah beliau bersama adiknya dengan naik becak dan sampai di rumah pak kiai yang di maksud pada pukul satu malam. Ketika beliau datang, pintu rumah Pak Kiai masih terbuka. Tentu tengah malam itu sang tuan rumah sudah tidak melayani tamu, karena sejak pukul 10 malam adalah waktu khusus Pak Kiai untuk ibadah kepada Allah. Karena melihat Masduqie muda yang datang di tengah malam dengan keadaan payah, kiai pun mempersilahkan Masduqie muda beristirahat di rumah.

Masduqie muda pun tertidur di rumah kiai itu. Baru beberapa jam di rumah kiai, tepatnya pukul 3 malam, beliau terbangun karena merasa mulas ingin buang hajat. Setelah itu, rasa sakit dan panas yang dirasakan sedikit hilang.

Pada pagi harinya, beliau yang masih panas badannya bertemu dengan Pak Kiai. “Pak Kiai, saya sakit”. Bukannya merasa iba, Pak Kiai hanya tersenyum. Dan anehnya, rasa panas yang beliau rasakan hilang seketika itu.

Pak Kiai dawuh, “Mas, sampean gendeng mas.”

“Kenapa gendeng, Yai?” tanya Masduqie muda.

“Iya, wong bukan penyakit dokter, sampean kok bawa ke dokter, ya uang sampean habis. Pokoknya kalau sampean kepengin sembuh, sampean tidak boleh pegang kitab apapun,” jawab kiai.

Jangankan membaca, menyentuh saja tidak diperbolehkan. Padahal pada saat itu, Masduqie muda dua bulan lagi akan mengikuti ujian akhir sekolah.

“Yai, dua bulan lagi saya ujian, kok enggak boleh pegang buku,” Masduqie muda matur kepada Pak Kiai.

Seketika itu Pak Kiai menanggapinya dengan marah-marah, “Yang bikin kamu lulus itu gurumu? Apa bapakmu? Apa mbahmu?”

Masduqie muda menjawab, “Pada hakikatnya Allah, Yai.”

“Lha iya gitu!” timpal Pak Kiai.

“Lalu bagaimana syariatnya (upaya yang dilakukan), Yai?” tanya Masdqie muda lagi.

“Tiap hari, kamu harus baca shalawat yang banyak,” jawab, Pak Kiai.

Masduqie muda kembali bertanya, “Banyak itu berapa, Yai?”

Pak Kiai pun menjawab, “Ya paling sedikit seribu, habis baca 1000 shalawat, minta ‘dengan berkat shalawat yang saya baca, saya minta lulus ujian dengan nilai bagus’.”

Ya sudah, Masduqie muda tidak berani pegang kitab maupun buku, karena memang ingin sembuh. Mendengar cerita dari Masduqie muda, Paman beliau marah-marah. “Bagaimana kamu ini? Dari Jepara ke sini, kamu kok nggak belajar?” Masduqie muda tidak berani komentar apa-apa. Karena beliau menuruti  dawuh kiai untuk tidak menyentuh kitab atau buku, beliau nurut saja.

Menjelang beliau ujian, pelajaran bahasa Jerman, bukunya ternyata diganti oleh gurunya dengan buku yang baru. Karena masih dilarang menyentuh buku, maka beliau tetap taat titah kiai.

Setelah ujian, Masduqie muda dipanggil guru bahasa Jerman.

Pak Guru    : Kamu her.

Masduqie   : Berapa nilai saya pak?

Pak Guru    : Tiga!

Masduqie    : Iya, Pak. Kapan, Pak?

Pak Guru    : Seminggu lagi

Namun setelah seminggu, Masduqie muda tidak langsung mendatangi guru bahasa Jerman, karena larangan pegang buku belum selesai. Baru setelah selesai, Masduqie muda mendatangi Pak Guru.

Masduqie    : Pak, saya minta ujian, Pak.

Pak Guru    : Ujian apa?

Masduqie    : Ya ujian bahasa Jerman, Pak.

Pak Guru    : Lha kamu bodoh apa?

Masduqie    : Lho kenapa, Pak?

Pak Guru    : Nilai delapan kok minta ujian lagi. Kamu itu minta nilai berapa?

Masduqie    : Lho, ya sudah Pak, barang kali bisa nilai sepuluh.

Dari nilai angka 3, karena shalawat, mingkem menjadi angka 8. Setelah itu, beliau tidak pernah meninggalkan baca shalawat. Itulah satu pengalaman shalawat KH Masduqie Mahfudz saat muda.

Wasilah untuk Atasi Penyakit dan Kesulitan

Pengalaman shalawat beliau lagi, yakni ketika Kiai Masduqie harus melaksanakan dinas dinas di Tarakan, Kalimantan Timur. Pada suatu hari, ada tamu pukul 5 sore, dan bilang ke Kiai Masduqie, “Saya disuruh oleh ibu, disuruh minta air tawar.”

Kiai Masduqie mengaku masih bodoh saat itu. Seketika itu ia menjawab, “Ya, silakan ambil saja, air tawar. kan banyak itu di ledeng-ledeng itu.”

“Bukan itu, Pak. Air tawar yang dibacakan doa-doa untuk orang sakit itu, Pak,” kata si tamu.

“O, kalau itu ya tidak bisa sekarang. Ambilnya harus besok habis shalat shubuh persis.”

Kiai Masduqie menjawab begitu karena beliau ingin bertanya kepada sang istri perihal abah mertua yang sering nyuwuk-nyuwuk (membaca doa untuk mengobati) dan ingin tahu apa yang dirapalkan. Ternyata istri beliau tidak tahu tentang doa yang dibaca abahnya di rumah. Padahal Kiai Masduqie sudah janji.

Habis isya’ saat beliau harus wiridan membaca dalail, beliau menemukan hadits tentang shalawat. Inti hadits tersebut kurang lebih, “Siapa yang baca shalawat sekali, Allah beri rahmat sepuluh. Baca shalawat sepuluh, Allah beri rahmat seratus. Baca shalawat seratus, Allah beri rahmat seribu. Tidak ada orang yang baca shalawat seribu, kecuali Allah mengabulkan permintaanya.”

Setelah mencari di berbagai kitab, ketemulah hadits tersebut sebagai jawabannya. Lalu belaiu pun bangun di  tengah malam, mengambil air wudlu dan air segelas, setelah itu membaca shalawat seribu kali. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinâ Muhammad.

Setelah beliau selesai membaca seribu shalawat, beliau berdoa, ”Allahumaj’al hadzal ma’ dawâ-an liman syarabahu min jamî’il amrâdh”. Arti doa tersebut, “Ya allah, jadikanlah air ini sebagai obat dari segala penyakit bagi peminumnya”. Lalu meniupkan ke air gelas dan baca shalawat satu kali lagi. Di pagi hari, diberikanlah air tersebut kepada orang yang memintanya.

Setelah tiga hari, ada berita dari orang tersebut bahwa si penderita penyakit sudah sembuh setelah meminum air dari Kiai Masduqie. Padahal, sakitnya sudah empat bulan dan belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Dokter pun sudah tidak sanggup menangani penyakit yang diderita orang ini dan menyarankan untuk mencari obat di luar. Anehnya, pemberi kabar itu mengatakan bahwa Kiai Masduqie selama tiga hari itu mengelus-elus perut orang yang sakit.

Mengelus-ngelus perut? Tentu saja tidak, apalagi si penderita penyakit adalah perempuan yang bukan mahramnya. Hal itu juga mustahil karena Kiai Masduqie selama tiga hari di rumah saja. Berkat shalawat, atas izin Allah penyakitnya sembuh.

Sejak peristiwa itu di Kalimantan timur Kiai Masduqie terkenal sebagai guru agama yang pintar nyuwuk. Sampai penyakit apa saja bisa disembuhkan. Jika beliau tidak membacakan shalawat, ya istri beliau mengambilkan air jeding, yang sudah dipakai untuk wudlu. Ya sembuh juga penyakitnya. Inilah pengalaman shalawat Kiai Masduqie ketika dinas di Kalimantan.

Cerita lain, suatu ketika beliau harus ke Samarinda dengaan naik kapal pribadi milik Gubernur Aji Pangeran Tenggung Pranoto. Dalam pertengahan perjalanan melalui laut, tepatnya di Tanjung Makaliat kapal yang diinaikinya terkena angin puting beliung. Maka goyang-goyanglah kapal tersebut. Kiai Masduqie sadar, berwudlu, lalu naik ke atas kapal. Beliau ajak para awak kapal untuk mengumandangkan adzan agar malaikat pengembus angin dahsyat tersebut berhenti. Lalu berhentilah angin tersebut. Inilah salah satu pengalaman shalawat Kiai Masduqie.

“Kalau ada orang menderita penyakit aneh-aneh, datang ke Mergosono, insya Allah saya bacakan shalawat seribu kali. Kalau ndak mempan sepuluh ribu kali, insyaallah qabul,” kata Kiai Masduqie saat pengajian di Majelis Riyadul Jannah.

“Berkat shalawat Nabi, sampean tahu sekarang, saya bangun pondok sampai tingkat tiga, nggak pernah minta sokongan dana masyarakat, mengedarkan edaran, proposal nggak pernah. Modalnya hanya shalawat saja. Uang yang datang ya ada juga, tapi nggak habis-habis. Itu berkat shalawat,” lanjut Kiai Masduqie dalam pengajiannya.

Kisah lainnya, suatu ketika, seorang bidan mengadu kepada Kiai Masduqie tentang suaminya yang pergi meninggalkannya karena terpikat dengan wanita lain. Ia berharap suaminya bisa kembali. Abah, demikian para santrinya menyapa, menjawab bidang tersebut dengan tegas menganjurkan untuk baca shalawat. Bidan pun secara istiqamah mengamalkannya, dan dalam selang beberapa lama suaminya kembali seraya bertobat.

Kiai Masduqie memiliki sembilan putra/putri ini yang di samping sarjana juga bisa membaca kitab semua. Saat anak beliau ada yang mau ujian, di samping putranya juga disuruh baca shalawat, belaiu juga membacakan shalawat untuk kelancaran dan kesuksesan putra-putrinya.

Kiai Masduqie pernah dawuh, ”Berkat shalawat Nabi SAW, semua yang saya inginkan belum ada yang tidak dituruti oleh Allah. Belum ada permintaan yang tidak dituruti berkat shalawat Nabi. Semua permintaan saya terpenuhi berkat shalawat”.

Shallu ‘alan Nabi Muhammad! Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.


Indirijal Lutofa, Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono, Malang dan mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang. Kisah ini diperoleh pendengaran langsung penuturan Kiai Masduqie saat memberikan penggajian di Majlis Ta'liim wal Maulid Riyadhul Jannnah Malang, Jawa Timur dan kisah yang dituturkan putranya.
http://www.nu.or.id

Kisah Nyata Ulama Dikubur dan Hidup Kembali

Suatu saat, Abdullah bin Umar Al Baidlawi sudah dianggap meninggal oleh orang-orang di sekitarnya. Usai dirawat sebagaimana jenazah pada lazimnya, ia dikebumikan dan diratakan tanah di atas pusaranya. Namun, setelah dikubur, Abdullah ternyata belum mati. Hanya jantung dan napasnya yang berhenti sementara.

Demikian dikatakan Habib Abdullah bin Abdurrahman Al-Muhdlar dari Hadramaut, Yaman saat menjawab pertanyaan salah satu pengunjung tentang mati suri dalam acara Haflah Akhir Sanah Pesantren Darut Tauhid Al Huda, Jatilawang, Wanayasa, Banjarnegara, Rabu (25/5).

Ia melanjutkan, karena orang tersebut hidup namun tidak bisa keluar dari dalam kuburan, Abdullah bin Umar kemudian bernadzar. Jika saya bisa hidup kembali ke dunia sebagaimana semula, aku bernadzar akan menafsiri Al-Qur’an.

Ternyata, tidak sampai selang waktu lama, ada seorang yang berprofesi sebagai pencuri kain kafan datang menggali kuburan di mana Abdullah dikebumikan. Ia kaget bukan kepalang. Jenazah yang ia gali dapat bergerak sendiri. Ia pun lari tunggang-langgang.

Habib muda ini melanjutkan, jenazah yang hidup lagi ini lalu menyeru kepada pencuri, “Hai, jangan lari, kemari! Begini, kamu ini ingin mencuri kain kafanku bukan?”

“Iya,” jawab pencuri.

“Sekarang, bawalah kain kafanku ini dan katakan kepada orang kampung suruh mereka mengirimkanku pakaian kemari,” pesan Abdullah. Dan benar, setelah kembali, Abdullah bin Umar ini menyusun tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil yang terkenal dengan Tafsir Al-Baidlawi.

Habib Muhdlar menyimpulkan dengan adanya kisah tersebut, bahwa siapa pun dalam memutuskan perkara harus ada kalimat wallahu a’lam. Manusia hanya memutuskan yang tampak lahir saja. Sedangkan hakikatnya hanya Allah yang maha tahu.

“Seperti dokter di akhir zaman ini yang langsung memvonis mati salah satu pasien, misalnya. Mereka tanpa mengatakan allahu a‘lam. Padahal ini hanya pengetahuan saja. Bukan hakikat sebagaimana yang terjadi dalam cerita di atas,” tandasnya.

Maka tak jarang, lanjutnya, banyak orang mati yang hakikatnya belum mati namun ia mati justru baru saat ia dikubur, karena ia tak bisa bernapas atau yang lainnya sedangkan dokter memang sudah memberikan vonis mati. Di sinilah pentingnya kalimat allahu a’lam.

Terakhir, dai dari Yaman ini berpesan supaya tidak terlalu terburu-buru dalam mengurus jenazah. Cepat itu perlu, tapi jangan terlalu. Ciri-ciri orang mati setidaknya ada tiga hal, di antaranya hidung yang sudah melenceng, seperti meleleh ke samping, telapak kaki yang sudah tidak tegak ke atas, dan mulut yang berbau busuk. (Mundzir/Zunus)
nu online.com

KISAH YANG DISAMPAIKAN AL HABIB MUNZIR AL MUSAWA :

AL HABIB UMAR BIN HAFIDZ :
RASULULLAH SAW TELAH BERSABDA BAHWA TIDAKLAH SESEORANG BERSALAM KEPADA PENDUDUK KUBUR, KECUALI ALLAH SWT MEMBUAT MEREKA MENJAWAB SALAM TERSEBUT...
KISAH YANG DISAMPAIKAN AL HABIB MUNZIR AL MUSAWA :
Dahulu ketika saya di Hadramut ada seorang Shalih yang Ahli Ibadah, ia selalu pergi Berziarah ke suatu Makam orang Shalih di masanya, dan suatu ketika saya juga pergi menziarahi Makam tersebut.
Kemudian orang Shalih itu berkata kepadaku : “Engkau menziarahi Makam ini dan mengucapkan Salam kepada Shahibul Makam, apakah engkau mendengar jawabannya?”. lalu saya menjawab : “Tidak, saya tidak mendengar jawabannya”.
Maka orang Shalih itu berkata : “Jika demikian, maka engkau telah bersalam kepada batu bukan kepada Shahib Makam, dan jika engkau Bersalam kepada Shahib Makam maka engkau akan mendengar jawaban darinya karena menjawab Salam hukumnya Wajib”.
Mendengar ucapan tersebut saya pun kebingungan dan tidak bisa menjawab, kemudian saya bertanya kepada Guru Mulia akan hal ini, apakah saya menziarahi batu karena ketika saya Bersalam kepada orang yang di dalam Kubur itu maka saya tidak mendengar jawabannya.
Sebagaimana Guru Mulia ; Al Habib Umar bin Hafidz, pemahaman Beliau akan Ilmu jauh lebih mendalam dari orang tersebut. Maka Guru Mulia berkata: “Betul, bahwa orang yang Berziarah terkadang tidak mendengar jawaban Salam dari Shahib Makam, namun menurut keyakinanmu apakah Shahib Makam itu menjawab Salammu atau tidak?”,
Maka saya menjawab : “Ya tentu dia menjawab salamku wahai Guru”.
Guru Mulia berkata : “Ya betul, Shahib Makam itu menjawab salammu, karena Rasulullah Saw telah Bersabda bahwa tidaklah seseorang Bersalam kepada Penduduk Kubur kecuali Allah Swt membuat mereka menjawab Salam tersebut, maka Shahib Makam itu juga menjawab Salammu sehingga kamu tidaklah Berziarah kepada batu”.
Subhanallah...Sangat berbeda antara pandangan keduanya, dimana orang yang pertama berpendapat atau ucapannya terkadang membuat orang yang mendengar kecewa dan sakit hati, namun orang yang mempunyai pemahaman yang lebih dalam tentang ilmu jawaban atau pendapatnya mententramkan orang yang mendengarnya.
Maka bukan hal yang penting apakah kita mendengar dari Ahlu Kubur jawaban salam kita atau tidak, namun yang terpenting adalah bahwa salam kita dijawab oleh Ahlu Kubur tersebut.
Sebagaimana pula ketika kita Berdoa kepada Allah Swt dan mengangkat kedua tangan kita, maka kita tidak pernah mendengar jawaban dari Allah, namun apakah hal itu berarti Allah tidak mendengar atau tidak menjawab Doa kita?.
Tentunya tidak demikian, karena Jawaban Allah Swt bukanlah berupa suara, akan tetapi Jawaban Allah atas doa-doa Hamba-Nya berupa Limpahan Anugerah dari Kedermawanan-Nya Yang Maha Agung dan Maha Luhur.
Allahumma Shalli 'Alaa Sayyidina Muhammad Wa 'Alaa Aali Sayyidina Muhammad.

Monday, September 25, 2017

Ini Doa Cegah Gagal Panen

Mereka yang mengambil profesi sebagai petani tentu akan berharap kerja cocok tanamnya memberikan syukur-syukur hasil yang terbaik. Tidak gagal saja sudah sangat syukur. Pasalnya kegagalan panen berdampak luas selain kerugian pada permodalan.

Selain memberikan pupuk yang cocok dan menjaganya dari gangguan hama, petani juga perlu melakukan upaya lain untuk mengamankan ladang atau lahan pertaniannya seperti berdoa, bersedekah, atau mengadakan selamatan.

Berikut ini adalah doa Rasulullah SAW saat salah seorang warga menunjukkan buah kurma yang pertama matang dari ladangnya.

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ ثَمَرِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا

Allâhumma bârik lanâ fî tsamarinâ, wa bârik lanâ fi madînatinâ, wa bârik lanâ fî shâ‘ina, wa bârik lanâ fî muddinâ.

Artinya, “Tuhanku, berkatilah kami pada buah-buahan kami. Berkatilah kami pada kota kami. berkatilah kami pada gantang kami. berkatilah kami pada alat takar (mud) kami.”

Pada riwayat lain, Rasulullah SAW memohon keberkahan dari hasil panen. Rasulullah membaca doa seperti ini.

بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ

Barakatan ma‘a barakatin

Artinya, “Semoga Allah menambah keberkahan berlipat ganda.”

Secara jelas Rasulullah SAW berdoa agar Allah SWT memelihara ladang yang sudah mulai berbuah hingga akhir masa panen dari segala gangguan yang menyebabkan gagal panen. Inilah doanya.

اَللَّهُمَّ كَمَا أَرَيْتَنَا أَوَّلَهُ فَأَرِنَا آخِرَهُ

Allâhumma kamâ araitanâ awwalahû, fa arinâ âkhirahû

Artinya, “Tuhanku, perlihatkanlah kepada kami hasil akhir cocok tanam kami sebagaimana Engkau memperlihatkan hasil awalnya.”

Rasulullah SAW membaca doa ini agar salah seorang warga pemilik ladang yang mendatanginya tidak mengalami gagal panen. Kemudian Rasulullah memanggil salah seorang anak kecil yang ada di dekatnya. Beliau kemudian memberikan buah hasil panen pertama yang dibawa petani itu kepada anak tersebut.

Semua doa Rasulullah SAW ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkar. (Alhafiz K)

Gus Mus: Manusia Tidak Adil Karena Benci dan Cinta

Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri mengatakan, agar manusia bisa mengamalkan apa yang disampaikan Nabi Muhammad, yaitu menyempurnakan akhlak, maka harus bersikap adil. Menurutnya, Al-Qur’an banyak sekali menyebut tentang sikap adil.

“Di Surat Al-Maidah ayat delapan ada itu. Di surat Annisa ayat seratus tiga puluh lima. Awalnya hampir sama (antara Al-Maidah delapan dan Annisa seratus tiga puluh lima), ‘Ya ayyuhalladzina kunu qowwamina bukan lillah, bis qisthi syuhada’a lillah’,” kata Gus Mus di Masjid Bayt Al-Qur’an Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Kamis (11/5) malam.

Surat Annisa tersebut, kata kiai akrab disapa Gus Mus, menjelaskan bahwa kalau seseorang tidak adil berarti tidak karena Allah. Kalau seseorang melakukan sesuatu karena Allah maka ia akan berlaku adil.

Manusia sulit berlaku adil karena mereka memiliki emosi yang condong ke arah benci maupun ke arah cinta terhadap suatu hal ataupun seseorang. Oleh karena itu, Nabi Muhammad mengajarkan untuk bersikap moderat ataupun tengah-tengah. Karena adil tidak bisa dilakukan oleh orang yang terlalu cinta maupun orang yang terlalu benci.

“Anda kalau terlalu benci, Anda tidak bisa adil. Anda terlalu cinta, tidak bisa adil. Karena adil itu di tengah,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin itu.

Sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat delapan tersebut, Gus Mus menyatakan, jika seseorang ingin melaksanakan kebenaran maka sikap adil harus menjadi landasannya. Menurutnya, seseorang harus adil meskipun di dalam menegakkan kebenaran.

“Kalau kita terlalu semangat, lalu kita lupa bahwa kita harus adil meskipun di dalam menegakkan kebenaran,” urainya.

Bahkan, jangan sampai kebencian seseorang terhadap suatu hal ataupun orang lain menyebabkannya untuk tidak berbuat adil.

“Jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeretmu, mendorongmu untuk tidak adil,” terangnya.

Kata kaum di dalam Surat Al-Maidah itu, imbuh Gus Mus, merujuk kepada orang-orang kafir. Maka dari itu, ia berpendapat, berbuat tidak adil kepada orang kafir saja dilarang, apalagi kepada sesama umat Islam.

“Kalau kepada orang kafir saja kita tidak boleh tidak adil, apalagi kepada sesama kaum yang beriman,” tutupnya. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)
nu online

Gus Muwafiq Syarahkan Hakikat Manusia dengan Surat At-Tin

Kiai nyentrik asal Yogyakarta KH Gus Muwafiq menerangkan secara singkat surat At-Tin. Menurutnya, manusia diciptakan dengan bentuk yang "fi ahsani taqwim" sehingga setiap orang akan senang melihatnya.

Hal itu dikatakannya saat memberikan tausiyah pada Dzikir Akbar Peringatan Tahun Baru Islam 1439 Hijriyah Pemkab Tegal, di Alun-alun Hanggawana, Slawi, Kamis (21/9) malam.

"Kalian melihat bayi pasti ingin menciumnya. Kalau bayi baru bisa bicara, ditunggu momen bicaranya, baru bisa ‘ta ta ta’ saja senangnya bukan main," ujarnya.

Gus Muwafiq mengingatkan, manusia suatu saat akan mengalami "tsumma radadnahu asfala safilin". "Manusia nanti akan menua, yang tadinya banyak yang kepengin mencium, setelah ‘asfala safilin’ tidak ada yang mau mencium. Ketika jalan susah tidak ada yang mau bantu jalan," terangnya.

Menurut kiai ini, kalau nasib kita tidak mau seperti itu, syaratnya ada dua. "Alladzina amanu wa 'amilusshalihati falahum ajrun ghairu mamnun". Syaratnya yakni iman dan amal saleh.

"Kalau punya syarat ini, insya Allah tidak akan ditinggalkan orang. Malah orang pada rebutan. Contohnya siapa? Ya contohnya Abah Habib Lutfi ini. Ia sudah sepuh, tapi karena ‘amanu wa amilushalihat’, maka ketika ia datang orang-orang berebut ingin menciumnya. Orang-orang menunggu apa yang akan disampaikannya, dan kalau beliau matur orang-orang akan senang," kata Gus Muwaffiq.

Ia melanjutkan, kalau kita mau membedah lebih luas makna Surat At-Tin, kita akan temukan Allah menggambarkan Nabi Ulul Azmi lewat simbol. "Wat Tini" ini buah Tin, simbol Nabi Nuh AS. "Waz Zaituni" buah Zaitun ini simbol dari Nabi Ibrahim dan Nabi Isa Alaihissalam karena buah Zaitun ini banyak di Palestina, di mana keduanya berdakwah. "Wa Turisinina" kala ini jelas simbol untuk Nabi Musa AS.

Sedangkan, Nabi Muhammad SAW ternyata mendapat simbol "wa hadzal baladil amin". Ini yang perlu dicermati, bahwa Nabi Muhammad SAW melandasi dakwahnya bukan hanya untuk "amanu wa amilushalihati" tapi juga untuk membuat sebuah negara yang aman.

"Ini yang perlu dicontoh oleh kita sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim," pungkasnya.

Turut hadir dalam kesempatan itu, Mustasyar PBNU Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Bupati Tegal Enthus Susmono, Wakil Bupati Tegal Umi Azizah, Ketua PCNU Kabupaten Tegal H Akhmad Wasyari, dan sejumlah undangan lain. (Hasan/Alhafiz K)


Ketika Mbah Hamid Pasuruan Dirasani Habib Jafar alkaff

suatu ketika, zaman dulu waktu itu mbah Yai Hamid Pasuruan masih hidup. Habib Ja’far melakukan kebiasaannya, yakni “jalan2” dan menginap di rumah yg jelek (di daerah pasuruan).
Setelah di silahkan tuan rumah. Beliau mendapati salah satu penghuni rumah yg akan melahirkan.
Dinanti satu jam, dua jam lebih ternyata sang bayi belum mau keluar juga.
Akhirnya Bu Bidan memvonis: "Kandungan ini harus di operasi!!".
Seketika seluruh penghuni rumah sedih bukan kepalang.

"Duh gusti,, uang dari mana lagi. Lawong untuk makan saja susah", keluh salah satu penghuni rumah.
Lalu Habib Ja’far berkata: "ini daerah pasuruan kan? (Iya: jawab mereka), Kalau memang mbah Yai Hamid benar2 wali. Maka sebentar lagi dia pasti akan datang di daerah yg merupakan kekuasaannya!!".
Tidak butuh lama, tiba2 dari arah depan pintu ada orang yg mengucapkan salam: "Assalamu’alaikum..." Semuanya bergegas menyambut.
Dan ternyata, Mbah Yai Hamid sudah ada di depan pintu sambil membawa bungkusan plastik berisi air putih!!!. Setelah bersalaman dan berangkulan dengan habib Ja’far. Beliau berkata: "Ini Yek pesanan njenengan. Langsung diminumkan saja, Insya Allah sembuh".
Lalu beliau langsung pamit.
Air putih itu langsung diminumkan ke ibu hamil itu. Dan seketika, dengan lancarnya sang jabang bayi keluar. Dan tidak jadi operasi...
------------------------------------------
Diceritakan oleh Habib Umar Muthohhar yg menemani Habib Ja'far "jalan2" saat itu.
اللهم انفعنا بعلومهما فى الدارين... آمين يا مجيب السائلين

Sunday, September 24, 2017

Ulama Dianggap Sombong karena tidak Mau Dekati Anjing

Suatu malam, Abu Yazid Al-Busthomi sedang berjalan sendirian. Lantas ia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya. Anjing itu cuek saja jalan, tidak menghiraukannya. Namun ketika jarak anjing itu makin dekat dan akan berpapasan dengannya, Al-Busthomi mengangkat gamisnya, khawatir tersentuh anjing yang najis itu.
Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya, “Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Bila pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7x dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat gamismu karena menganggap dirimu yang berbaju badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yg berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan 7 samudera”. Abu Yazid tersentak dan minta maaf. Lalu sebagai permohonan maafnya dia mengajak anjing itu untuk bersahabat dan berjalan bersama. Tapi si anjing itu menolaknya. “Engkau tidak pantas berjalan denganku. Mereka yg memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa orang-orang menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah, aku juga tidak menyimpan dan membawa sepotong tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum.” Lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid. Abu Yazid masih terdiam, “Duh Gusti, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-MU saja aku tak pantas. Bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-MU, ampuni aku dan sucikan hatiku dr najis, Ya Allah.” *)

Apakah Sama Tabaruk Kepada Nabi dan Kiai?

Bertabaruk kepada Rasulullah SAW sudah sangat jelas tuntunanya dalam hadits. Bahkan beberapa sahabat telah mencontohkan berbagai cara untuk bertabaruk kepada Rasulullah SAW.

Ada beberapa hadits yang menjelaskan sifat dan macam-macam tabaruk sahabat kepada Rasul SAW. Ada sahabat yang bertabaruk dengan tubuh Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah (HR Bukhari-Muslim), rambut Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Thalhah (HR Muslim), liur Rasul sebagaimana dilakukan Asma binti Abu Bakar (HR Bukhari-Muslim), keringat Rasul sebagaimana yang dilakukan Ummu Salim dan hal itu diafirmasi kebenarannya oleh Rasul (HR Muslim), bahkan barang-barang yang pernah disentuh Rasul pun dijadikan tabaruk oleh sahabat, salah satunya adalah minuman (HR Bukhari dalam Kitab Al-Asyribah).

Tetapi, bolehkah kita menggunakan cara tabaruk yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah SAW dengan tabaruk kita kepada para kiai dan guru-guru kita? Apakah bisa disamakan antara bertabaruk dengan Rasulullah SAW dan bertabaruk (ngalap berkah) dengan orang saleh zaman sekarang seperti kiai? Mengingat derajat antara kiai dan Nabi sangat berbeda jauh.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa hadits-hadits di atas merupakan dalil kebolehan untuk tabarruk dengan bekas orang saleh. Tentunya kiai juga merupakan orang saleh. Sah-sah saja kita untuk bertabaruk kepada para kiai sebagaimana para sahabat bertabaruk kepada Rasulullah SAW.

Bahkan Ibnu Hibban dalam Sahih-nya membuat dua bab khusus yang menjelaskan kebolehan bertabaruk dengan orang saleh dan ahli ilmu. Dua bab itu adalah

ذِكْرُ مَا يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْءِ التَّبَرُّكُ بِالصَّالِحِينَ، وَأَشْبَاهِهِمْ

Artinya, “Bab menjelaskan kesunahan bagi seseorang untuk bertabaruk dengan orang saleh dan orang yang serupa dengan orang saleh.”

ذِكْرُ إِبَاحَةِ التَّبَرُّكِ بِوَضُوءٍ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانُوا مُتَّبِعِينَ لَسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya, “Bab menjelaskan tentang kebolehan bertabaruk dengan wudhunya orang saleh yang merupakan bagian dari ahli ilmu jika mereka mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah.”

Dari dua bab di atas, Ibnu Hibban ingin menyebutkan bahwa bertabaruk seperti yang dilakukan oleh para sahabat kepada Rasul itu boleh dilakukan oleh orang lain kepada orang yang saleh asalkan orang tersebut menjalankan sunah-sunah Rasulullah SAW.

Ibnu Hibban dalam bab pertama yang saya sebutkan menjelaskan sebuah hadits tentang anjuran Rasul untuk bertabaruk kepada orang yang lebih tua.

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

Artinya, “Keberkahan itu terdapat pada orang-orang yang lebih tua (lebih berilmu) dari kalian.”

Hadits di atas dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak alas Sahihain-nya dan menyatakan bahwa hadits di atas sahih sesuai dengan syarat Bukhari.

Makna lebih tua dalam hadits di atas bukan cukup lebih tua secara umur akan tetapi lebih ahli secara ilmu. Jika ada anak kecil yang lebih berilmu dan mumpuni, maka anak kecil tersebut juga termasuk akabir dalam hadits di atas. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Minawi dalam kitab Faidhul Qadir-nya.

Dalam prespektif Ibnu Hibban ini, tentu seorang kiai yang setiap harinya mengajarkan agama dan ilmu-ilmu keislaman kepada para santrinya bisa dikategorikan sebagai orang saleh yang mengikuti sunah Rasul. Dan bukan haram, bidah, bahkan musyrik untuk ngalap barakah kepadanya.

Memang beberapa ulama mengatakan bahwa tabaruk yang dilakukan sahabat kepada Rasul itu tidak bisa disamakan dengan bertabaruk kepada orang saleh lain selain Rasul. Pendapat ulama ini bertujuan untuk berhati-hati agar tidak terjadi perbuatan syirik dan ghuluw (perbuatan kelewat batas). Jika tidak terjadi demikian ketika bertabaruk kepada orang saleh yang lain seperti kiai, maka hal itu tentu diperbolehkan. Wallahu a’lam. (M Alvin Nur Choironi)

Kisah Kewafatan al-Habib ‘Abdul Qadir bin ‘Abdurrahman Assegaf

Kisah Kewafatan al-Habib ‘Abdul Qadir bin ‘Abdurrahman Assegaf (Ayahanda al-Habib Syech bin ‘Abdul Qadir Assegaf, Solo), Wafat Dalam Keadaan Sujud Sebagai Imam Saat Sholat Jum'at
Shaf pertama penuh berdesak-desakan. Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf mengisyaratkan kepada Habib Najib bin Thoha Assegaf agar maju ke shaf pertama di belakang beliau.
Melihat shaf pertama yang telah penuh berdesak-desakkan itu Habib Najib bin Thoha berkata, “Shaf pertama telah penuh, wahai Habib.”
Mendengar jawaban itu Habib Abdul Qadir menjawab dengan penuh kewibawaan, “Wahai anakku, majulah, kau tak mengetahui maksudku!”
Jawaban itu menjadikan Habib Najib bin Thoha spontan maju ke shaf pertama, walaupun harus memaksakan diri mendesak shaf yang telah penuh itu. “Allaahu akbar”.
Shalat Jum’at mulai didirikan. Habib Abdul Qadir membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat setelahnya dalam keadaan menangis. Di rakaat kedua pada sujud terakhir, beliau tak kunjung bangkit dari sujudnya. Suara nafasnya terdengar dari speaker masjid.
Karena sujud itu sudah sangat lama, maka Habib Najib bin Thoha memberanikan diri untuk menggantikan beliau.
“Allaahu akbar”, ucapan salam untuk mengakhiri shalat diucapkan. Para jamaah berhamburan lari ke depan ingin mengetahui apa yang terjadi pada habib Abdul Qadir.
Saat itu mereka mendapati Habib Abdul Qadir tetap dalam keadaan sujud tak bergerak. Lalu tubuh yang bersujud itu dibalik oleh para jamaah, dan terlihatlah wajah Habib Abdul Qadir.
Maasya-Allaah, setiap orang yang melihat wajah beliau, menitikkan air mata. Bagaimana tidak menitikkan air mata? Mereka melihat wajah Habib Abdul Qadir tersenyum dengan jelas sekali. Tersenyum bahagia. Habib Abdul Qadir wafat dalam keadaan menikmati amal yang terindah.
Di saat melakukan ibadah yang teragung yaitu shalat. Mendirikan shalat itu dalam kondisi yang terutama, yaitu shalat berjamaah. Melakukan shalat yang bermuatan besar, yaitu shalat Jum’at. Pada saat melaksanakan rukun shalat yang terutama, yaitu sujud. Dalam posisi yang terpenting, yaitu sebagai imam shalat Jum’at. Di tempat yang paling utama, yaitu masjid. Di hari yang paling utama, yaitu hari Jum’at.

Kisah Taubatnya Seorang Hafidz yang Menentang Maulid

MusliModerat.Com - Pada suatu ketika ada seorang Arab yang datang menemui Sayyidil Habib Hasan bin Jafar Assegaf (Pengasuh Majelis Nurul Musthofa Jakarta). Orang Arab ini kemudian bercerita tentang mimpi yang ia alami dimana dalam mimpinya itu ia mendapatkan siksaan yang tiada henti-hentinya sampai ia menjerit-jerit kesakitan.

Lima tahun, orang Arab ini hidupnya tak bisa tenang dan hanya bisa menyimpan perasaan tersebut, hingga akhirnya baru kali ini ia menceritakan kejadian yang ia alami itu kepada Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Ia kemudian menceritakan peristiwa tersebut sambil menangis terseduh-terseduh.

Habib Hasan bin Ja’far Assegaf kemudian bertanya kepada orang Arab itu, “Apakah anda membaca Qur’an?”.
“Saya hafal Qur’an dan banyak hadits”, jawabnya.
Habib Hasan bin Ja’far Assegaf kembali bertanya, “Apakah anda melawan kepada kedua orangtua dan guru?”
Ia menjawab, “Saya orang yang paling perhatian dengan keduanya”.
Lagi, Habib Hasan bin Ja’far Assegaf bertanya, “Apakah anda ziarah makam nabi?”
Mendengar pertanyaan ini, ia pun menjerit dan menangis sambil berkata, “Wahai Habib Hasan, dulu Saya pernah mengharamkan membaca maulid dan ziarah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Saya pikir itu bid’ah dan semua bid’ah di neraka, taunya Saya yang masuk neraka (dalam mimpinya)”.
Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lalu berpesan kepada orang Arab itu untuk memperbanyak membaca shalawat. Kemudian orang Arab ini pun berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membacakan maulid nabi bersama teman-temannya di makam Nabi Muhammad Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Subhanallah, semoga semakin banyak saudara-saudara kita yang mendapat hidayah dari Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dalam naungan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
اللَّهُمَّ يا اللهُ يا هادي صَلِّ على عَبْدِكَ و حَبِيبِكَ سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الهادي و على آلِهِ و صَحْبِهِ و سَلِّمْ تَسْلِيما

Saturday, September 23, 2017

Tips Agar Mudah Menghafal Ilmu

Ada seorang santri dari Indonesia menuntut ilmu di Rubath Tarim pada zaman Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri.
Setelah di sana 4 tahun, santri itu minta pulang. Dia pamit minta izin pulang kepada Habib Abdullah.
“Habib, saya mau pulang saja".
“Lho, kenapa?” tanya beliau.
“Bebal otak saya ini. Untuk menghafalkan setengah mati, tidak pantas saya menuntut ilmu, saya minta izin mau pulang".
Habib Abdullah berkata “Jangan dulu, sabar”.
“Sudah Bib, saya sudah empat tahun bersabar, sudah tidak kuat, lebih baik saya menikah saja”.
Lalu beliau berkata “Sebentar, saya mau mengetes dulu bagaimana kemampuanmu menuntut ilmu".
Santri itu menjawab “Sudah bib, saya menghafalkan setengah mati, tidak hafal- hafal.”
Habib Abdullah kemudian masuk ke kamar, mengambil surat-surat untuk santri itu.
Pada masa itu surat-surat dari Indonesia ketika sampai di Tarim tidak langsung diberikan.
Surat tersebut tidak akan diberikan kecuali setelah santri itu menuntut ilmu selama 15 tahun.
Kemudian Habib Abdullah menyerahkan seluruh surat itu kepadanya, kecuali satu surat.
Setelah diterima, dibacalah surat-surat itu sampai selesai. Satu surat yang tersisa kemudian diserahkan.
“Ini surat siapa?” tanya Habib.
“Owh, itu surat ibu saya.”
“Bacalah!”
Santri itu menerima surat dengan perasaan senang, kemudian dibacanya sampai selesai.
Saat membaca, kadang dia tersenyum sendiri, sesekali diam merenung, dan sesekali dia sedih.
“Sudah kamu baca?” tanya beliau lagi.
“Sudah ya habib.” “Berapa kali?” tanya beliau.
“Satu kali ya habib." “Tutup surat itu! Apa kata ibumu?”.
“Ibu saya berkata saya disuruh mencari ilmu yang bener, bapak sudah membeli mobil baru. Adik saya sudah diterima bekerja di sini, dan lain-lain.”
Isi surat yang panjang itu dia berhasil menceritakannya dengan lancar dan lengkap. Tidak ada yang terlewatkan.
“Baca satu kali kok hafal? Katanya bebal gak hafal-hafal, sekarang sekali baca kok langsung hafal dan bisa menyampaikan.” kata Habib dengan pandangan serius.
Santri itu bingung tidak bisa menjawab. Dia menganggap selama ini dirinya adalah seorang yang bodoh dan tidak punya harapan. Sudah berusaha sekuat tenaga mempelajari ilmu agama, dia merasa gagal. Tetapi membaca surat ibunya satu kali saja, dia langsung paham dan hafal.
Habib Abdullah akhirnya menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi. Beliau mengatakan:
ﻷﻧﻚ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﻣﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ ﻓﻠﻮ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻧﺒﻴﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ
ﻟﺤﻔﻈﺖ ﺑﺎﻟﺴﺮﻋﺔ
“Sebab ketika engkau membaca surat dari ibumu itu dengan perasaan gembira. Ini ibumu, coba jika engkau membaca syariat Nabi Muhammad Saw dengan bahagia dan bangga, ini adalah Nabiku, niscaya engkau sekali baca pasti langsung hafal. ”
Banyak saudara-saudara kita (atau malah kita sendiri) yang tanpa sadar mengalami yang dirasakan santri dalam kisah di atas. Jawabannya adalah rasa cinta.
Kita tidak menyertakan perasaan itu saat membaca dan mempelajari sesuatu, sehingga kita merasa diri kita bodoh dan tidak punya harapan sukses.
Banyak orang merasa bodoh dalam pelajaran, tetapi puluhan lagu-lagu cinta hafal di luar kepala. Padahal tidak mengatur waktu khusus untuk menghapalkannya.
اللهم افتح علينا فتوح العارفين وارزقنا فهم النبيين وإلهام الملائكة المقربين برحمتك يا ارحم الراحمين
(Habib Abdullah bin Umar Assyatiriy adalah ayahanda Habib Salim bin Abdullah Assyatiriy)

Thursday, September 21, 2017

Sambi ngopi kersane padang

MusliModerat.net - Sambi ngopi kersane padang. :
“Barang siapa yang mati, diperutnya ada sisa-sisa kopi,
ia tidak akan ditanya oleh malaikat”.

Dalam salah satu pengajiannya Habib Umar al-Muthohar disuguhi kopi.
Tidak menunggu lama, kopi pun diseruput Habib Umar.
“Sruput…” suara srutupan kopi didengar para jama’ah yang hadir.
“Saya sengaja dekatkan dengan mikrofon, biar sampean kepingin“,
kata Habib Umar disambut tawa oleh hadirin.

“Saya suka kopi itu karena kopi adalah minuman kesukaan para Wali,
kesukaan orang-orang shalih”.
Sangking senengnya dengan kopi, lanjut Habib Umar, ada Wali yang mengatakan :
“Barang siapa yang mati, diperutnya ada sisa-sisa kopi,
ia tidak akan ditanya oleh malaikat”.
:v :v :v
“Loh kandani kok..Kalau zaman sekarang ungkapan ini dikandakno yo rame..
[kalo jaman sekarang ungkapan seperti itu bisa bikin rame]
mosok perkoro kopi tekan..,” jelasnya.
“Dowo… dowo…..,[panjang urusannya]” tambahnya.
Habib Umar menjelaskan, ungkapan ini perlu dilihat, ketika wali itu berkata demikian,
kondisinya itu bagaimana?
“Pada waktu itu kopi adalah minuman favorit orang-orang ahli dzikir,
agar dzikir malam kuat lama minum kopi, shalat tahajud biar kuat lama minum kopi,
munajat, baca Qur’an kuat sampai subuh, minum kopi,” jelas Habib Umar.
Maka dari itu, lanjut Habib Umar,
“kalau ada orang mati, diperutnya ada sisa-sisa kopi, berarti dia ahli dzikir.
Ngono lho Doel...”
“Lha kalau sekarang gimana bib?
Kalau sekarang ya wa Allahu A’lam..
wong keplek yo ngombe kopi...,[orang lagi judi juga minum kopi]”
:v :v :v
“Lalu yang diikuti siapa? Tirulah orang-orang shalih,
alhamdulillah…
alhamdulillah…
shollu alannabiy…,”

Hormat kepada Kiai Lewat Wasilah Ayam

Pada suatu malam, Rahmat, si santri yang rajin dan patuh sedang membaca kitab Ta’lim Mutaallim. Ia mendapati penjelasan bahwa seorang murid harus menghormati dan ta’dzim pada kiai, keluarga bahkan binatang dan properti kiainya.

Rahmat berpikir, mungkin sikap hormat ini juga akan mendatangkan apa yang disebut berkah. Dia juga teringat beberapa cerita seorang santri yang mempunyai ilmu laduni karena saking hormat kepada kiainya termasuk binatang miliknya.

Pada pagi harinya, saat menyapu halaman masjid, tiba-tiba Rahmat melihat seekor ayam jantan milik kiainya lewat di hadapannya.

Karena ingat penjelasan kitab yang semalam ia baca, Rahmat pun minggir teratur, menunduk serta memberi hormat pada binatang itu.

Beberapa teman santri hanya mlongo saja melihat kelakukan Rahmat yang begitu ta’dzim kepada ayam lewat, persis seperti ketika sang kiai melintas di hadapan para santri.

“Mat, ente sedang ngapain,” tanya salah satu santri bernama Ucup. 

“Ini ayam milik kiai,” jawab Rahmat.

Seketika itu juga mereka serentak mengikuti gaya si Rahmat dengan hormat pada ayam kesayangan kiainya itu. (Fathoni)

Monday, September 18, 2017

Santri Ternakal Dipondok itu Kini Mempunyai Ribuan Santri

Akhirnya lurah pondok itu memberanikan diri matur kepada Kiai Umar. “Maaf Kiai, santri-santri kok belum ada yang dihukum, ditakzir atau diusir?”
“Lho, santri yang mana?”
“Santri yang nakal-nakal. Kemarin panjenengan minta daftarnya.”
“Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau disini nakal terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke pesantren itu biar tidak nakal.”
“Kok anda memerintahkan mencatat santri-santri yang nakal itu?”
“Begini, kamu kan tahu tiap malam aku setelah sholat tahajud kan mendoakan santri-santri. Catatan itu saya bawa, kalau saya berdoa mereka itu saya khususkan. Tanya dululah kalau belum paham.”
* * *
Cerita ini pernah saya sampaikan di sebuah daerah di Jawa Tengah. Ada Kiai muda mengundang saya untuk mengisi ceramah di acara khataman quran di pesantrennya. Ada puluhan ribu orang yang hadir. Dalam kesempatan itu saya ceritakan kisah di atas. Saya suka menceritakan kisah ini, karena apa yang dilakukan Kiai Umar sesuai dengan yang dipesankan ayah saya, bahwa mengajar harus lahir batin. Saat saya sampaikan cerita ini, para hadirin tertawa semua. Hanya satu orang yang tidak tertawa. Kiai muda itu terlihat menunduk diam. Pikir saya, “Apa Kiai ini tidak paham yg saya sampaikan atau bagaimana? Kok tidak ada ekspresi apa-apa saat dengar cerita saya.”
Pada saat turun dari podium, saya dirangkul oleh kiai muda itu. Dia membisikkan sesuatu, “Masya Allah, alhamdulillah Gus, jenengan tidak menyebut nama. Sayalah daftar ternakalnya Kiai Umar.”
Kaget, heran dan kagum saya, dengan statusnya dulu sebagai santri ternakal, dia sekarang jadi kiai dengan ribuan santri.
Kisah di atas disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri dalam haul KH. Umar Abdul Manan di Pondok Pesantren Al Muayyad Solo.
*Luar biasa. Kiai-kiai jaman dulu mendidik tidak hanya mengajar secara lisan saja. Tetapi juga dibarengi dengan laku tirakat dan doa. Bahkan, saat santrinya sudah pulang ke rumahpun masih diperhatikan dan didoakan. Dikunjungi, dipantau dan ditanyakan perkembangannya. Itulah rahasia keberkahan ilmu para alumnus pesantren. Doa guru.
#AyoMondok

Adu kesaktian GP Ansor dengan PKI

Waktu itu ada dukun sakti tokoh PKI namanya Mbah Sumo. Dia andalan Pemuda Rakyat. Di pihak lain, GP Ansor pun punya beking yang nggegirisi (menakutkan) yaitu Kiyai Abdul Wahab Husain. Dalam setiap "pertandingan persahabatan", dua orang itu bertindak layaknya manajer kesebelasan masing-masing. Keduanyalah aktor sepak bola layaknya Sir Alex Fergusson, Manchester United, saat timnya bertemu Roberto Mancini, Manchester City.
Sebelum bertanding, Kiai Wahab membagikan air suwukan (air yang sudah didoakan) agar diminum pemain-pemainnya. Berbekal suwukan itu, mereka bertanding dengan gagah berani. Pemuda Rakyat pun kian jeri karena tampaknya bola tak lagi terlalu penting buat anak-anak Ansor itu. Kaki lawanlah sasaran utama mereka. Wasit tak berdaya. Memegang peluit saja tak berani dia. Nyalinya terbang sejak tendangan bola yang pertama, karena ia merasa Kiiai Wahab terus-terusan memelototinya.
Pertandingan terpaksa bubar sebelum waktunya karena seorang pemain Ansor menggasak tiang gawang lawan hingga roboh.
Anehnya, anak-anak Ansor itu berkemas sambil meringis-ringis menahan nyeri. Yang menggasak gawang tadi malah mengerang-erang tak bisa berdiri.
"Kok suwuknya kurang manjur, 'Yai?" mereka mengeluh pada Kiai Wahab. "Atau kami kurang syarat? Atau terlanjur banyak maksiat?".
Kiiai Wahab nyengir.
"Lha wong tadi itu memang suwuk kendel (biar berani) kok, bukan suwuk kebal..."
Sontak saja para santri Ansor itu nyengir.

Melaksanakan sunnah harus sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan

Melaksanakan sunnah harus sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan. Sekarang banyak yang semangat melakukan sunnah tapi tidak mengetahui kapan waktu yang tepat untuknya. Modal semangat tanpa didasari dengan keilmuan.
Saya ingat cerita Syekh Muhammad al-Ghazali, salah seorang guru besar Univ. al-Azhar. Suatu ketika beliau menyampaikan kuliah. Duduklah salah satu murid tepat di depan beliau.
Murid itu setiap waktu bersiwak. Ia terus menggerakkan siwak di mulutnya, ke kanan, ke kiri dan terus menerus. Sesekali ia biarkan siwak itu menempel di mulutnya, lalu ia kembali bersiwak dan menggeraknya dengan tangan ke kanan dan ke kiri.
Syekh merasa terganggu konsentrasinya. Gerakannya terlalu sering hingga mengganggu fokus.
"Nak, tolong sudahi siwakanmu itu. Kamu mengganggu konsentrasi saya," kata syekh kepada murid tersebut.
"Hai, syekh! ini sunnah nabi. Apakah kamu mengingkari sunnah?" jawabnya dengan suara meninggi semangat.
Syekh diam dan terkejut atas jawaban tadi.
"Nak, mencabut bulu ketiak itu juga sunnah, apakah kamu akan mencabutinya di majelis ini juga?"
Seisi ruangan tertawa. Ia akhirnya malu. Ini akibat dia kurang wawasan akan sunnah. Tidak melihat waktu dan tempat. Keadaannya bagaimana. Ilmu adalah dasar dalam melaksanakan sunnah dengan baik.
--Habib Ali al-Jufri--

Saturday, September 16, 2017

Habib Muhammad Bin Hasan Al Attas, Shalat Subuh jam 02 Malam bersama Syaikh Abdul Qadir Al Jailani

MusliModerat.ComAlhabib Muhammad Bin Hasan Al Attas seorang shaleh yang selama kurun waktu ± 20 tahun menjadi pengurus masjid Syaikh Abdulqadir Al Jailani yang berlokasi di Hadramaut.
Dalam suatu riwayat dari beliau (Habib Umar Bin Hoed Alattas), pada waktu malam Jumat, ayah beliau pernah terbangun karena dikejutkan oleh riuh suara orang banyak, ketika ia melihat keluar rumahya ternyata suara tersebut berasal dari masjid Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bersamaan dengan cahaya yang terang benderang, maka Alhabib Muhammad segera berwudhu serta bergegas pergi ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah di masjid tersebut, karena mengira bahwa ia telah tertinggal shalat subuh secara berjamaah. Setelah sampai di masjid ia langsung ikut bergabung shalat (masbuq) di shaf paling belakang, karena masjid telah penuh. Namun setelah beliau selesai melakukan shalat dan mengucapkan salam serta membaca dzikir tauhid, ternyata ia hanya seorang diri di dalam masjid tersebut, tidak ada orang lain yang shalat. Suasana masjid menjadi seperti biasa, sepi, dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang. Ketika ia melihat jam, ternyata masih sepertiga malam yang akhir ( ± pukul 02.00).

Kemudian ia segera pergi dari masjid dan kembali ke rumahnya , dengan hati yang bertanya-tanya. Keesokan harinya beliau mengikuti ziarah ke makam Qubilanfas Al Habib Umar Bin Abdurrahman Al Attas sebagaimana lazimnya yang dilakukan setiap hari Jum'at, setelah shalat subuh berjamaah. Ziarah tersebut dipimpin oleh AlQutbh Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas. Setelah selesai ziarah, AlQutbh Al Habib Ahmad Bin Hasan Al Attas memegang tangan Al Habib Muhammad Bin Hasan Al Attas dengan bisyarah "Masya Allah, engkau telah diajak shalat berjamaah oleh para wali yang dipimpin oleh Al Imam AlQutbh Rabbani Syaikh Abdul Qadir semalam, sebagai hadiah karena engkau telah mengurusi masjidnya dengan baik". Demikian lah salah satu riwayat mengenai keutamaan ayah beliau.
 [CPW]

Cara Unik Belajar Kiai Mahrus Ali Lirboyo

Menyimak sejarah kehidupan seorang tokoh besar itu sepertinya tiada habisnya, selalu mengalirkan inspirasi baru dan pelajaran penuh makna. Apalagi yang dibicarakan adalah tokoh ulama atau kiai besar. Satu di antara sekian banyak tokoh ulama di Indonesia itu adalah al-maghfurlah KH Mahrus Ali (wafat 1985),<> pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo generasi kedua, menantu dari KH Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
Artikel singkat ini hanya bermaksud menyajikan sepenggal fragmen kecil dari sekian banyaknya fragmen kehidupan KH Mahrus Ali yang meninggalkan begitu banyak keteladanan bagi generasi setelahnya. Oleh karena itu sesuai judul di atas, di sini sekadar hendak membabarkan bagaimana strategi atau metode belajar Kiai Mahrus Ali berdasarkan penuturan beberapa saksi sejarah yang masih menjumpai (menangi) beliau.
Salah satu murid dekat beliau, yaitu KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bercerita bahwa Kiai Mahrus Ali ketika belajar di pondok menggunakan sistem nazar. Misalnya, membuat komitmen pada diri sendiri, seperti, "saya tidak akan keluar kamar sebelum hafal Alfiah, saya tidak akan pakai baju, sebelum menguasai materi bab ini, dan begitu seterusnya". 
Almaghfurlah KH A Idris Marzuki saat diwawancarai tim penulis buku Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, tahun 2010, menguatkan pernyataan yang disampaikan Gus Mus di atas. Beliau menuturkan bahwa Kiai Mahrus Ali itu sangat kuat dalam memaksa dan menahan diri supaya bisa mempeng (sangat tekun belajar). Kiai Mahrus mereka-reka sendiri, menciptakan pula metode sendiri dalam belajar. Saat masih nyantri, Mbah Kiai Mahrus membangun sebuah kamar yang didesain supaya jika beliau sudah memasukinya akan kesulitan keluar dari ruangan itu. Hal tersebut ia lakukan agar benar-benar dapat fokus muthalaah dan belajar. Jadi model beliau menguasai suatu disiplin ilmu di antaranya seperti itu. Semua keinginan hawa nafsunya ditahan sedemikian rupa.
Selain itu, KH. Yasin Asmuni, pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Tullab Petuk Semen Kediri, juga memiliki kenangan khusus saat ia dahulu ikut ngaji dengan Mbah Kiai Mahrus. Kiai Mahrus ketika mengaji, kata Kiai Yasin,  seperti halnya seorang syaarih (komentator kitab). Tidak jarang beliau mengatakan, wahadza dha'ifun, wa hadza mu'tamadun (pendapat ini argumentasinya lemahdan pendapat yang ini kokoh argumentasinya). Bahkan kala itu beliau kerap curiga dengan redaksi yang ada dan mengatakan la'alla showab begini.
Di lain sisi, tambah KH. Yasin Asmuni, setiap beliau menyebut nama mushannif (pengarang kitab), pasti doa rahimakumullah selalu beliau lantunkan. Itu menandakan betapa penghormatan Kiai Mahrus Ali pada seorang guru begitu besar.
Selanjutnya, Kiai Mahrus Ali dikenal juga sebagai kiai yang suka ikut ngaji pasaran di Bulan Ramadahan ke berbagai pondok pesantren. Bahkan budaya ikut ngaji pasaran ini tetap beliau jalankan meskipun sudah menjadi kiai kharismatik dan mempunyai anak.
Sementara itu, menurut KH Anwar Mansur, menantu Kiai Mahrus, keteladanan Mbah Kiai Mahrus yang perlu kita ikuti adalah kemempengannya (kesungguhannya) dan proporsionalitas serta konsistensi beliau dalam mengatur dan menggunakan waktu. Aktivitas keseharian beliau dijadwal secara teratur. Mulai waktu untuk istirahat, untuk shalat tahajud, waktu muthalaah (mengkaji ulang pelajaran), sampai waktu khusus yang dialokasikan untuk mengulang pelajaran sehabis shalat Subuh. Bagi Mbah Mahrus,waktu merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya, sehingga beliau seproporsional mungkin dalam mengatur waktu. Jadi ada waktu-waktu khusus yang beliau alokasikan seperti waktu untuk menghapal jam berapa, waktu nderes jam berapa, serta waktu istirahtpun beliau perhatikan.
Demikian selintas dari sebagian metode dan karakter KH Mahrus Ali ketika belajar dan mengaji. Salah satu nasihat bijak masyayiikh (guru-guru sepuh) menyatakan, "melihat seorang tokoh besar itu jangan cuma ketika ia telah menjadi tokoh besar (nihayah) saja, tetapi lihat pula bagaimana mereka saat menjalani proses panjang (bidayah) sebelum mereka sukses dan berhasil menjadi seorang tokoh." Spirit maqalah itu pula yang kami tuju dari tulisan pendek sederhana ini.

Oleh M. Haromain, alumnus MHM Lirboyo 2010, dan anggota tim penulis buku “Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, terbit 2010 pada peringatan satu abad PP. Lirboyo. Data dalam tulisan ini diambil dari buku tersebut.

Kisah Hasan al-Bashri Melihat Orang Pacaran

Suatu hari di tepi sungai Dajlah, Hasan al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua-duaan dengan seorang perempuan. Di sisi mereka terletak sebotol arak. Kemudian Hasan berbisik dalam hati, “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”
<>
Tiba-tiba Hasan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas karena karam. Enam dari tujuh penumpang itu berhasil diselamatkan.

Kemudian dia berpaling ke arah Hasan al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang saya telah menyelamatkan enam orang.”

Bagaimanapun Hasan al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya padanya. “Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak.”

Hasan al-Basri tertegun lalu berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan.”

Lelaki  itu menjawab, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan.”

Semenjak itu, Hasan al-Basri semakin dan selalu merendahkan hati bahkan ia menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih daripada orang lain.

Yusuf Suharto
(Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari "Hikmah dari Timur" karya Idries Shah)

Friday, September 15, 2017

Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian

GUS MIEK adalah seorang yang sangat terkenal di kalangan guru sufi, seniman, birokart, preman, bandar judi, kiai-kiai NU, dan para aktivis. Dialah yang membangun tradisi pengajian Sema’an Al-Qur’an Jantiko Mantab dan pembacaan wirid dzikrul ghafilin bersama beberapa koleganya.
<>Hamim Tohari Djazuli adalah nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH Jazuli Usman dan Nyai Radliyah. Nyai Radliyah ini memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah.

Ayah Gus Miek, KH. Jazuli Usman adalah pendiri pesantren Ploso Kediri. Ia pernah nyantri kepada banyak guru, di antaranya kepada KH Hasyim Asy`ari, Mbah Ma’ruf (KH Ma’ruf Kedunglo), KH Ahmad Shaleh Gondanglegi Nganjuk, KH Abdurrahman Sekarputih, KH Zainuddin Mojosari, KH Khazin Widang, dan Syaikh al-`Allamah al-Aidrus Mekkah.

KH Jazuli Usman nama kecilnya adalah Mas Mas`ud. Dia telah sekolah di STOVIA yang ada di Batavia, tatkala anak-anak seangkatannya belum sekolah. Mas Mas`ud ini anak dari Mas Usman, kepala KUA Ploso, Kediri. Pada saat itu jabatan sebagai kepala KUA sangat bergengsi. Akan tetapi ayah Gus Miek lebih memilih hidup dan mendirikan pesantren.

Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak unik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala. Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.

Pada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh KH Jazuli Usman di Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering membolos. Setelah itu Gus Miek belajar Al-Qur’an kepada ibunya, kepada Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.

Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai kiai sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH Hamid Pasuruan. Di tempat Gus Ud Pagerwojo Sidoarjo, Gus Miek bertemu dengan KH Achmad Shidiq yang usianya lebih tua. KH Achmad Shidiq ini di kemudian hari sering menentang tradisi sufi Gus Miek, tetapi akhirnya menjadi kawan karibnya di dzikrul ghafilin.

Kebiasaan Gus Miek pergi ke luar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhirnya ayahnya memintnya ngaji ke Lirboyo, Kediri di bawah asuhan KH Machrus Ali, yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya.

Di Lirboyo Gus Miek bertahan hanya 16 hari  dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin.

Tapi beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempatnya KH. Dalhar Watucongol, mengunjungi Mbah Jogoreso Gunungpring, KH Arwani Kudus, KH Ashari Lempuyangan, KH Hamid Kajoran, dan Mbah Benu Yogyakarta. Setelah itu Gus Miek pulang lagi ke Ploso.

Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirya ia menikah dengan Zaenab, putri KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun. Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.

Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.

Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang KH Jazuli Utsman dan Nyai Radliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.

Dari berbagai perjalanan, riyadlah,  dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awanya Gus Miek mendirikan Jama`ah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jama`ah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas.

Pada tahun 1971, para jama`ah Gus Miek dan masyarakat NU menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa. Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang PNS untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim otoriter Soeharto.

Metamorfosis dari komunits yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghafilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau Jember.

Bersama-sama KH Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghafilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jama`ah Gus Miek: di Jember di bawah payung KH Achmad Shidiq, di Klaten di bawah payung KH Rahmat Zuber, di Yogyakarta di bawah payung KH Daldiri Lempuyangan, dan di Jawa Tengah di bawah payung KH Hamid Kajoran Magelang.

Di samping mengorganisir dzikrul ghafilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga mengorganisir sema’an Al-Qur’an.

Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang diangkat oleh Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Dibandingkan dzikrul ghafilin, jama`ah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.

Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghafilin, sema`an Al-Qur’an, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotek, tempat perjudian, dan lain-lain, sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jam`iyah NU yang telah membakukan tarekat mu’tabarah, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghafilin dianggap berada di luar kelaiman, tidak mu’tabarah. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali.

Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggemberikan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghafilin di sekitar Jember dan sekitarnya.

Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Dia dimakamkan di Pemakaman Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH Achmad Shidiq dimakamkan, di sebelah timur makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan menjadi guru sekaligus murid Gus Miek. [Nur Kholil Ridwan]




Abuya Dimyati Keramat dari barat


Ulama dan guru tarekat yang ‘alim dan wara’ di Banten. Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”.
<>
Lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya.

Kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika dia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.

Sebagai misal, siapakah yang tidak kecil nyalinya, ketika begitu para santri keluar dari shalat jama’ah shubuh, ternyata di luar telah menanti dan berdesak-desakan para tamu (sepanjang 100 meter lebih) yang ingin bertemu Mbah Dim. Hal ini terjadi hampir setiap hari.

Para peziarah Walisanga yang tour keliling Jawa, semisal para peziarah dari Malang, Jember, ataupun Madura, merasa seakan belum lengkap jika belum mengunjungi ulama Cidahu ini, untuk sekadar melihat wajah Mbah Dim; untuk sekadar ber-mushafahah (bersalaman), atau meminta air dan berkah doa.

Mbah Dim menekankan pada pentingnya ngaji dan belajar, yang itu sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim kepada para santri dan kiai adalah jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku.

Bahkan kepada putera-puterinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri, apalagi putera-puterinya.

Mbah Dim tidak akan memulai shalat dan ngaji, kecuali putera-puterinya—yang seluruhnya adalah seorang hafidz (hafal Al-Qur’an) itu sudah berada rapi, berjajar di barisan (shaf) shalat. Jika belum dating, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu. Sampai semua hadir, dan shalat jama’ah pun dimulai.

Mbah Dim merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta. Dalam bidang tasawuf, Mbah Dim menganut tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syeikh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat, kepada jama’ah-jama’ah Mbah Dim hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari syekh Dalhar.

Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas.
Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Mbah Dim, begitu pun ketika ia diberi sumbangan oleh para pejabat selalu ditolak dan dikembalikan sumbangan tersebut. Hal ini pernah menimpa Mbak Tutut (Anak Mantan presiden Soeharto) yang member sumbangan sebesar 1 milyar, tetapi oleh Mbah Dim dikembalikan.

Tanggal 3 Oktober 2003 tepat hari Jum’at dini hari Mbah Dim dipanggil oleh Allah SWT ke haribaan-Nya. Banten telah kehilangan sosok ulama kharismatik dan tawadhu’ yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihat.

Bukan hanya masyarakat Banten, tapi juga umat Islam pada umumnya merasa kehilangan. Ia di makamkan tidak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang, dan hingga kini makamnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di Tanah Air. (Ensiklopedi NU)

Kisah KH Ahmad Dahlan Muhammadiyah Memukul Kenthongan

Kejadiannya di sekitar tahun 1921, Suatu siang KHA Dahlan memukul kentongan mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. Penduduk Kauman berduyun-duyun ke rumahnya. Setelah banyak orang berkumpul di rumahnya, KHA Dahlan pidato yang isinya menyatakan bahwa kas Muhammadiyah kosong. Sementara guru-guru Muhammadiyah belum digaji. Muhammadiyah memerlukan uang kira-kira 500 gulden untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah Muhammadiyah.
Karena itu KHA Dahlan menyatakan melelang seluruh barang-barang yang ada di rumahnya. Pakaian, almari, meja kursi, tempat-tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, lampu-lampu dan lain-lain. Ringkasnya KHA Dahlan melelang semua barang-barang miliknya itu dan uang hasil lelang itu seluruhnya akan dipakai untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya untuk menggaji guru dan karyawan.
Para penduduk Kauman itu terbengong-bengong setelah mendengar penjelasan KHA Dahlan. Murid-murid KHA Dahlan yang ikut pada pengajian Thaharatul Qulub sama terharu melihat semangat pengorbanan KHA Dahlan, dan mereka saling berpandangan satu sama lain, berbisik-bisik satu sama lain. Singkat cerita, penduduk Kauman itu khususnya para juragan yang menjadi anggota kelompok pengajian Tharatul Qulub itu, kemudian berebut membeli barang-barang KHA Dahlan.
Ada yang membeli jasnya, ada yang membeli sarungnya, ada yang membeli jamnya, almari, meja kursi dsb. Dalam waktu singkat semua barang milik KHA Dahlan itu habis terlelang dan terkumpul uang lebih dari 4.000 gulden. Anehnya setelah selesai lelangan itu tidak ada seorang pun yang membawa arang-barang KHA Dahlan. Mereka lalu sama pamit mau pulang.
Tentu saja KHA Dahlan heran, mengapa mereka tidak mau membawa barang-barang yang sudah dilelang. KHA Dahlan berseru, ”Saudara-saudara, silahkan barang-barang yang sudah sampeyan lelang itu saudara bawa pulang. Atau nanti saya antar?”
Jawab mereka, “Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja, semua kami kembalikan pada Kiai.”
“Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?“ tanya KHA Dahlan.
Kata salah seorang dari mereka, “Ya untuk Muhammadiyah. Kan Kiai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolahnya?”
“Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4000 gulden. Lalu sisanya bagaimana?” tanya KHA Dahlan.
Jawab orang itu, “Ya biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah.
MusliModerat.Com - Kejadiannya di sekitar tahun 1921, Suatu siang KHA Dahlan memukul kentongan mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. ...
muslimoderat.net|Oleh MusliModerat

Merokok Menghidupkanmu, Tidak Membunuhmu KH Mahrus Ali

KH Mahrus Aly Lirboyo pernah bersama mobilnya jatuh dan tenggelam di tengah Bengawan Solo, Tuban. Bingung rombongan yang dibelakangnya, termasuk Bupati Gresik ketika itu. Bagaimana nasib beliau?
Akhirnya (mereka) berinisiatif mendatangkan derek dari Surabaya. Padahal perjalanan derek menuju lokasi memakan waktu beberapa jam. Setelah derek sampai, ditariklah mobil yang tenggelam keatas. Sampai di atas, pintu mobil dibuka: Mbah Mahrus malah sedang merokok! Ternyata merokok menghidupkanmu, tidak membunuhmu! (canda KH Chalwani Berjan, Shohibul hikayat).
Sedikit saja, tidak ada air yang masuk ke mobil Mbah Mahrus, semuanya segar bugar. Sampai-sampai, di muat di Jawa Pos & Surabaya Pos : “Ada Kyai Anti Air”. Itulah karomah Mbah Mahrus Lirboyo, luar biasa !!. Al-Fatihah...

KH. Mahrus Ali (Lirboyo-Kediri) dan As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki (Mekkah), saat kunjungan beliau ke Pondok Pesantren Lirboyo-K...
muslimoderat.net|Oleh MusliModerat